Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
(Lingkar Studi Muslimah Bali)
Masuk kampus ternama merupakan dambaan banyak lulusan siswa SMA. Tak terkecuali bagi mereka mahasiswa baru UI. Terlena dengan euphoria, hingga suatu ketika saat PKKMB, mereka disuguhkan dengan adanya Pakta Integritas yang harus mereka tanda tangani di atas materai. Ada yang kritis, ada pula yang santai mengikuti arahan mentor PKKMB mereka.
Pakta Integritas merupakan pernyataan tertulis yang berisi penegasan bahwa pengambilan keputusan senantiasa berdasarkan prinsip kemandirian (independency), penuh kehati-hatian (duty of care and loyalty), profesional dan berdasarkan kepada kepentingan perusahaan semata (prudent person role), bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest), dan mematuhi ketentuan dan peraturan yang berlaku (duly abiding laws).
Mengapa Pakta Integritas UI ini menjadi kontroversial dan perlu dikritisi?
Di dalam Pakta Integritas UI yang isinya sudah tersebar di khalayak umum, terdapat 13 poin yang tak boleh dilanggar oleh mahasiswa baru sejak ditetapkannya sebagai mahasiswa UI. Karena ditanda tangani di atas materai, maka pelanggarnya berkonsekuensi hukum, yaitu maksimum di drop out atau dikeluarkan dari kampus.
Yang menjadi sorotan publik terkait beredarnya isi Pakta Integritas ini ada pada 2 poin dari total 13 poin yang ada, yakni poin 10 dan 11.
Poin 10 berbunyi, “Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara.”
Pasal 11 berbunyi, “Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi pimpinan fakultas dan/atau pimpinan UI.”
Salah satu pengamat politik dan dunia kampus juga angkat bicara, Luluk Farida mengatakan bahwa “Ketika kampus dinormalisasi, disterilkan dari aktivitas politik, apa yang mahasiswa dapat? Dan (apa yang) negeri ini dapat? Tak lain adalah keterbungkaman, mati daya kekritisan mahasiswa, sementara kezaliman sistem dan rezim terus berjalan tanpa kritik. Korupsi bebas, kebijakan rezim prokapitalis Asing – Aseng, sementara rakyat negeri ini bertambah menderita,” (MNews, 16/9/2020).
Dari dua pasal yang kontroversial ini, sudah membuktikan bahwa mahasiswa tidak boleh mengeksplor kemampuannya dalam berorganisasi atau kegiatan – kegiatan di luar izin kampus. Terlebih lagi tidak boleh terjun ke ranah politik praktis. Padahal, yang namanya mahasiswa itu adalah agen perubahan atau istilah kerennya agent of change.
Dimana dia harus mampu menghimpun semua keluh kesah yang dialami orang – orang di sekitarnya. Ia juga harus mampu mengubah kondisi tidak ideal menjadi ideal. Kondisi tersebut mencakup seluruh aspek. Mulai dari masalah pribadi, ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan sampai tataran politik. Untuk mencapai itu semua, pasti diperlukan pemikiran yang kritis, mendalam, dan cemerlang.
Upaya perubahan tersebut tidak akan mampu terlaksana dengan optimal jika para agent of change ini selalu dibungkam dengan adanya pakta integritas atau perjanjian tertulis dan bermaterai dari pihak kampus. Padahal kampus bertanggung jawab atas keberhasilan para mahasiswanya. Bukan hanya berkaitan dengan akademik saja, namun juga posisi mahasiswa sebagai intelektual yang harus berkontribusi di masyarakat.
Membungkam sikap kritis mahasiswa sama saja mengebiri dan melumpuhkan kemampuan otak untuk terus berpikir kritis. Tak ayal jika suatu saat generasi selanjutnya akan dipenuhi dengan kehaluan yang hakiki sebab banyak berhalusinasi dan bukan berkreasi.
Inilah yang seharusnya juga menjadi perhatian kampus. Bahwa berpikir kritis tentang politik bukan hanya urusan pemerintah saja, namun mahasiswa juga berhak ikut andil. Berpikir tentang politik praktis bukan berarti berpikir untuk merebut kekuasan, namun lebih daripada itu. Politik praktis sejatinya adalah mengurusi urusan atau hajat umat.
Di dalam Islam pun juga mengenal istilah aktivitas politik. Aktivitas tersebut merupakan serangkaian dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Mengkritisi kebijakan politik pemerintah juga merupakan salah satu bagian dari dakwah politik. Jika kebijakannya bermanfaat bagi masyarakat umum, maka patut diapresiasi. Namun, jika kebijakannya merugikan masyarakat, maka wajib untuk dikritisi.
Aktivitas politik adalah segala aktivitas yang terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri’âyah syu’un al-ummah), baik yang terkait dengan kekuasaan (as-sulthan) sebagai subyek (al-hakim) yang melakukan pengaturan urusan masyarakat secara langsung, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkum) yang melakukan pengawasan (muhasabah) terhadap aktivitas kekuasaan dalam mengatur urusan masyarakat (Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, 2005, hlm. 5).
Dengan mengusung konsep politik Islam yang cemerlang, maka tentu dakwah Islam politik menuai beberapa konsekuensi ketika berhadapan dengan urusan kenegaraan. Menurut Syaikh M. Husain Abdullah dalam kitabnya At-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 86-92, setidaknya terdapat 4 (empat) konsekuensi.
Pertama, dakwah politik akan menghadapi perlawanan dari penguasa sistem sekular yang menjadi antek – antek kafir penjajah. Menghadapi konsekuensi ini, para aktivis dakwah politik hendaknya tetap berpegang teguh dengan ideologi mereka, yaitu Islam.
Kedua, dakwah politik akan menghadapi serangan pemikiran asing yang disebarkan oleh berbagai institusi dari negara sekular yang ada, seperti media massa, sekolah, dan perguruan tinggi. Untuk menghadapinya, para aktivis dakwah politik hendaknya melakukan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri), dengan cara menjelaskan kekeliruan ide kufur yang ada, seraya membandingkannya dengan ide Islam yang lurus.
Ketiga, dakwah politik dapat menimbulkan resiko terhadap kepentingan pribadi para aktivisnya. Seperti kehilangan pekerjaaannya, hak pendidikannya, atau hak sosial bermasyarakatnya. Untuk menghadapinya, maka para aktivis dakwah politik harus memperkokoh akidahnya, misalnya memperkokoh pemahaman mereka tentang rezeki, ajal dan tawakal.
Keempat, ada kemungkinan pelaku dakwah politik terpengaruh oleh fakta buruk yang tengah menimpa umat. Misalnya, terlibat dalam aktivitas bisnis yang mengandung riba. Para aktivis dakwah politik yang terjerumus, harus cepat diselamatkan dan diajak kembali ke jalan yang benar.
Wallahu a’lam bish showab.
Tags
Opini