Oleh : Reny K. Sarie
Pegiat opini Islami & Pemerhati Sosial
Pada Kamis (13/08) Presiden AS Donald Trumph mengumumkan bahwa Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) sepakat "sepenuhnya menormalisasi hubungan". Israel menegaskan normalisasi tidak akan menghentikan rencana aneksasi atau pencaplokan Tepi Barat. (Republika 31/08). Trump mengatakan perjanjian Israel-Uni Emirat itu sebagai 'terobosan besar'. Perjanjian ini diumumkan usai Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan putra mahkota Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan melakukan sambungan telepon.
"Terobosan diplomatik bersejarah ini akan memajukan proses perdamaian di kawasan Timur Tengah dan merupakan bukti diplomasi dan visi kuat tiga pemimpin dan mendorong Uni Emirat Arab dan Israel untuk memetakan jalur baru yang akan membuka potensi besar di kawasan," kata Israel dan Uni Emirat Arab dalam pernyataan gabungan mereka seperti dilansir Aljazirah pada Jumat (14/8). Dari pernyataan ini, Netanyahu juga mengatakan dia telah "menunda" rencana aneksasi sebagian besar Tepi Barat, tetapi rencana itu tetap ada dan tidak berubah. Aneksasi akan membuat beberapa wilayah Tepi Barat secara resmi menjadi bagian dari Israel.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, dilaporkan menolak perjanjian damai itu. Juru bicara Abbas, Abu Rudeineh, membacakan tanggapan Presiden Palestina itu di luar kantor kepresidenan di Ramallah, Tepi Barat. "Itu merupakan pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al-Aqsa dan perjuangan Palestina," tegas Rudeineh.
Seorang anggota Komisi Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Wasel Abu Yusuf, memberikan komentar lebih keras. Dia menuduh UEA telah memberikan tikaman di punggung bagian rakyat Palestina dengan sepakat menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. "Hari ini adalah hari yang menyedihkan bagi rakyat Palestina. Dengan mengumumkan kesepakatan antara Uni Emirat Arab dan pendudukan (Israel), ini adalah normalisasi bebas dan ini adalah tikaman di punggung terhadap perjuangan rakyat Palestina," ujar Yusuf dalam pernyataannya.
Mantan kepala Hamas, Khaled Mashal, menilai ide tentang hubungan normal dengan Israel dimunculkan dengan maksud untuk mengendalikan dunia Arab. Dia menilik pada Israel yang berhasil melenyapkan Mesir dengan perjanjian Camp David yang mengarah pada konsep normalisasi untuk mengontrol orang Arab. Hal itu ia katakan dalam kesempatan acara yang dilakukan secara daring oleh cabang pemuda akun Facebook Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko, Ahad (30/8) waktu setempat. Seperti diketahui, Mesir dan Israel menandatangani perjanjian perdamaian di Washington pada 1979 setelah Camp David Accords pada 1978. Perjanjian itu mengakhiri konflik militer antara kedua negara dan memulai hubungan bilateral yang permanen dan stabil. "Israel mengikuti kebijakan baru dengan mengambil keuntungan dari perubahan regional dan internasional dalam beberapa tahun terakhir dan upaya untuk menormalkan hubungan dengan Israel tidak menguntungkan siapa pun kecuali pemerintah Tel Aviv," ujar Mashal dikutip laman Anadolu Agency, Senin (31/8).
