Khilafah itu Nyata Jejaknya Ada di Nusantara



Oleh : Nely Merina
Penulis dan penggiat literasi

Tak sedikit orang yang memungkiri bahwa adanya jejak khilafah di Nusantara. Berbagai macam cara yang ditempuh. Dari pernyataan di media, pembubaran organisasi, persekusi, kriminalisasi hingga kurikulum sekolah yang direvisi. Namun semakin ingin dihapus, jejaknya malah semakin nyata. Satu persatu dokumentasi terkuak, baik berupa tulisan maupun video jejak khilafah di Nusantara mulai tersebar. Dan lucunya video dan tulisan tersebut justru berasal dari mereka yang ingin menghapus jejaknya. 

Belum lama ini Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA bersikeras bahwa jejak khilafah di Nusantara  itu tak ada. Bahkan video documenter Jejak Khilafah di Nusantara dikatakan merupakan upaya memanipulasi sejarah yang dibuat seromantis mungkin untuk mengelabuhi masyarakat muslim yang tidak paham sejarah. “Mana ada jejak khilafah dengan Indonesia. Abasiyah itu bukan khilafah itu dinasti. Umayah juga dinasti, Otoman juga dinasti. Ini terjadi manipulasi fakta dan diromantikkan saja,” jelasnya. 

Guru besar Ilmu Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, tersebut bukan hanya membantahnya lewat media sosial namun juga media online hingga media elektronik. Dan lucunya dia sendiri pernah menulis buku berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abda XVII-XVIII. Tak hanya itu cendekiawan muslim ini pun salah satu penulis  buku Ensiklopedi Tematis Dunia  yang mengupas penyebaran Islam yang mengagumkan salah satunya di Nusantara. Pada jilid dua buku justru mengupas khusus Khilafah, dimana Kekhilafahan Ummayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah yang jelas jelas dinyatakan sebagai kekhalifahan Islam di dalamnya. 

Selain itu tersiar juga video lama berdurasi 9 menit 26 detik, Said Aqil Shirat sedang menceritakan bangkitnya khilafah hingga runtuhnya khilafah yang sangat berpengaruh bagi nusantara. Dimana ketika kekhalifahan ottoman runtuh, terjadi pencaplokan wilayah-wilayah yang penduduknya muslim oleh para penjajah. Salah satunya Nusantara. Padahal Ketua Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) ini sering menyebut khilafah merupakan ancaman nyata bagi NKRI. 

Menghapus Jejak Khilafah dari Film hingga Kurikulum

Usaha keras untuk menghilangkan jejak khilafah seolah didukung oleh pemerintah. Seperti saat penayangan  film jejak Khilafah di Nusantara beberapa kali banned. Tertera tulisan konten ini tidak tersedia di domain negara ini karena ada keluhan hukum dari pemerintah. Begitu pula saat Banser yang melalukan.

Tak ketinggalan kurikulum sekolah mengenai khilafah turut direvisi. Ada 155 buku agama islam SD-SMP-SMA hingga madrasah pun turut dirombak. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin, Buku pelajaran agama Islam yang baru akan membuat materi pemahaman bahwa khilafah tidak relevan dan kontekstual jika diterapkan di Indonesia. Selain itu, materi dalam buku pelajaran agama Islam nantinya tidak hanya memuat tentang ibadah, namun nasionalisme juga diperkuat. (Tempo, 18 November 2019). 

Meski Menteri Agama   pernah membantahnya namun sejak tahun ajaran baru ini mata pelajaran Khilafah dan Jihad tidak lagi diajarkan pada mata pelajaran fiqih, melainkan dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan. Hal tersebut diperkuat dengan surat edaran bernomor B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar, disebutkan dengan jelas terkait revisi tersebut adalah dalam rangka “pengarusutamaan moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme di satuan pendidikan madrasah”. Oleh karenanya memandang perlu untuk meninjau ulang dan menghapus atau merevisi materi-materi yang dianggap radikal atau menyebabkan radikalisme. Dengan pemindahan materi dari fiqih ke SKI maka materi khilafah dan jihad hanya sekedar kisah dan urutan waktunya namun tak dijelaskan secara terperinci dalil-dalilnya.  
Intimidasi, Persekusi Hingga Kriminalisasi 

Bukan sekedar menghapus jejak lewat buku ataupun konten digital. Para pejuang khilafah pun tak sedikit yang mengalami intimidasi, persekusi hingga kriminalisasi. Seolah tak puas dengan mencabut status badan hukum ormas pejuang khilafah, HTI, melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017. Sebut saja Hikmah Sanggala, Mahasiswa UIN yang didrop out, Felix Siaw yang kajiannya beberapa kali digagalkann dengan alasan menyebarkan paham kebencian. Alfian Tanjung yang pernah mendekam dipenjara, Ali Baharsyah yang kini masih mendekam di jeruji besi. 

