Konser Kampanye Pilkada Dimasa Pandemi, untuk Kepentingan Siapa?




Oleh: Novriyani, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)


Konser kampanye pilkada yang diselenggarakan oleh setiap pasangan calon kepala daerah menuai banyak kontroversi. Pasalnya,  Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih membolehkan calon kepala daerah (cakada) menyelenggarakan konser musik di tengah pandemi Covid-19 ini. Hal ini menjadi polemik di tengah masyarakat yang sedang berjuang melawan pandemi Covid-19. 

Hal tersebut pertama kali diungkapkan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 dalam webinar bertajuk Evaluasi Penerapan Protokol Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dalam Pemilihan Serentak 2020, pada Selasa (15/9/2020). 

Saat itu, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Wisnu Widjaja yang mewakili Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo menyebut, aturan-aturan di dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19 memberi celah potensi terjadinya kerumunan massa (KOMPAS.Com 17/9/2020).

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyoroti aturan tentang dibolehkannya konser musik itu. Dasco mengatakan, sebaiknya kegiatan Pilkada yang memicu terjadinya perkumpulan massa dihindari mengingat Indonesia masih dalam kondisi pandemi Covid-19. "Kalau saya sendiri sih berpendapat sebaiknya konser-konser seperti itu ya sebaiknya dihindarkan," kata Dasco dalam sebuah video yang diterima Kompas.com, Rabu (16/9/2020).

Selain itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Achmad Yurianto menegaskan, sebaiknya konser musik saat kampanye tidak dilakukan. Ia mengatakan, Satgas Penanganan Covid-19 di daerah penyelenggara Pilkada harus ikut ambil bagian dalam melarang konser musik tersebut (TRIBUNNEWS 18/9/2020).

Konser musik di masa pandemi covid-19 seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah untuk menekan laju penularan virus ini. Di tengah meningkatnya kasus covid-19 melakukan kampanye dengan  melibatkan perkumpulan massa fatal akibatnya. Akan menambah kluster baru dalam penyebaran virus covid-19. 

Hal ini nampak jelas bahwa pemerintah abai terhadap kesehatan dan keselamatan rakyatnya. Pemerintah hanya memikirkan keuntungan yang akan diperoleh dari kampanye pilkada ini. Selain itu, semakin terlihat bahwa pilkada juga menjadi alat untuk mempertahankan demokrasi untuk memperpanjang kepemimpinan yang rusak.

Dalam Islam kampanye calon pemimpin hanya diselenggarakan untuk memperkenalkan visi dan misi sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Ketika Islam diterapkan secara kaffah mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan mampu menjalankan perannya sebagai penangung jawab urusan rakyatnya. 

Berikut hal-hal yang menjadikan pemilu dalam Islam mampu melahirkan pemimpin berkualitas. Pertama, Islam secara mendasar telah mendudukan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada aturan Allah. 

Kedua, metode baku pengangkatan pemimpin dalam Islam adalah baiat. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan umat. Dukungan ini tak harus berupa pemilu langsung yang menghabiskan uang negara. 

Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan. Kemudian pencalonan akan diseleksi oleh Mahkamah Mazhalim dan dikatakn layak ketika memenuhi ketujuh syarat ini (muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu). 

Ketiga, Islam memberikan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye, sehingga tak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari pemili sudah selesai.

Demikianlah cara Islam memilih pemimpin, semata-mata untuk kepentingan umat manusia, keberadaan pemimpin untuk menjaga peberapan Islam kaffah.
Walluhualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak