(Pemerhati Sosial Asal Konawe)
Kasus kekerasan anak di Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara alami peningkatan signifikan. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Konsel, Yuliana saat diwawancarai di kantornya, Selasa (25/08/2020). Yuliana mengungkapkan dibanding tahun 2019, kasus kekerasan perempuan dan anak di Konsel hanya berjumlah delapan kasus.
Sementara di tahun 2020 dengan periode yang sama saat ini jumlah kasus telah mencapai 15 kasus. Lebih rinci, Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ada enam kasus, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap anak sembilan kasus. Yuliana menjelaskan, berbagai faktor dianggap menjadi pemicu meningkatnya jumlah kasus tersebut, salah satunya akibat pandemi Covid-19 (Zonasultra.com, 25/08/2020).
Di samping itu, pekerja sosial perlindungan anak kementerian sosial wilayah Konawe Selatan Helpin Ezza, S.sos terjun melakukan penjangkauan dan melakukan pendampingan psikologial terhadap anak korban dugaan kesusilaan atau pemerkosaan di kepolisian serta mengunjungi langsung di rumah keluarga korban.
Helpin mengatakan korban masih dalam kondisi trauma atas peristiwa yang ia alami di mana anak cenderung menyendiri dan tertutup karena malu sehingga memerlukan pelayanan pendampingan psikososial, jika tidak anak tersebut bisa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dan perlu perhatian serius. Di samping itu ia terus melakukan pendampingan mulai tahap penyidikan di kepolisian, kejaksaan hingga tahap putusan pengadilan. Saat ini anak putus sekolah dan betul-betul memastikan anak mendapatkan haknya sesuai amanat UU Sistem Peradilan Pidana Anak No 11 Tahun 2012.
Selain itu, menurutnya tindakan asusila atau pemerkosaan saat ini marak dilakukan oleh orang terdekat korban. Berdasarkan hasil pendampingan dan aseessment awal yang dilakukan ditemukan pelaku adalah orang terdekat korban serta beberapa faktor penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak dilatarbelakangi faktor internal dan eksternal keluarga seperti perceraian, ekonomi, pola asuh dan pengawasan penggunaan media sosial (Harapansultra.com, 17/02/2020).
Tingginya angka pelecehan seksual terhadap anak ini sangat memperihatinkan. Padahal anak-anak adalah makhluk kecil yang lemah butuh perlindungan dari semua pihak. Anehnya kekerasan terhadap anak justru sering terjadi di dalam rumahnya sendiri dan pelakunya adalah orang tuanya. Padahal orang tua mestinya berperan sangat dominan untuk mencegah terjadinya kekerasan pada anak, dengan memberikan pengawasan terhadap anak tersebut.
Di sisi lain, kasus pelecehan terhadap anak kian marak, karena sistem sosial yang berlaku tidak menjerat dengan tegas pelakunya. Tidak bisa sekedar sosialisasi maupun edukasi kepada masyarakat, tetapi penerapan hukum dengan sistem sanksinya harus seimbang.
Sementara itu, dalam perspektif hukum pidana Islam pelecehan seksual merupakan bentuk jarimah ta’zir karena berkaitan dengan kehormatan. Dalam hukum Islam tidak mengatur secara spesifik tentang hukuman bagi pelaku pelecehan seksual, akan tetapi pelecehan seksual dikategorikan sebagai tindakan yang mendekati zina. Ta’zir merupakan hukuman yang bersifat pendidikan atas tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.
Hukuman ta’zir bagi pelaku pelecehan seksual ini pun berupa hukuman jilid. Mengenai jumlah maksimal hukuman jilid dalam jarimah ta’zir para ulama berbeda pendapat. Dikalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jumlah hukuman jilid dalam hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali. Sedangkan dikalangan ulama’ Malikiyyah berpendapat bahwa hukuman jilid boleh melebihi had selama mengandung maslahat.
Tak lupa pula pemerintah perlu melakukan pencerahan tentang dampak pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak kepada masyarakat. Ketika masyarakat sadar akan keberadaan pelecehan seksual dan kekerasan pada anak sebagai masalah yang serius, maka dengan sendirinya akan tumbuh keinginan dalam diri masyarakat tersebut, untuk membantu seluruh upaya layanan, program maupun kebijakan yang terkait dengan pencegahan pelecehan seksual dan kekerasan pada anak.
Dengan demikian, tidak mudah menghilangkan masalah kekerasan tersebut jika masih minim sinergi antara peran individu, masyarakat, dan pemerintah. Karenanya, ketiga komponen tersebut diharapakan dapat bekerja sama dengan baik, sehingga tidak akan menambah daftar panjang korban pelecehan seksual. Sebab, pemerintah dan masyarakat saling bahu-membahu untuk melindungi anak-anak. Wallahu a’lam bisshowab.