Oleh : Dara Millati Hanifah, S.Pd*
.
Tak terasa sudah hampir tujuh bulan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dilaksanakan. Mulai dari awal covid 19 menyebar hingga saat ini. Namun, sampai saat ini pembelajaran tersebut masih belum efektif dibeberapa daerah karena kendala cuaca, jaringan dan lain sebagainya.
.
Selama pandemi, Nadiem mengeluarkan berbagai aturan, namun tak disertai dasar hukum dari undang-undang terkait pendidikan. Wakil Komisi X DPR RI, Agustina Wilujeng menyebut berbagai surat edaran terkait pendidikan selama pandemi justru membuat tenaga pendidik takut. Celah untuk salah terbuka lebar, karena bisa saja surat edaran tidak berlandasan hukum. Ia meminta agar Kemendikbud harus menyelaraskan regulasi agar tidak melanggar UU.
“Kemendikbud harus terbitkan regulasi sesuai hierarki, bukan dalam bentuk surat edaran. SE dikeluhkan. Jika guru melakukan pelanggaran dari UU sebelumnya, tetapkan pelanggaran yang tak bisa dimaafkan,” katanya.
Kondisi pendidikan selama pandemi yang tak jelas, terlihat dari kondisi masyarakat yang sulit beradaptasi dengan sistem pembelajaran baru. Penduduk Indonesia yang bisa akses digital mencapai 175,4 juta dari 272 juta orang, tapi 64 persen terpusat di perkotaan.
Para pelajar di daerah juga kesulitan fasilitas telepon genggam. Di sisi lain, akses internet tidak merata. Serta ada pendidik yang tak siap belajar dari rumah. Hal tesebut terjadi karena ketidaksiapan kurikulum darurat yang belum ada.
Masalah kurikulum selama COVID-19, Nadiem bilang tak mungkin bisa dirubah. Kurikulum saat ini dibuat pada 2013. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk desain kurikulum baru membutuhkan waktu 3 tahun. Maka dari itu, Kemendikbud kini mengeluarkan kebijakan baru untuk mendukung proses pembelajaran jarak jauh. Antara lain pulsa untuk siswa, guru, mahasiswa hingga dosen sebesar Rp7,2 triliun. (Tirto.id 28/08/2020)
.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan evaluasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi Corona ini menunjukkan hasil yang variatif di setiap daerah. Ada yang berjalan efektif dan sebaliknya. Ia menjelaskan di beberapa daerah, khususnya terpencil dan tertinggal, kendala utama siswa dalam PJJ ini adalah akses internet. Namun secara nasional mayoritas siswa di Indonesia sudah bisa menikmati layanan internet. "Jadi isu utamanya banyak dari mereka justru bukan internetnya, tapi membayar kuotanya," katanya dalam program "Ini Budi: Reformasi Pendidikan Mas Menteri di Masa Pandemi".
Untuk mengatasi masalah itu, kata Nadiem, Kemendikbud mengizinkan dana BOS digunakan untuk membelikan siswa kuota internet agar bisa mengikuti PJJ. Adapun masalah lain yang Kemendikbud temui adalah waktu adaptasi terhadap program ini yang sangat singkat. Hal ini membuat PJJ berjalan dengan pemberian tugas yang berlipat ganda kepada siswa. "Ini memang tantangan yang berat bagi guru dan menjadi beban bagi peserta didik," ucap Nadiem.
Beliau mengungkapkan bahwa dirinya dan seluruh pemangku kebijakan di Kemendikbud tidak ada yang mau model pembelajaran jarak jauh. Namun kondisi yang terjadi membuat pemerintah tidak memiliki pilihan lain. Menurutnya, setiap sekolah memiliki cara PJJ yang berbeda. Contohnya, ada sekolah yang hanya bisa dengan WhatsApp namun ada yang sudah bisa menggunakan google classroom dan sebagainya. Efektivitas PJJ dipengaruhi oleh partisipasi wali murid yang mendampingi anaknya saat PJJ berlangsung maka proses pembelajaran jauh lebih efektif. (Tempo.co.id)
.
Tahun ajaran baru sudah berjalan tiga bulan. Beberapa siswa mulai mengalami kejenuhan dalam PJJ ini tak terkeculi wali murid yang merasa terbebani dengan proses pembelajaran yang tak biasanya. Hal yang sama juga dirasakan seorang pendidik. Meskipun diawal pemerintah sudah memutuskan untuk membuka sekolah bagi yang zonanya hijau. Keputusan ini mendapat respons yang beragam. Namun, banyak pihak yang masih galau. Karena sekolah akan kerepotan jika pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan.
.
Kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap tenaga pendidik dalam menyiapkan pembelajaran jarak jauh menjadi salah satu pemicu ketidakefktifan proses pembelajaran tersebut. Karena tidak semua tenaga pendidik paham tentang teknologi. Justru, pemerintah mengembalikan ke sekolah terkait teknis pembelajaran jarak jauh. Apa menggunakan zoom, google classroom atau yang lainnya. Sosialisasi juga tak hanya untuk tenaga pendidik tapi berlaku bagi wali murid. Karena tidak semua wali murid paham akan teknologi. Apalagi mereka yang tinggal di daerah terpencil.
Selain itu, fasilitas pendukung yang kurang memadai membuat sekolah harus memutar otak agar proses pembelajaran tetap berlangsung walaupun hanya dibatasi dengan jarak. Begitu pula dengan wali murid yang harus menyediakan fasilitas internet bagi anak-anaknya agar bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh.
.
Seharusnya Negara menyiapkan fasilitas yang memadai guna mendukung proses pembelajaran yang efektif baik tatap muka maupun online. Negara bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan rakyatnya. Semua rakyatnya harus mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak karena pendidikan adalah modal utama lahirnya sebuah peradaban. Bukankah suatu Negara akan maju dilihat dari pendidikannya. Jika pendidikan yang diberikan Negara tersebut kurang, jangan harap Negara tersebut akan maju.
.
Tetapi, hal tersebut terjadi jika Negara menggunakan sistem Islam. Karena, hanya islam yang mampu memberikan fasilitas pendidikan yang layak dan menjamin kebutuhan pendidikannya baik dikalangan atas maupun bawah.
.
Wallahu ‘alam bi shawab.
*(Pemerhati Pendidikan)
Tags
Opini