Oleh Niswa
(Pegiat Literasi)
Hari ini, tanggal 10 September 2020 terjadi penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 3.861 orang, data tersebut dapat kita lihat pada situs resmi gugus tugas penanganan Covid-19. Melihat pertambahan kasus terkonfirmasi positif yang semakin meningkat secara signifikan, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang merupakan wilayah penyumbang kasus terbanyak (24,5%) mengumumkan akan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta pada tanggal 14 September 2020.
Fakta peningkatan kasus Covid-19 tersebut tidak membuat Pemerintah melakukan evaluasi kinerja pemerintah dalam menghadapi pandemi yang tidak berujung ini tapi malah mencari kambing hitam atas kegagalannya. Seperti yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, lebih memilih untuk menyalahkan sistem politik di Indonesia yang tidak bisa memaksakan rakyatnya untuk patuh dengan pelaksanaan standar protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh WHO dengan mengatakan "Negara-negara yang menggunakan sistem politik otokrasi tangan satu orang atau oligarki yang dikuasai sekelompok orang, seperti China dan Vietnam, menangani dengan lebih efektif karena mereka menggunakan cara-cara yang keras," kata Tito disiarkan langsung akun Youtube Kemendagri RI, Kamis (3/9).
Selanjutnya Tito menegaskan, bahwa negara penganut demokrasi, seperti Indonesia, India, dan Amerika Serikat cenderung mengalami kesulitan karena pemerintah tidak bisa memaksakan rakyatnya. (CNN Indonesia, 03/09/2020).
Hal senada juga disampaikan oleh Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito yang dilansir oleh CNN Indonesia (06/09/2020) ketika merespons kabar Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 yang penuh. Wiku mengatakan kapasitas rumah sakit tak akan pernah cukup kalau disorot terus.
Menurut Wiku, saat ini sebaiknya seluruh pihak menyoroti perilaku masyarakat yang masih kurang disiplin menerapkan protokol kesehatan sehingga masih menyebabkan penularan virus corona.
Jika kita cermati dari pernyataan-pernyataan tersebut, kita akan menemukan fakta bahwa mereka sudah menyadari kesalahan dari sistem demokrasi secara tidak langsung. Sistem demokrasi kapitalistik yang selama ini dibanggakan terbukti gagal hadapi wabah. Tiadanya Kepatuhan masyarakat hanya alasan bagi rezim untuk menutup borok demokrasi. Sedangkan negara otokrasi-oligarki bukanlah pilihan sehat untuk mengatasi pandemi.
Sistem kapitalisme demokrasi sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam, kepemimpinan dalam sistem Islam sangat bersungguh-sungguh dalam mengurus dan melindungi umat. Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bahwa negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW;
“Imam/Khalifah, kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas pengurusan rakyatnya. ( HR.Al Bukhari).
Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada yang lain. Hal ini sebagaimana hadis: "Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dengan demikian, penyebaran wabah penyakit menular dapat dicegah dan diminimalisasi. Aktivitas inilah yang sekarang dikenal dengan social distance, yakni suatu pembatasan untuk memutus rantai penyebaran wabah Covid-19. Caranya adalah jauhi kerumunan, jaga jarak, dan di rumah saja. Kegiatan social distance tak hanya dalam muamalah seperti pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pemerintahan, dan sebagainya yang langsung berhubungan dengan sesama manusia, tetapi juga dalam ibadah.
Social distancing yang dilakukan oleh rasulullah dan para sahabatnya, adalah dengan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu masyarakat, sehingga masyarakat tidak diresahkan oleh pemenuhan kebutuhannya dalam menjalani masa lockdown. Seperti yang dilakukan oleh Kahlifah Umar bin Khattab pada saat wabah ‘Taūn Amwās menerjang wilayah Syam dan pada masa kekeringan melanda Madinah, beliau mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat. Ia mengirimkan surat ke beberapa Gubernurnya di beberapa daerah seperti Abu Musa di Basrah, Amru bin Ash di Mesir, Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Saad bin Waqs di Iraq, untuk mengirimkan bantuan kebutuhan pokok ke Madinah. Solidaritas antar daerah ini diberikan masyarakat guna mendukung kehidupan warga Madinah selama masa kekeringan.
Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bahwa negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya. Dalam hal ini pelaksanaan peran tersebut didukung sepenuhnya oleh sistem kesehatan Islam yang merupakan hasil dari sistem kehidupan Islam. Khususnya sistem ekonomi dan politik Islam beserta sistem terkait lainnya yang shahih.
Sehingga hal tersebut memampukan negara melakukan tindakan lockdown sebagai tindakan paling efektif dalam memutus mata rantai wabah. Bahkan, mampu menjamin akses setiap orang terhadap tes dan pengobatan gratis berkualitas.
Seandainya Negara mau memberlakukan lockdown dengan menjamin kebutuhan rakyat, tentu akan mempermudah mengurangi wabah, sebab cara itulah yang telah diterapkan oleh Nabi besar kita Muhammad Saw. beserta para sahabatnya. Namun yang terjadi adalah, lontaran pernyataan-pernyataan yang menyesatkan dari para penguasa demi mempertahankan sistem demokrasi dan menolak realita bahwa negeri ini membutuhkan kembali tegaknya syariah Islam dalam bingkai Khilafah sebagai satu-satunya sistem yang mampu memberi solusi tuntas menghadapi pandemi. Wallahualam bissawab