Oleh : Shafiya
(Pemerhati Sosial)
Fenomena semakin meningkatnya penyebaran virus Corona (Covid-19), mengakibatkan munculnya berbagai upaya untuk menanggulanginya. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil yang mampu mencegah dan menghentikan sebaran dan dampak virus tersebut.
Mengisolasi diri secara mandiri di rumah yang dilakukan oleh masyarakat tidak menjamin berkurangnya dan berhentinya sebaran virus. Terutama bagi warga yang berdomisili di pemukiman yang padat penduduk. Dan juga bagi yang belum memahami tentang protokol kesehatan dengan baik.
Isolasi mandiri tidak dapat menjamin pasien virus Corona (Covid-19) berdiam di rumah, apatah lagi tanpa adanya pengawasan ketat. Mengingat sifat dan karakter virus ini yang tidak kasat mata dan mudah menyebar antar manusia dan mampu bertahan hidup hingga berjam-jam dan berhari-hari.
Celah yang dimiliki solusi isolasi mandiri ini dibaca dan disambut oleh sebagian penentu kebijakan. Di antaranya, Pemerintah DKI Jakarta, yang berencana meniadakan isolasi mandiri bagi pasien positif Covid-19 dengan gejala ringan dan orang tanpa gejala (OTG).
Pasien tersebut harus menjalani isolasi di tempat yang disediakan oleh pemerintah, baik rumah sakit, Wisma Atlet, dan lokasi lainnya.
Dilansir oleh tempo.co, 5/9/2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mengatakan bahwa, pihaknya tengah menggodok aturan untuk mengisolasi orang di tempat milik pemerintah.
"Sedang disiapkan regulasinya bahwa isolasi mandiri itu dikelola oleh pemerintah sehingga lebih efektif dalam memutus mata rantai Covid-19," kata Anies dalam rekaman suara yang diberikan Humas DKI Jakarta, Selasa, 1 September 2020.
Anies Baswedan juga mengatakan, tidak semua orang yang terinfeksi virus Corona dapat mengisolasi diri dengan baik di rumah. Ada keraguan, pasien bisa disiplin dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang protokol kesehatan selama isolasi mandiri.
Dua epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono dan Pandu Riono, pernah melontarkan kritikan soal isolasi mandiri. Tri mengingatkan jumlah pasien positif Covid-19, tak terkecuali di Jakarta, bisa membeludak jika masih diterapkan isolasi mandiri, (tempo.co, 5/9/2020).
Pilihan ini muncul, karena adanya kluster baru penyebaran virus Corona (Covid-19) yaitu pemukiman padat penduduk. Kluster pemukiman padat penduduk ini merupakan penyumbang terbesar penyebaran virus. Sehingga isolasi mandiri menjadi penyebar virus di keluarganya.
Terkait lokasi isolasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menyiapkan opsi, yakni di Gelanggang Olahraga (GOR). Menyusul, kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta sudah menipis.
Di pihak lain, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, Mohamad Taufik, tidak setuju dengan rencana gubernur DKI Jakarta ini. Dengan alasan akan menambah beban fasilitas kesehatan. Sampai akhir Agustus 2020 saja, 70 persen tempat tidur isolasi dan ruang ICU di rumah sakit rujukan Covid-19 Jakarta, sudah terisi, (tempo.co, 5/9/2020).
Juga, sebelumnya, anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP, Gilbert Simanjuntak, mengecam kebijakan larangan isolasi mandiri. Menurutnya langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gegabah dan hanya menambah beban tenaga medis yang sudah selama enam bulan menjadi garda terdepan melawan virus Corona (Covid-19).
Ia mengatakan bahwa “ isolasi mandiri tidak efektif lalu akan mengisolasi penderita Covid-19 di RS adalah tidak tepat. Selain secara ilmiah tidak tepat karena banyak yang OTG (orang tanpa gejala) atau suspect, dan sebagian sakitnya ringan dan tidak butuh perawatan, beban tenaga medis menjadi sangat berat", (akurat.co, 04/09/2020)
Mengingat, adanya kasus kematian 100 orang dokter di Indonesia ketika berjuang melawan penyakit menular ini menjadi penyebabnya. Jangan sampai peristiwa ini terulang kembali karena beratnya tanggung jawab yang harus diemban.
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkarantina semua warga yang terkonfirmasi positif Covid-19, dianggap pilihan buruk karena menabrak realitas kegagalan dalam menyiapkan tenaga medis, anggaran, dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Di sisi lain, karantina wilayah dianggap memiliki dampak negatif terhadap sektor perekonomian. Karena sendi-sendi penopang ekonomi, seperti produktivitas terhambat. Penyediaan bahan baku, produksi barang, dan pendistribusiannya menjadi terdisrupsi.
Dalam sistem kapitalisme, pilihan karantina wilayah sulit ditempuh. Sebab dalam sistem ini hanya memikirkan ekonomi. Selain itu, kebijakan yang diambil dalam menangani wabah cukup lamban dan gagap dengan mengabaikan dan memandang remeh virus ini di awal kemunculannya. Juga banyaknya perbedaan pendapat di kalangan kepemimpinan pemerintahan dalam menentukan kebijakan untuk menghentikan penyebaran virus ini.
Padahal, secara logis karantina wilayahlah pilihan terbaik yang mestinya diambil sejak awal untuk menghentikan sebaran virus.
Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)
Karantina pembawa virus dan wilayah tertentu yang menjadi sumber sebaran virus, merupakan kebijakan yang direkomendasikan oleh Islam, bukan lockdown total (blanket lock down). Wilayah yang dikarantina, semua kebutuhan dasar warganya menjadi tanggung jawab negara termasuk pangan, keamanan dan kebutuhan kesehatan. Keselamatan rakyat menjadi hal yang diutamakan.
Dalam Islam nyawa manusia begitu berharga hingga dijaga kebutuhannya dan dilindungi kehidupannya, termasuk dari serangan wabah. Islam menerapkan ide karantina wilayah untuk memutus mata rantai penyebaran wabah penyakit menular.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasa’I 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al- Albani)
Dalam sejarah pemerintahan Islam pernah diterapkan kebijakan yang melindungi dan mengutamakan keselamatan nyawa rakyat. Seperti di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan secara gratis diberikan oleh negara yang pembiayaannya diambil dari kas Baitul Mal. Pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas ini diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi. Berikut beberapa bukti keberhasilan sistem Islam dalam mengatasi wabah dan kepedulian negara kepada keselamatan rakyatnya:
Seperti kisah delapan orang dari Urainah datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu di kemudian hari, mereka menderita sakit gangguan limpa. Rasulullah saw., kemudian memerintahkan agar mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’. Tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih kembali.
Diceritakan pula Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Rasulullah Saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari kas Baitul Mal. Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman. Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.
(+Adapun,) Seorang sejarawan, Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Semua itu didukung dengan tenaga medis yang profesional baik dokter, perawat dan apoteker. Di sekitar RS didirikan sekolah kedokteran. RS yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan. Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu.
Dalam sistem Islam, juga tidak boleh mengambil keputusan yang dapat membahayakan iei.
Rasulullah Saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارً
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri (HR Malik).
Keputusan yang di ambil untuk memutus rantai sebaran virus, tidak diperbolehkan yang membahayakan. Tak terkecuali masalah kesehatan dan pengobatan yang merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.
Dengan demikian, maka karantina wabah dan wilayah tertentu merupakan solusi tepat yang harus diambil untuk memutus rantai sebaran virus Corona (Covid-19). Sebagaimana yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. Terbukti mampu menghentikan penyebaran virus.
Wallahu a’lam bishshawab.