Arif Susiliyawati, S.Hum.
“Orang yang akan tenggelam akan menggapai apapun, bahkan jerami sekalipun.” Peribahasa Jepang ini kiranya merefleksikan upaya membabi-buta yang dilakukan penguasa hari ini untuk menghalangi bangkitnya kesadaran umat Islam terhadap ajaran Islam. Berbagai langkah terus dilakoni susul-menyusul, mulai dari pengaburan, penguburan sejarah Islam, stigmatisasi, hingga intimidasi. Namun, seluruh upaya ini sesungguhnya ibarat mencincang air.
Pengaburan dan penguburan sejarah Islam ini tampak dari upaya penjegalan penayangan sebuah film dokumenter sejarah Islam berjudul Jejak Islam di Nusantara (JKDN) pada 20 Agustus (1 Muharram) lalu. Sesuai judulnya, JKDN mengungkap soal jejak yang menunjukkan adanya hubungan antara Indonesia yang dulu disebut Nusantara dengan negara adidaya Khilafah Islamiyyah kala itu.
Sejumlah fakta disajikan, seperti surat yang dikirimkan oleh Raja Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Film ini disutradarai oleh sejarawan yang membuat informasi dan fakta sejarah dalam film ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun ilmiah.
Namun, alih-alih karya ini diapresiasi di tengah meluapnya tayangan miskin faedah, penayangan perdananya justru beberapa kali diblokir aksesnya dan menjadi tidak tersedia karena komplain dari pemerintah. Langkah ini bukannya berhasil buat umat berhenti mengaksesnya, film ini malah telah ditonton ratusan ribu kali.
Tak hanya itu, akibat penjegalan ini, film ini malah semakin diperbincangkan, sampai sejarawan dan penasihat tim pembuatan film ini diundang ke stasiun TV nasional dan berkesempatan mendiskusikannya. Diskusi di kalangan intelektual dan sejarawan hidup, sebagian mengklaim jejak khilafah di Nusantara khayalan, sementara sejarawan muslim lainnya malah membantah secara ilmiah dan menegaskan kebenaran jejak khilafah.
Langkah penjegalan ini hanyalah pelengkap dari rangkaian upaya sistematis penguasa untuk menjauhkan umat dari sejarah Islam. Upaya ini juga tampak dari kebijakan Kemenag sebelumnya yang merevisi 155 buku pelajaran madrasah melalui pemberlakuan kurikulum baru sehingga mengerdilkan ajaran khilafah yang wajib ditegakkan kaum muslimin menjadi sekadar cuplikan sejarah yang cukup dikenang.
Para penjajah yang dulu berhasil memecah-belah kesatuan umat Islam paham benar betapa berbahayanya jika umat Islam mengetahui identitasnya sebagai ummatan wahidah di bawah naungan khilafah. Bisa-bisa kaum Muslimin bangkit tuk menyambut seruan perjuangan penegakan khilafah.
Stigmatisasi makin gencar diaruskan, baik terhadap ajaran Islam maupun siapa saja yang berani memahamkan Islam kaffah kepada umat. Cap radikal selalu dilekatkan pada pengemban dakwah yang menyerukan tegaknya Khilafah sebagai metode penerapan syariat. Menag belakangan kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial karena berucap bahwa pemuda good-looking, penghafal Al-Qur’an, dan berpemahaman agama yang baik merupakan corong masuknya paham radikal (news.detik.com, 4 Sep 2020).
Program sertifikasi penceramah juga dicanangkan dengan dalih deradikalisasi. Namun, pernyataan pemuda good-looking menyebarkan radikalisme maupun sertifikasi penceramah sama-sama menuai kritik pedas dan penolakan dari berbagai pihak yang mampu melihat kuatnya nuansa sensor dan pembatasan aktivitas dakwah serta kental dengan tudingan yang memojokkan ajaran Islam sebagai sumber masalah (baca: radikalisme).
Intimidasi & kriminalisasi juga terus-menerus dilakukan. Menag sudah ‘mewanti-wanti’ agar siapa saja yang mendukung khilafah ajaran Islam jangan diterima sebagai aparatur sipil negara. Begitu pula masyarakat yang mendukung ide khilafah agar jangan mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) (cnnindonesia.com, 2 Sep 2020).
Peringatan ini tentu ingin menguatkan doktrin bahwa menerima dan mendakwahkan khilafah sebagai ajaran Islam itu adalah musuh dan ancaman negara hingga siapa saja yang mendukungnya tak berhak mengabdi sebagai aparatur negara. Penguasa mengira intimidasi yang terkait kepentingan perut ini akan ampuh membuat umat takut dan berhenti mendukung serta memperjuangkan ide khilafah.
Mereka mungkin lupa bahwa para mukhlisin 100 persen yakin Allah ar-Razaq dan “jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad: 7)”.
Tindakan-tindakan persekusi mendapat ruang lewat pembiaran yang dilakukan pihak berwenang. Rekaman viral beredar tentang tindakan main hakim sendiri dari anggota suatu kelompok yang memaki-maki seorang kyai hanya karena mendakwahkan ajaran Islam tentang Khilafah. Alih-alih mendapat dukungan, tindakan yang miskin adab dan sewenang-wenang ini malah dihujat berbagai pihak.
Namun, anehnya Menag memuji tindakan tersebut dengan melabelinya sebagai tindakan tabayyun (rmco.id, 25 Agustus 2020), padahal realitas tabayyun dengan yang dilakukan kelompok tersebut berbeda jauh. Jadilah, masyarakat kecewa berat dan mengkritik respons Menag yang merupakan representasi penguasa ini. Sikap ini menunjukkan pembenaran atas aksi persekusi main hakim sendiri selama dilakukan untuk ‘memerangi’ ide khilafah.
Ketakutan terhadap khilafah juga berusaha dihembuskan lewat bentuk intimidasi lainnya, yakni kriminalisasi para pengemban dakwah. Beberapa waktu lalu Ust. Ismail Yusanto dilaporkan ke kepolisian atas dugaan melakukan propaganda khilafah (suara.com, 28 Agustus 2020). Despi, seorang guru honorer di Kotabaru, juga dilaporkan dan ditahan 3 bulan oleh penyidik akibat memposting khilafah di media sosial.
Mungkin mereka lupa intimidasi semacam ini adalah strategi usang yang gagal meruntuhkan tekad juang para muttaqin. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menghadapi tekanan penguasa zalim pada masanya, “Apa yang mereka lakukan terhadapku? Bila mereka penjarakan aku, mereka beri aku peluang untuk rekreasi. Bila mereka bunuh aku, maka mereka istirahatkan aku.”
Demikianlah para pembenci itu membabi-buta menularkan kebenciannya terhadap ajaran Dien ini. Namun, semua akan berakhir sia-sia, ibarat mencincang air. Semakin mereka mempertontonkan kebencian & permusuhan terhadap ajaran Islam, umat pun akan semakin gamblang menyaksikan di pihak mana ada kebenaran.
Allah SWT telah berfirman tentang kesia-siaan upaya mereka ini, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya. (QS. Ash-Shaff: 7)”
Tags
Opini