Oleh: Ummu Diar, S. Si
Setiap orang pasti memiliki penggambaran khusus terkait siapa itu ulama. Iya, kedalaman ilmu agama dan kebiasaan amar makruf nahi munkar adalah ciri yang mudah dikenali dari seorang ulama. Setiap yang beriman, lazimnya menyukai adanya aktivitas amar makruf nahi munkar. Amalan mulia yang bertujuan saling menasehati untuk melakukan kebaikan, dan saling mengingatkan agar meninggalkan keburukan.
Maka kendati menjadi identitas Ulama, setiap Muslim tidak mengapa mengerjakannya. Tak pandang laki-laki dan perempuan, semua memiliki kesempatan sama. Bahkan sejak masih kanak-kanak sekalipun. Untuk mengawali mengenalkan seluk beluk amar makruf di dunia anak, tak ada salahnya mencoba mengenalkan sosok ulama kepada mereka.
Pengenalan anak kepada Ulama berpotensi menghadirkan sosok teladan bagi anak, agar termotivasi berbuat kebaikan. Bisa juga menjadi contoh riil, membuktikan kepada anak bahwa kebaikan itu benar adanya, bukan sebatas di film atau cerita di buku semata.
Apalagi Ulama dalam timbangan Islam adalah sosok istimewa. Keistimewaan tersebut di antaranya meliputi:
Pertama: dinaikkan derajatnya. (Dapat dilihat di QS al-Mujadilah [58]: 11). Nabi pun bersabda yang artinya: "Permisalan Ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk kepada orang yang berada di gelap malam, di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk" (HR Ahmad).
Kedua: Ulama pewaris para Nabi. "Sungguh ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak" (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengapa di dalam hadis ini disebut kata pewaris? Imam al-Munawi mengatakan, “Karena warisan itu berpindah kepada manusia yang paling dekat. Sosok manusia yang paling dekat dengan para nabi dalam urusan agama adalah para Ulama yang berpaling dari dunia, menghadap akhirat dan kedudukan mereka terhadap umat adalah sebagai pengganti dari para nabi. Para Ulama adalah orang yang memperoleh kebahagiaan dengan dua kebaikan: ilmu dan amal. Mereka pun mendapatkan dua keutamaan: kesempurnaan dan menyempurnakan.” (Al-Munawi, Faydh al-Qadir, 4/105).
Ketiga: memiliki kesempatan memberikan syafaat pada Hari Kiamat. "Akan memberi syafaat pada Hari Kiamat tiga golongan: para nabi, Ulama, lalu para syuhada" (HR Ibnu Majah).
Keempat: menjadikan agama terpelihara dan umat terjaga dengan ilmu. "Sungguh Allah SWT tidak mencabut ilmu dengan mencabut ilmu itu dari manusia. Namun, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama" (HR al-Bukhari). [1]
Demikian penting posisi Ulama, sehingga mengenal mereka adalah awal kebaikan, gerbang pembuka mencintai kebaikan itu sendiri agar nyaman dipraktikkan sehari-hari. Oleh karena itu, penting menanamkan pada diri dan pada anak-anak untuk memiliki rasa cinta pada Ulama. Meskipun belum bisa meniru seperti mereka.
Anas bin Malik mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR. Bukhari no. 3688).[2]
Adapun langkah yang bisa ditempuh menumbuhkan kecintaan anak pada Ulama antara lain:
1. Membahasakan secara sederhana kepada mereka bahwa ajaran Islam perlu sampai kepada manusia, pasca tiadanya Rasulullah, Ulama lah yang melanjutkannya.
2. Mengenalkan sosok Ulama kepada anak. Bisa melibatkan anak saat ada kegiatan berkaitan dengan Ulama. Misalnya menyimak kajian bersama, membaca hasil karyanya, atau biografi Ulama sepanjang masa.
3. Mengajarkan anak pentingnya adab pada Ulama. Karena adab adalah jalan keberkahan ilmu.
4. Menyampaikan dosa
dan bahaya melecehkan atau bahkan menyakiti Ulama. Hal ini penting, sebab tanpa bekal sejak dini, dikhawatirkan masih tersimpan potensi krisis kejiwaan pada generasi sehingga tega berbuat aniaya pada Ulama. Padahal dalam Islam hal ini jelas dosa besar. Sampai-sampai Al-Hafizh Ibnu Asakir, dalam kitab Tabyin Kadzib al-Muftari, juga mengingatkan bahwa daging ulama itu ‘beracun’. Siapa saja yang menghina, memfitnah, apalagi menyakiti para ulama akan mendapat balasan keras dari Allah SWT. Kata Ibnu Asakir, “Tidaklah saya tahu seseorang yang menghina ulama kecuali akan mati dalam keadaan su’ul khatimah karena sungguh daging ulama itu ‘beracun’.”
5. Membiasakan suasana rumah kondusif dengan penghormatan pada Ulama. Orang tua memberikan keteladanan dengan menyimak penyampaian dari Ulama dan berkomentar bijak pada apa yang disampaikan.
6. Orang tua dapat menginspirasi anak untuk mempraktikkan amar makruf sebagaimana ajaran Ulama. Atau bahkan dapat menginspirasi anak agar terus belajar agama hingga ber-ilmu selayaknya Ulama.
Demikian upaya yang dapat dicoba. Segala upaya penanaman rasa cinta pada Ulama yang diusahakan setidaknya dapat diharapkan menjadi tameng agar anak lebih cinta Islam dibandingkan budaya selainnya. Lebih familiar mendengarkan ceramah kebaikan, dibandingkan mengikuti life style musisi atau aktris dalam dan luar. Lebih dekat pada pencapaian cita-cita sholih sholihah sebagaimana yang sering Ibu-ibu doakan. []
Referensi:
1. https://www.mandailingonline.com/bahaya-memusuhi-dan-menyakiti-ulama/
2. https://rumaysho.com/2114-cenderung-cinta-padanya.html