Oleh : drh. Lailatus Sa'diyah
Orang miskin dilarang sakit, lagu lama yang akan terus menggema. Alih-alih meningkatkan kesehatan dalam negeri, namun manfaat tak mampu dicapai.
Wacana penerapan medical tourism akan diambil pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dalam negeri dengan mendatangkan dokter asing dan membuka rumah sakit asing di Indonesia. Hal ini dilakukan pemerintah, karena melihat setiap tahunnya masyarakat Indonesia yang memilih berobat keluar negeri semakin meningkat dengan alasan pembiayaan di luar negeri lebih murah dengan kualitas pelayanan lebih baik. Pemerintah menilai jika medical tourism diterapkan di Indonesia, pasti akan memberikan keuntungan yang besar untuk negara.
Menurut Luhut, lewat wisata medis ini pemerintah ingin Indonesia melakukan diversifikasi ekonomi, menarik investasi luar negeri, penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan industri layanan kesehatan di Indonesia, serta menahan laju layanan kesehatan serta devisa kita agar tidak mengalir ke negara-negara yang lebih sejahtera.
Medical Tourism untuk kepentingan siapa?
Bak racun berbalut madu, mungkin itu istilah yang cocok untuk penerapan medical tourism di Indonesia. Karena sejatinya penerapan medical tourism hanya mengokohkan komersialisasi dan liberalisasi di bidang kesehatan. Bagaimana tidak? Jika peningkatan pelayanan kesehatan bergantung pada investasi asing, tidak lain profitlah yang menjadi orientasi. Lagi-lagi pelayanan kesehatan akan kembali kepada masyarakat dengan harga yang mahal. Dan hanya mereka yang beruanglah yang bisa menikmati. Bukan masyarakat secara umum.
Berdasarkan UUD 1945, Negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Salah satu kesejahteraan yang dimaksud adalah mendapatkan pelayanan kesehatan yang bisa dirasakan oleh masyarakat secara umum. Jika sektor kesehatan dikelola oleh asing dan negara hanya sebagai regulasi itu membuktikan bahwa negara telah gagal mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Dan telah mencederai cita-cita mulia bangsa ini.
Yang lebih menyayat hati, dengan menerapkan medical tourism pemerintah akan membuka keran masuknya dokter asing ke Indonesia. Logika sederhana bagaimana bisa seorang bapak (baca: pemerintah) membiarkan anaknya berebut makan dengan orang asing di rumahnya sendiri?
Jika memang dinilai bahwa secara kualitas SDM kurang mampu untuk memberikan penanganan kesehatan, bukankah tugas pemerintah untuk mencetak kualitas SDM yang mumpuni dalam bidangnya? Bukan malah mengambil jalan pintas dengan mendatangkan SDM Asing.
Hingga saat ini masyarakat Indonesia yang memiliki uang, memilih untuk berobat ke luar negeri, hal tersebut dikarenakan mereka menilai bahwa negara tidak mampu memberikan Fasilitas kesehatan yang memadai. Jika negara serius ingin meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan dalam negeri, harusnya dengan mengevaluasi dan berbenah. Bukan malah mendatangkan rumah sakit asing ke Indonesia. Dari sini semakin nyata bahwa pemerintah seakan cuci tangan atas tanggung jawabnya yaitu memberikan jaminan atas kesehatan masyarakat secara umum.
Jaminan Kesehatan dalam Khilafah
Sangat berbeda dengan jaminan kesehatan dalam penerapan Sisten Kapitalisme, sejarah membuktikan bahwasnya Khilafah telah mampu mewujudkan kesejahterran masyarakat dengan menjadikan Syariat Islam sebagai landasan menjalankan sistem pemerintahnya.
Islam memandang, bahwa kesehatan adalah hak setiap orang dan penyelenggaraanya adalah sepenuhnya kewajiban negara. Syari’at Islam menjamin pelayanan kesehatan masyarakat tanpa pandang bulu, tanpa menilik si kaya atau si miskin. Semuanya akan mendapatkan pelayanan sebaik mungkin tanpa terkecuali.
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”
Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis yang berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama tujuh abad. Dan kini, rumah sakit tersebut digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qalawun.
Lalu bagaimana Khilafah mampu memberikan pelayanan kesehatan secara gratis? Biaya penyelenggaraan kesehatan gratis diambil dari baitulmal yaitu: Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat.
Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb.
Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Pelayanan kesehatan yang demikan hanya bisa terwujud jika Khilafah kembali dierapkan dimuka bumi ini. Pemerintahan menjadikan Syariat Islam sebagai landasan pelaksanaanya. Pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang amanah yang hanya takut atas azab Allah dan senantiasa berpegang pada Syari’at Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini