Oleh: Ummu Shafwan Taqiyuddin
(Aktivis Muslimah Serumpun Sebalai)
Swedia dan Norwegia tengah memanas, usai demo anti muslim digelar di sana. Akibat demo tersebut, Al Qu’ran dibakar di Swedia dan Norwegia. Bukan cuma itu, kitab suci umat Islam itu dilecehkan, mulai dari dirobek-robek, diludahi, hingga dibakar. Persoalan rupanya dipicu dari meningkatnya sentimen anti imigran asal Timur Tengah. Sejumlah pihak anti muslim di Swedia pun kemudian menggelar aksi demo.
Kejadian pembakaran Al Qur'an bukanlah yang pertama. Sebelumnya pada November 2019, Tokoh Sayap Kanan Anti Islam di Norwegia,Lars Thorsen, telah duluan membakar Al Qur'an. Lars berasal dari Organisasi SIAN (Stop Islamization of Norway). (CNNIndonesia, November 2019). Organisasi rasis ini masih legal dan bertahan di Norwegia sebagai bentuk kebebasan berekspresi di Barat.
Pada tahun yang sama, Brenton Tarrant, warga keturunan Australia menembak secara brutal di 2 Masjid di Selandia Baru. Aksi ini disiarkan secara langsung (live streamming) di akun facebook pribadinya dan menewaskan jama'ah Shalat Jum'at kala itu.
Selain aksi anti Islam berbagai tuduhan negatif dialamatkan kepada Islam, Kitab Suci dan Nabinya yang mulia. Dimulai dengan prasangka-prasangka negatif yang tidak ditemukan faktanya.
Sangat disayangkan aksi anti Islam di dunia Barat terjadi berulang-ulang kali. Seperti tak dapat dihentikan. Adanya stereotip salah yang menganggap bahwa Islam adalah agama terorisme yang penuh dengan kekerasan, peta politik lokal yang dipengaruhi oleh fundamentalis Kristen, juga pengaruh Yahudi di AS merupakan fakta bahwa hal ini tidak dapat dipungkiri kalau Islamofobia akan terus terjadi secara sistematis dan pasti akan mendapat dukungan dari politisi-politisi yang anti Islam serta dukungan media yang akan selalu menyudutkan Islam. Ditambah lagi dengan sikap negara-negara demokrasi di dunia yang tampaknya membiarkan begitu saja aksi-aksi ini terjadi.
Seharusnya pemerintah di Barat melarang dan membekukan organisasi yang bersifat SARA. Namun itu tidak dilakukan karena negara-negara yang menjunjung demokrasi di Barat itu tidak melarang penistaan terhadap agama Islam. Adanya pembiaran terhadap aksi penistaan menunjukkan bahwa demokrasi intinya adalah kebebasan berpendapat dan berperilaku.
Termasuk bebas untuk menghina Islam, Rasul SAW dan ajarannya. Harusnya demokrasi bisa mewadahi sikap tenggang rasa dan toleransi. Namun itu tidak berlaku bagi Islam. Ketika satu orang menghina Islam dan tidak ditindak, ribuan orang dan sikap anti Islam semakin membesar di Barat. Bahkan di bagian Timur tak ada aksi nyata, kecuali sekedar kecaman. Sehingga kejadian anti Islam akan terus berlangsung. Sistem demokrasi dengan HAM-nya malah menyuburkannya. Jelas ini adalah kegagalan sistemik untuk bisa menjamin keadilan dan kebebasan beragama.
Islamofobia tidak hanya menghantui umat Islam di Eropa, namun hampir merata di seluruh bagian bumi yang ditinggali oleh umat Islam.
Islamofobia dan Ketakutan Terhadap Kembalinya Kekuatan Politik Islam
Tujuan besar dari proyek Islamofobia ini tak lain adalah ingin mencegah bahkan menghentikan laju gerbong politik Islam dalam bingkai Khilafah yang semakin kencang di atas relnya. Barat meyakini Khilafah pasti akan tegak, mereka melakukan riset-riset hanya untuk mengetahui bagaimana kondisi kaum muslim ketika sudah mengarah pada Khilafah, makanya mereka berusaha memperlambat hal ini.
Hari ini kita dapati bahwa agama yang paling dimusuhi adalah Islam. Tidak ada agama di muka bumi ini yang mendapatkan permusuhan paling besar kecuali Islam.
Kalau Bukan Khilafah, Lalu Siapa Yang Akan Menjadi Perisai Umat Islam?
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadist dari jalur Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, bersabda:
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang dibelakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya dia akan mendapatkan pahala. Tetapi jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azad karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Dari hadist ini jelas sudah bahwa Cuma Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang bisa menjaga dan melindungi kaum muslimin.
Ketika Khilafah masih ada, tidak ada pelecehan terhadap Islam. Pernah ada negara Eropa (Perancis dan Inggris) yang ingin mementaskan drama yang menghina Rasulullah SAW. Drama itu berjudul "Muhammad atau Kefanatikan".
Kemudian, Khilafah Utsmani memperingatkan negara Eropa tersebut. Jika negara itu tidak menghentikan pentas itu, Khilafah akan menyerang negaranya. Negara Eropa itu pun takut dan menghentikan aksi jahatnya itu. Eropa tahu bahwa Khilafah adalah penjaga Umat Islam yang sangat kuat.
Khilafah pun pernah membebaskan seorang wanita yang disekap di benteng Amuria, Romawi Timur. Khilafah Islam berhasil melindungi marwah Islam dan Kaum Muslimin.
Namun, Khilafah tidak pernah melakukan aksi anti agama lain atau melakukan pembalasan dendam. Ketika terjadi genosia besar terhadap Kaum Muslimin di Spanyol, Sultan Shalahudin berhasil menguasai Palestina. Namun, Beliau tidak membantai orang-orang Non Muslim di sana.
Kejadian yang terjadi di Swedia dan Norwegia membuktikan bahwa dunia Islam memerlukan Khilafah. Khilafah akan mencegah pembakaran Al Qur'an dan Penistaan Rasulullah SAW. Efek pembelaan dan perlindungan terhadap Islam akan menimbulkan ketakutan kepada siapa pun yang mencoba menista Islam.
Semoga Khilafah bisa hadir lagi dan menciptakan dunia yang bebas anti SARA. Sebab Khilafah dalam sejarah adalah negara yang heterogen. Warga negaranya terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama. Sebuah sistem yang diakui toleran bahkan oleh para pakar Non Muslim.
Wallahu a’lam bish-shawab