Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
Pengemban Dakwah
Sungguh menyakitkan ketika melihat penderitaan saudara seiman di Palestina yang tak kunjung berakhir. Bantuan demi bantuan, sedikit kepedulian dari sesama muslim sebisa mungkin disalurkan. Baik berupa pangan maupun obat-obatan. Tapi sungguh tak berdaya umat islam kini, menyaksikan Palestina di bom hampir setiap hari oleh Israel. Lalu dimanakah para pemimpin umat islam saat ini ?
Pada 30 Agustus 2020, Tank-tank tempur Israel dikerahkan menuju Gaza. Penurunan armada itu setelah serangan balon dari Palestina di sebrang perbatasan terus berlanjut. Mesir dan Qatar telah melakukan pendekatan pada Israel untuk melakukan gencatan senjata. Namun Israel tetap pada pendiriannya. Pihak Israel mengatakan akan meringankan blokade jika serangan balon pembakar diakhiri (Republika.com).
Sementara negeri Islam lainnya, UEA tengah bersiap normalisasi hubungan dengan Israel. Pada 13 Agustus 2020 Presiden UEA mengumumkan dekret presiden yang menyatakan mencabut pemboikotan terhadap Israel, serta mengizinkan diadakannya kesepakatan perdagangan dan perekonomian. Menurut kantor berita setempat, keputusan ini diambil presiden UEA bertujuan untuk mendukung kerja sama bilateral.
Keputusan ini tentu menyakitkan bagi warga Palestina karena mengkhianati upaya Palestina selama ini untuk melawan penjajahan Israel. Meski isi kesepakatan normalisasi UEA dan Israel mensyaratkan penghentian pencaplokan wilayah palestina, ternyata hal ini ditepis oleh Perdana Mentri Israel, Benjamin Netanyahu. Ia menegaskan penghentian untuk menguasai tepi barat hanya bersifat sementara. Saat ini ia fokus pada upaya memperluas ikatan dengan negara-negara lain di Arab dan dunia muslim (tempo.co).
Demikianlah ketika aqidah tak lagi jadi landasan dalam bernegara. Nyawa saudara seiman tak lagi jadi prioritas utama. Kesepakatan dilakukan hanya atas dasar untung rugi. Keselamatan warga negara masing-masing jadi dalih pertimbangan. Tapi sesungguhnya para pemimpin muslim kini telah masuk dalam jeratan politik kaum penjajah hingga tak berdaya atas penderitaan sesama muslim lainnya.
Telah sering kita dengar bahwa sesama muslim adalah saudara. Firman Allah dalam Al-Qur’an,"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Rosulullah SAW bersabda,
“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam”[HR. Bukhari]
Ikatan Aqidah adalah ikatan yang kuat. Ikatan aqidah bahkan bisa mengalahkan ikatan darah. Sahabat nabi, Mus’ab bin umair lebih memilih memeluk islam ketika ibunya menentangnya. Meski demikian, Rosulullah tetap memerintahkan ia untuk tetap berlaku baik pada Ibunya. Teringat juga kisah kaum Muhajirin dari Mekkah disambut oleh kaum Anshor di Madinah ketika berhijrah. Mereka disambut bagai saudara. Demikianlah ikatan aqidah menyatukan mereka bahkan yang baru pertama kali berjumpa.
Tapi hari ini ikatan aqidah telah kalah oleh sekat-sekat wilayah. Paham nasionalisme telah menggerus ukhuwah islamiyah. Umat islam yang satu tubuh kini tercerai berai. Sejak runtuhnya Daulah Islamiyah di Turki, negri-negri muslim berdiri sendiri-sendiri. Terhadap saudaranya yang terdzolimi mereka tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan.
Penderitaan saudara muslim atas kedzoliman yang diterimanya hanya akan berhenti ketika seorang pemimpin dari sebuah institusi negara bersikap tegas kepada mereka yang telah dzalim. Disinilah umat islam memerlukan sosok pemimpin berani dalam mengambil setiap keputusan berlandaskan aqidah. Tak semestinya pemimpin negara muslim berjabat tangan penuh kemesraan dengan kaum kafir yang telah mendzalimi saudaranya. Rosulullah SAW bersikap keras terhadap mereka yang memerangi islam. Maka demikian seharusnya para pemimpin negri islam kini.
Hanya pemimpin dari negara yang berlandaskan aqidah islam yang mampu menghentikan kedzoliman terhadap saudara seimannya. Ketika Allah mensyariatkan untuk bersikap keras terhadap kaum kafir yang memerangi islam, maka ia akan melakukannya tanpa berpikir keuntungan dan kerugian atas keputusannya. Semua keputusan dilakukan dalam rangka ketaatan pada Allah SWT. Hanya Allah SWT yang mampu menolong, maka sudah semestinya umat islam dan pemimpinnya melakukan apa yang Allah SWT perintahkan. Pemimpin yang tegas dan menjadikan aqidah islam sebagai dasar negara, hanya dapat dilahirkan dalam sistem Khilafah.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, . . ." (QS. Al-Fath: 29)