Ustadz Zainullah baru-baru ini diintimidasi oleh Ormas Banser dengan tuduhan menyebarkan paham Khilafah HTI dan penghinaan presiden Jokowi. Bukannya menyayangkan sikapnya, Menteri Agama justru mengapresiasi.  Dan kini Ustadz  Ismail Yuswanto pun turut dilaporkan ke polisi lantaran masih menyebut dirinya sebagai juru bicara HT dan terus mempropagandakan khilafah ala HTI melalui media sosialnya

Khilafah itu Nyata, Jejaknya Ada di Nusantara

Meski banyak yang ingin menghapus jejak khilafah di Nusantara, namun jejak tersebut malah semakin terkuak. Meskipun  Prof. Dr. Azyumardi dan Said Aqil Sirait menepis jejak khilafah yang mereka pernah buat. Namun fakta sejarah membuktikan ada bukti lain yang membuktikan bahwa Nusantara pernah menjadi bagian dari kekhilafahan. 

Sejarahwan UIN Bandung, Dr. Moeflich Hasbullah. Ia mengatakan bahwa Khilafah waktu itu adalah negeri adidaya yang sangat besar. Jadi sangat logis jika Nusantara mempunyai hubungan dengan Khilafah (Mediaumat.news, 24/8/20).

Di tahun 2015, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta sudah usai pada Rabu (12/2) pun dalam sambutannya mengatakan bahwa ada hubungan antara Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki. Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki. 
Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa  (Republika.com, 2015). 

Disertasi Dr. Kasori di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Di Bawah Panji Estergon: Hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak Pada Abad XV-XVI M menguatkan pernyataan Sri Sultan HB X tersebut. Dalam penelitiannya Kasori antara lain menyatakan, para raja atau sultan di Demak memerlukan gelar sultan dari Turki untuk menguatkan kedudukannya (Muslimahnews.com)

Dikutip dari Republika.com, di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah bagian dari iman). 

Selain itu bukti khilafah di Nusantara juga tertuang dalam buku  Ilmu Fiqih karya Tuan Syech Arsjad Thalib Lubis  salah seorang tokoh pendiri al-Washliyah, ormas Islam tertua yang lahir di Sumatera Utara. Pada Bab IV bagian hukum Imam Al Azham (Kepala Negara), menyatakan bahwa kepala negara islam disebut dengan chalifah atau pengganti. Karena khalifah bermakna menggantikan Rasulullah. 

Pengaruh Khilafah Turki Utsmani juga telah diungkap Ermy Azziaty Rozali dalam disertasinya di Universitas Malaya Malaysia dan diterbitkan dengan judul Turki Uthmaniah: Persepsi dan Pengaruh Dalam Masyarakat Melayu (2016) (Hidayatullah.com, 23/8/20).

Tak hanya itu Meriam Ki Amuk yang dibuat oleh tentara Islam utusan kekhilafahan Turki Utsmani yang ahli dalam pembuatan meriam.  Yang selain seorang utusan dari kekhilafahan Turki Utsmani ada pula tentara Islam utusan Aceh yang memperkuat barisan tentara Kerajaan Islam Demak yang saat itu akan memperluasnya wilayahnya ke Pasuruan.  
Ada Jejak Khilafah Pada Ilmuwan Nusantara 
Menurut Prof Fahmi Anhar, jejak Khilafah ada pada ilmuwan Nusantara. Setelah ditelusuri, ada  empat jenis keilmuwan yang didapatkan di nusantara hasil persentuhan dangan negara khilafah. Keempat ilmu tersebut adalah lmu agama, sastra, sejarah, dan falak (astronomi).  Dikutip dari Muslimahnews.id Profesor Riset Sistem Informasi Spasial, Alumnus Vienna University of Technology, Austria menjabarkan bukti-bukti jejak khilafah ada di Nusantara yakni 

Dalam ilmu agama, Di Kesultanan Palembang, dikenal Syihabuddin bin Abdullah, Kemas Fakhruddin dan Abdu Shamad al-Palimbani. Karya dan terjemahan mereka amat banyak. Di Kesultanan Aceh, muncul Nuruddin al-Raniri, Abdur Rauf al-Singkili, Syamsuddin al Sumatrani dan lain-lain. Al-Raniri menulis tidak kurang dari 29 karya, sementara Al-Sinkili menulis sekitar 22 karya yang membahas fikih, tafsir, kalam dan tasawuf.

