Oleh Trisna
Aktivis Muslimah
Pilkada serentak 2020 direncanakan akan tetap digelar pada 9 Desember 2020 mendatang. Menurut Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse, proses demokrasi harus tetap berjalan guna memastikan jalannya roda pemerintahan, pilkada tetap dilaksanakan karena tidak ada jaminan waktu kapan pandemi akan berakhir. Maka mustahil jika menunda pilkada sampai Indonesia benar-benar dinyatakan bebas dari Covid-19. (m.medcom.id, 16/9/2020)
Zulfikar juga menegaskan saat ini yang perlu dilakukan adalah sikap adaptif yakni menyesuaikan segala tahapan pilkada dengan protokol kesehatan. Dia berharap agar semua pihak ikut bekerjasama dalam pilkada serentak 2020 nanti agar tidak terjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
Sebelumnya publik meminta pilkada 2020 ditunda lantaran penyebaran Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan survei Polmatrix Indonesia sebanyak 72,4 persen responden menginginkan pilkada 2020 ditunda, sementara 12,1 persen responden memilih pilkada ditunda di daerah-daerah yang berstatus zona merah atau beresiko tinggi Covid-19, sedangkan 10,6 persen responden ingin pilkada tetap dilanjutkan, dan 4,9 persen menyatakan tidak tahu atau tidak jawab.
Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia, Didik Rulianto mengatakan temuan survey ini menunjukkan sebagian besar masyarakat lebih memilih opsi pilkada serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, karena khawatir kerumunan massa dalam pilkada akan menciptakan klaster baru Covid-19. Dia juga menuturkan pada tahapan awal pilkada, seperti pendaftaran bakal calon sudah menimbulkan kerumunan masa pendukung, apalagi memasuki masa kampanye. Saat ini saja sebanyak 63 orang bakal calon kepala daerah diketahui positif terpapar Covid-19, dan jumlah ini masih terus bertambah. (m.medcom.id, 16/9/2020)
Rencananya pilkada serentak akan dilaksanakan di 270 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sebanyak 738 pasangan calon akan berlaga untuk memperebutkan posisi kepala daerah pada 9 Desember 2020 mendatang.
Pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19 karena berpotensi melahirkan 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak. Jumlah pencoblos jika merujuk pada target KPU sebesar 77,5 persen oleh KPU adalah 82,15 juta pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19 persen, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada 9 Desember mendatang bisa mencapai 15,6 juta jiwa. Hal tersebut diungkap oleh pengamat politik sekaligus peneliti muda, Muhammad Qodari dalam diskusi webinar dengan tema “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia” yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), sabtu (12/9/2020).
Dari sini bisa kita bayangkan bagaimana pilkada serentak 2020 justru berpotensi besar menjadi kuburan massal rakyat Indonesia. Keputusan untuk tetap menjalankan pilkada semakin menunjukkan betapa abainya pemerintah dalam pengurusan kesehatan masyarakat. Dimana di tengah angka kasus Covid-19 yang kian meningkat, pemerintah Justru memaksakan diadakannya pesta demokrasi tersebut. Nyawa rakyat seakan tidak bernilai, mempertaruhkan nyawa rakyat demi terlaksananya pemilihan suara.
Berkaca pada pemilu presiden 2019 lalu, menurut ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada pemilu 2019 total ada 894 orang meninggal dunia dan 5.175 orang mengalami sakit, ( kompas.com,22/01/2010). Peristiwa Ini terjadi sebelum adanya pandemi covid-19 di Indonesia, bisa di bayangkan bagaimana kondisi pilkada nanti yang dilaksanakan ditengah wabah, berapa banyak nyawa lagi yang akan menjadi korban?
Padahal dalam islam pemilihan suara boleh dilakukan namun itu hanya sebagai uslub/ cara dalam pemilihan pemimpin, bukan sebagai jalan satu-satunya dalam memilih pemimpin. Islam lebih mengutamakan keselamatan rakyat dibanding dengan yang lain, sesuai sabda Nabi saw “ Sungguh lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah dari pembunuhan seorang muslim tanpa hak”, (HR. an-Nasaiy, at-Tirmidzi, al-Baihaqi).
Parahnya lagi demokrasi tidaklah bertujuan untuk kesejahteraan, justru kesejahteraan dikorbankan demi demokrasi. Dimana demokrasi adalah sistem pemerintahan super mahal, tidak efektif dan efisien. FITRA ( Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran ) mencatat bahwa biaya pilkada untuk kabupaten / kota saja menelan setidaknya Rp 25 milyar dan pilkada provinsi Rp 100 milyar. Sehingga keseluruhan pilkada di Nusantara mencapai setidaknya Rp 17 triliun!
Biaya super fantastis untuk pelaksanaan pilkada tentu saja membebani keuangan negara yang jelas -jelas tengah diujung tanduk akibat pandemi. Dimana kondisi perekonomian saat ini benar-benar memukul rakyat yang sebelum pandemi saja sudah terseok-seok. Padahal dana fantastis pilkada tersebut sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sistem kesehatan saat pandemi, serta menyokong kebutuhan dasar rakyat yang banyak kehilangan sumber pendapatan. Dan bukan untuk di hambur-hamburkan atas nama pesta demokrasi.
Sudah sepatutnya para pemimpin Indonesia tidak melupakan bahwa sesungguhnya setiap kebijakan yang diberlakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak. Jabatan hanya akan menjadi sumber kehinaan dan penyesalan bagi pemegangnya jika tidak berdasarkan pada hukum-hukum Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kalian akan berambisi untuk dapat memegang suatu jabatan, tetapi nanti pada hari kiamat jabatan itu akan menjadi suatu penyesalan”,(HR. al-Bukhari). Waallahu’alam bis’ showab