Oleh: Analisa
Lonjakkan kasus terinfeksi Corona semakin meningkat tajam. Hal ini menyebabkan rakyat dilanda ketakutan. Di tengah karut marut penyelesaian wabah, Pemerintah dihebohkan dengan akan digelarnya Pilkada. Seperti dikutip dari laman kompas.com (21/9/2020)Pemerintah akan penyelenggarakan pemilu. hingga saat ini masih berkukuh melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 pada 9 Desember mendatang.
Dikwatirkan bakal menjadi titik meningkatnya Covid-19 di tengah kerumunan, walupun dengan menjaga protokol kesehatan, tidak menjamin semua mematuhinya dengan baik dan benar.
Qodary menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.
Pilkada diusulkan ditunda lagi hingga berakhirnya wabah, karena terbukti banyaknya pelanggaran saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon. Namun aspirasi publik ini ditolak oleh rezim karena logika demokrasi yang menyesatkan, dan mengabaikan pertimbangan kesehatan.
Ini menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.
Semestinya, kita menyadari akan hal itu semua karena demokrasi yang telah nyata keburukannya, terlahir dari rahim kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga wajar nyawa rakyat menjadi tumbal keganasan taring Kapitalis yang mengigit tajam.
Ngotot Pilkada di tengah wabah, kita bisa menilai bahwa sejatinya kapitalis demokrasi membutuhkan rakyat di saat sedang menginginkan sesuatu kekuasaan, sehingga di tengah wabahpun ngotot digelar. Padahal ini merupakan titik tumbuh menularnya Covid-19 yang tidak kasat mata namun sangat terasa kehadirannya.
Jika negara menerapkan aturan Islam, maka Islam akan mementingkan nyawa rakyatnya. Jika masa pandemi ada pemilihan Khalifah, maka akan dipermudahkan caranya.
Dalam sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).
Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem Sekular Demokrasi.
Jadi, disamping pemilihan tetap jalan dan yang terkena wabahpun masih bisa berbaiat kepada khalifah.
Jadi, sungguh hanya Islam yang mampu menyelesaikan persoalan segala aspek kehidupan. Tanpa menjadikan tumbal rakyatnya malah sebaliknya meriayah, mendidik, bahkan bertanggung jawab penuh dengan umat. Karena hanya semata-mata mengharap ridha-Nya agar rahmatan lilalamin selalu hadir menyinari dunia.
Wallahu a' lam bishawabb.