Memang pasca kekalahan Daulah Khilafah Ustmani pada Perang Dunia I yang mengakibatkan Daulah Khilafah terjebak pada perjanjian Sykes-Picot, membuat nasib wilayah Daulah termasuk Palestina menjadi sangat memilukan. Negara eropa khususnya Inggris dan Perancis yang menjadi dalang perjanjian ini telah memotong-motong wilayah Daulah Khilafah layaknya kue yang siap dibagi-bagi untuk dikuasai. Dari sinilah awal mula nestapa kaum muslimin dimulai. Ditambah lagi dengan peristiwa yang sangat memilukan yaitu runtuhnya Daulah Khilafah Utsmani pada tahun 1924 akibat rencana busuk dan licik agen Inggris Mustafa Kemal Attaturk laknatullah. Sejak saat itu kaum muslimin tidak lagi memiliki perisai yang melindungi mereka dari penjajah seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Israel. Mereka terpecah belah menjadi negara bangsa (nation state). Negeri kaum muslimin pun berubah menjadi negeri pengekor. Kebijakan luar negerinya tidak mandiri. Melainkan didikte sesuai kepentingan pada “Tuan Besar”nya yaitu Inggris atau AS.
Pemimpin negeri pengekor inipun tidak peduli apakah kebijakannya memberikan kebaikan bagi rakyatnya atau tidak. Mereka juga tidak peduli meskipun kebijakannya menyengsarakan dan membunuh rakyatnya sendiri. Yang penting mereka menjalankan kepentingan tuan besarnya dengan baik. Inilah gambaran negara pengekor yang sebagian besarnya diisi oleh para penguasa boneka AS, Inggris, Perancis, Rusia dan sekutu-sekutunya. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh penguasa Uni Emirat Arab dan negara-negara teluk lainnya seperti Qatar, Bahrain, dan Arab Saudi yang masih berkontribusi dalam normalisasi secara rahasia, dan di bawah justifikasi formalitas, semakin menegaskan kedudukan mereka sebagai penguasa boneka. Maka tidak heran jika mereka dengan mudahnya dan tidak malu membuat berbagai kebijakan dengan para penjajah kaum muslimin seperti AS maupun Israel.
Inilah akibat ketika tidak ada Perisai Umat yang Hakiki yaitu Khilafah. Tidak ada Khalifah yang menjadi perisai dan pelindung umat.
“Imam laksana perisai, maksudnya seperti pelindung karena mencegah musuh yang akan menzalimi kaum muslimin, dan mencegah perselisihan di antara mereka, menjaga benteng Islam, dan menggetarkan manusia dengan kekuasaannya.” (Syahrul Muslim Lin-Nawawi, Juz 6 Hal 315).
Tidak ada cara lain untuk menyelematkan kenistaan umat muslim dan penjajahan para kaum imperialis di negeri-negeri kaum muslim yaitu dengan cara mengembalikan daulah khilafah sebagai perisai kaum muslimin. Khilafah memiliki potensi superbesar untuk menghimpun lebih dari 1,4 miliar umat Islam di seluruh dunia, dengan segala potensi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya untuk menjadi negara superpower yang mengancam hegemoni penjajah Kapitalis Barat dan Timur. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan mereka. Khilafah akan menyatukan negeri-negeri kaum muslimin dalam satu kepemimpinan yaitu di bawah bendera Daulah Khilafah dan mencegah musuh menyerang atau menyakiti kaum muslim. Khilafah juga tidak akan pernah melakukan kerja sama dengan negara-negara Kafir Harbi Fi’lan –seperti AS, Inggris, Prancis, Rusia atau negara-negara kufur lain– yang tentunya akan membahayakan eksistensi Daulah Khilafah seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Islam juga melarang pakta atau kerjasama militer dan segala macam perjanjian dan kerjasama apa pun yang memberi peluang kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslimin dan mengancam keamanan Daulah Khilafah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
Demikianlah realitas yang akan dilakukan oleh Khilafah Islamiyah dalam memutus hegemoni asing di negeri kaum muslimin. Inilah jalan satu-satunya untuk menghentikan penjajahan negara-negara kufur yang telah berlangsung lama dan menjadi penyebab utama permasalahan dan penderitaan seluruh umat manusia.
Karena itu, hanya negara yang tunduk pada hukum Allah SWT. sajalah yang mampu melibas segala ketundukan atas manusia dan peraturan-peraturan batilnya. Menggantinya dengan aturan yang menjamin kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan akhirat.