Kreativitas Ala Korean Wave Mampukah Menjadi Umat Terbaik?



Oleh Trisna
Aktivis Muslimah

Korean wave atau budaya korea seperti K-Pop dan K-Drama sudah tidak asing lagi dan menjadi tren kekinian kalangan millenial. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Wapres RI, Ma'ruf Amin, pada Ahad (20/09/2020) yang menyebutkan bahwa anak-anak muda di seluruh pelosok Indonesia banyak mengidolakan artis-artis K-Pop dan gemar menonton K-Drama.

Menanggapi fenomena tersebut Ma'ruf Amin berharap maraknya budaya Korea yang digandrungi para kawula muda bisa mendorong munculnya kreativitas anak muda Indonesia dalam berkreasi dan mengenalkan keragaman budaya Indonesia ke luar negeri. Tidak hanya itu Ma'ruf menganggap fenomena ini bisa memperkuat hubungan bilateral kedua negara, khususnya di bidang ekonomi. “Ketertarikan warga Indonesia terhadap korea juga telah mendorong meningkatnya wisatawan Indonesia ke Korea. Diharapkan juga wisatawan Korea juga semakin banyak datang ke Indonesia,” ujar Ma’ruf.

Sekalipun jika benar adanya bahwa Korean Wave mampu mendongkrak hubungan kerjasama Indonesia-Korea yang kemudian dinyatakan akan bisa mengembangkan perekonomian Indonesia, nyatanya kerusakan yang ditimbulkan justru begitu besar. Pasalnya K-Pop maupun K-Drama begitu kental mengenalkan budaya Korea yang serba bebas dan cenderung kepada pergaulan bebas. Gemerlapnya kehidupan para artis K-Pop pun menjadikan para fansnya cenderung konsumtif guna mengikuti gaya berpakaian maupun gaya hidup sang idola. Terlebih lagi untuk para fans idol yang notabene nya adalah remaja, belum bisa benar-benar memfilter mana yang boleh ditiru dan mana yang tidak, tak jarang para penggemar menjadi sangat terobsesi dan fanatik sehingga rela melakukan apa saja demi sang idola. Pada akhirnya kita semakin mudah menemukan anak-anak muda Indonesia berpakaian serba terbuka, berpacaran dan bahkan berzina, yang banyak di antara mereka mencontoh gaya hidup idola mereka tersebut.

Sedangkan kehidupan para idola yang menjadi panutan kawula muda masa kini sesungguhnya tidak seindah yang dibayangkan. Sering kita dengar bagaimana para artis Korea mengalami depresi yang banyak diantaranya berujung dengan kematian. Para idola yang dituntut untuk selalu tampak 'sempurna' menjadikan mereka senantiasa hidup di bawah tekanan, yang kemudian tidak sedikit diantara mereka mengakhiri hidupnya secara tragis. Menurut WHO, angka bunuh diri di Korea Selatan merupakan salah satu yang tertinggi. Korea Selatan berada ditingkat 10, dan pada tahun 2012 bunuh diri merupakan penyumbang kematian tertinggi keempat di Korea Selatan. (hot.detik.com/3/4/2020)

Hal ini wajar terjadi di dalam sistem kapitalis sekuler, ketika orientasi visi hidupnya hanya kepada materi dan gemerlap dunia saja tanpa terikat dengan hukum-hukum sang pencipta. Dalam hal ini Korea secara nyata telah mengekspor budaya kerusakan ke seluruh dunia terutama di negara dengan mayoritas muslim. Peradaban yang sangat jauh dari nilai budaya Islam, perilaku yang mengumbar aurat, drama-drama yang cenderung menarik perhatian lawan jenis, gerakan-gerakan yang mengumbar lekuk tubuh, semua itu hanyalah kemaksiatan berbalut kreativitas. Lantas layakkah Korean wave ini menjadi panutan anak bangsa?

Padahal jika kita bandingkan dengan kondisi generasi muda di masa keemasan Islam, para kawula muda menjadi kekuatan terbesar umat yang mampu menopang peradaban Islam dan menggerakkan arah perubahan. Para pemuda Islam di masa kepemimpinan Rasulullah saw dan disusul oleh para khalifah setelahnya, menjadi para pemuda tangguh yang tidak hanya memiliki akidah yang kokoh, akhlak yang mulia, tetapi juga kepribadian yang tangguh serta ketinggian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tidak lain karena dorongan keimanan yang dimana setiap pemuda berupaya mengaplikasikan firman Allah Swt, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali-Imran: 110).

Di bawah gemblengan Islam tiap-tiap generasi muda tumbuh menjadi individu yang mampu menorehkan tinta emas dalam kehidupan umat manusia. Mereka tidak menjadi generasi “tertinggal” dan “bodoh” yang senantiasa “membebek” pada budaya yang justru merusak akidah mereka. Dengan pemahaman Islam yang kuat, tiap generasi muda Islam akan menolak apa saja yang justru bertentangan dengan agama mereka. Sikap semacam ini tidak lain karena mereka khawatir dan takut jika di yaumul hisab kelak Nabi saw tidak menjadikan mereka masuk ke dalam golongan orang-orang beriman, sebagaimana sabda Nabi saw, “Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat nanti” (HR. at-Thabrani). Na’udzubillah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak