Oleh : Neti Ummu Hasna (Aktivis Dakwah)
"Semoga anda tidak pernah mengalami penderitaan karena negara Anda dicuri. Semoga anda tidak pernah merasakan sakitnya hidup dijajah. Semoga anda tidak pernah menyaksikan pembongkaran rumah anda atau pembunuhan orang yang anda cintai. Semoga anda tidak pernah dijual oleh "teman" anda."
Kalimat di atas adalah ungkapan kekecewaan dari seorang Anggota Komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO, Hanan Ashrawi di akun Twitternya pada 13 Agustus 2020, menyusul adanya normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dengan Israel yang dinilai telah memanfaatkan Palestina untuk bekerja sama dengan musuh dan mengkhianati seluruh kaum muslim di dunia.
Kesepakatan normalisasi hubungan UEA dan Israel muncul tak lama setelah Israel menyatakan rencananya untuk menduduki Tepi Barat. Uni Emirat Arab merupakan salah satu negara di kawasan Teluk yang selama ini ikut "mengecam" pendudukan Israel terhadap wilayah Palestina. Dalam kesepakatan damai yang diadakan oleh kedua negara ini atau yang disebut sebagai "Abraham Accord" oleh Presiden Amerika Donald Trump, memuat klausul yang menyebutkan agar Israel menghentikan pencaplokan wilayah Palestina.
Merujuk pada isi kesepakatan antara kedua negara tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan, penghentian untuk menguasai Tepi Barat hanya bersifat sementara. Rencana itu tetap terbuka untuk dilakukan dengan berkoordinasi dengan Washington. Jadi, kesepakatan ini sejatinya bukan untuk kepentingan Palestina seperti yang telah diklaim UEA, melainkan untuk kepentingan UEA dan Israel.
Normalisasi hubungan Israel dan UEA bukan sesuatu yang mengejutkan serta tidak terjadi secara mendadak karena adanya rencana aneksasi Tepi Barat. Meski tak ada hubungan diplomatik secara resmi, Israel dan Uni Emirat Arab rupanya puluhan tahun telah menjalin kerja sama secara rahasia terutama di bidang bisnis dan intelijen. Uni Emirat Arab juga bukan satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang telah mengkhianati perjuangan Palestina, Islam dan kaum muslim. Mesir, Yordania dan Turki telah terlebih dahulu mengakui entitas negara Yahudi Israel dan melakukan kerjasama diplomatik dengannya. Satu demi satu negara-negara di kawasan Arab jatuh pada tipu daya proyek kerjasama Amerika Serikat dan Israel dengan narasi yang menyesatkan dan memecah belah. Mereka juga menjadikan Iran sebagai ancaman dan musuh bersama sehingga perlu untuk berangkulan atau berada di pihak Amerika dan Israel. Para penguasa boneka di negeri-negeri tersebut lebih memilih tunduk pada musuh dibandingkan melakukan perbaikan hubungan diantara negara negara kawasan Arab. Mereka telah mengumpankan seluruh saudaranya sesama muslim dan seluruh potensi yang dimiliki ke tangan para penjajah yang rakus dan terus kehausan darah.
Sejatinya ketidakberdayaan umat Islam terjadi karena pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa boneka yang sengaja ditanam oleh negara penjajah kafir. Para penjajah kafir semakin leluasa menguasai negeri-negeri kaum muslimin dan semakin kuat menancapkan hegemoninya dengan adanya penguasa-penguasa pengkhianat ini. Mereka tidak pernah menginginkan Islam dan kaum muslim bangkit dari keterpurukannya. Pasca runtuhnya Kekhilafahan Islam, para penjajah kafir barat terus memecah belah negeri-negeri kaum muslim dan menjauhkan segala upaya untuk mempersatukan mereka kembali dalam satu kepemimpinan Islam. Namun sekeras para penjajah kafir memerangi Islam dan memecah belah kaum muslim, akan semakin dekat pula kaum muslimin pada janji pertolongan Rabbnya, Allah Rabbul'izzati. In syaa Allah.
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)