Oleh : Iin S, SP
Virus Corona belum juga mau menghilang dari negeri ini, upaya untuk mengatasi wabah pun belum maksimal. Tapi pemerintah ngotot melaksanakan pilkada serentak diseluruh Indonesia 9 Desember mendatang.
Penyelenggaraan pilkada pun menuai reaksi dari berbagai pihak agar pilkada 2020 kembali ditunda lantaran penyebaran covid-19 makin tinggi. Namun, Menko Polhukam Mahfud Md menilai penundaan Pilkada 2020 sulit karena berbagai alasan (Terkini.id, 13/9/2020)
Qodary menyatakan, apabila pilkada 9 Desember nekat dilaksanakan bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan. Pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak (Beritasatu.com,14/9/2020).
Apabila pilkada benar-benar terlaksana, apa jaminan pemerintah kepada rakyat dalam menjaga keselamatan jiwa serta terbebas dari paparan virus COVID-19. Sudah cukupkah dengan menerapkan protokol kesehatan pemerintah bisa memutus rantai penyebaran COVID-19, sementara kerumunan massal tidak dapat dihindari, hal ini sangat bertolak belakang dengan himbauan pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan. Jangan sampai rakyat menjadi tumbal penguasa yang saling berebut kekuasaan.
Berbagai pertimbangan pilkada diusulkan ditunda lagi hingga berakhirnya wabah demi keselamatan jiwa rakyat, dan dikhawatirkan terjadi pelanggaran dimasa sosialisasi dan pendaftaran calon. Karena, pandemi dapat dimanfaatkan untuk bantuan sosial atas nama calon tertentu, sehingga sulit dibedakan antara murni bantuan baksos atau pelanggaran untuk pemilihan. Belum lagi kurangnya pengawasan diberbagai wilayah sehingga ada pemilih ganda yang sulit untuk diketahui.
Dimasa pandemi banyak terjadi PHK massal dan meningkatnya angka kemiskinan yang dapat dipergunakan sebagai money politik demi memperoleh suara terbanyak. Berapa banyak budget yang harus dikeluarkan para kandidat untuk kebutuhan kampanye, sementara budget minim. Hal ini bisa menjadi peluang untuk korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
Namun aspirasi publik ini ditolak oleh rezim karena logika demokrasi yang menyesatkan, dan mengabaikan pertimbangan kesehatan. Agar tetap eksis, demokrasi membutuhkan suara rakyat dalam melanggengkan kekuasaan. Sang petahana tidak mau tahu dengan bahaya yang mengintai rakyat, yang terpenting ambisinya terpenuhi. Peduli amat dengan nyawa dan kesehatan rakyat, itu urusan belakangan.
Ini menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.
Jelas, demokrasi tidak akan memberikan kemaslahatan kepada umat, karena demokrasi hanya menguntungkan kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan didalamnya. Dan rakyat berkali-kali hanya dimanfaatkan suaranya, setelah tujuan tercapai akan dicampakkan.
Jadi sebagai pengemban dakwah perlu membangun umat agar sadar terhadap borok pilkada, mestinya menyadarkan bahwa kebobrokan lahir dari Rahim demokrasi. Maka perlu adanya sistem yang shohih yang pasti akan membawa kesejahteraan umat yakni dengan Islam kaffah. Wallahu a'lam bishowab.