Dalam Ilmu Sastra, di Kesultanan Palembang muncul Sultan Mahmud Badaruddin II yang menulis Syair Sinyor Kosta, Hikayat Martalaya, Sair Nuri, dan Pantun. Pangeran Panembahan Bupati juga banyak menulis syair. Sedang Ahmad bin Abdullah menulis Hikayat Andaken Penurat.

Di Kesultanan Riau, Raja Ali Kelana menulis kitab tatabasa yang berjudul Rughyat al'Ani fi Huruf al-Ma'ni. Dan Raja Abdullah yang menulis dua buah kitab pelajaran bahasa Melayu yang berjudul Pembuka Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah dan Penolong Bagi yang Menuntut Ilmu akan Pengetahuan yang Patut. Semua kitab ini ditulis dalam aksara Arab Melayu.

Dalam Ilmu Sejarah, di Palembang, Pangeran Tumenggung Karta Menggala, menulis Cerita Negeri Palembang, Cerita Aturan Raja-raja, dan Hikayat Mahmud Badaruddin. Kemudian ada Demang Muhyiddin, hakim yang menulis Silsilah Raja-raja Negeri Palembang. Di Kesultanan Riau, yang terkenal adalah Raja Ali Haji yang menulis Silsilah Melayu dan Bugis, Bustan al- Ka'tibin, Tuhfat al-Nafis, Gurindam Dua Belas, Syair Siti Syianah, Mukaddimah fi Intizam, dan Tsamarat al- Muhimmah. Dari semua kitab ini terlihat bahwa sejarah ditulis untuk dijadikan pelajaran, tidak sekedar sebagai cerita belaka.

Sementara pada ilmu falak dikategorikan sains praktis karena berkaitan erat dengan aspek-aspek ibadah kaum Muslim. Hal itu terlihat terutama dalam permasalahan penentuan arah Kakbah (Mekah), penentuan waktu-waktu salat dan penentuan awal bulan kamariah.

Ilmu ini sudah berkembang di beberapa pusat peradaban Islam, seperti Damaskus, Bagdad, dan Cordoba, sejak abad 3 H / 9 M. Di Nusantara, ilmu falak mulai berkembang di abad 18 M sejak pelajar dan Nusantara menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di sana.

Para pelajar Nusantara cukup banyak secara kuantitas, tetapi hanya sebagian kecil yang mempelajari dan berkarya dalam bidang falak. Ahli Falak Nusantara yang pertama kali dikenal luas adalah Muhammad Arsyad Banjar (w. 1227/1812) yang belajar di Haramain (Mekah-Madinah) selama 35 tahun. Sekembalinya ke Nusantara tahun 1773 M, sebelum ke Banjarmasin, ia singgah di Batavia. Di sini, Arsyad melakukan pembaruan arah kiblat beberapa masjid di Batavia. Gagasan ini menimbulkan polemik di kalangan pemimpin Muslim ketika itu, dan akhirnya Gubernur Jenderal Belanda memanggil Arsyad untuk menjelaskan masalah itu. Sang Gubernur yang terkesan akan penjelasan dan perhitungan matematis Arsyad lalu memberinya sejumlah hadiah.
Sejauh ini, Arsyad tidak memiliki karya khusus tentang falak. Wawasannya terlihat dalam karyanya, Sabil al-Muhtadin. Betapapun ini bukan karya murni falak, namun uraiannya terkait arah kiblat, waktu salat, dan awal bulan, tampak dia sangat menguasai astronomi.

Ulama Nusantara pertama yang menulis falak adalah Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1334/ 1916). Ia lama belajar dan bermukim di Haramain, bahkan pernah menjadi Mufti di Mekah. Ia menghasilkan dua karya yaitu al-Jawahir al-Naqiyyah fi 'Amal al-Jaibiyyah dan Raudhah al-Hussab fi 'Ilm al-Hisab. Kitab pertama membahas suatu instrumen bernama Rubu'Mujayyab, yaitu instrumen untuk menentukan arah kiblat dan waktu salat. Instrumen ini diciptakan oleh al-Khawarizmi yang juga pencetus Aljabar.

Sementara kitab kedua berbicara tentang aritmetika, dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu ini antara lain berguna dalam pembagian waris dan transaksi perdagangan yang marak pada waktu itu. Ulama lain yang berkontribusi dalam bidang ilmu falak adalah Ahmad Dahlan (w. 1923 M) yang juga pendiri Muhammadiyah. Ia dicatat berupaya merekonstruksi arah kiblat Masjid Kauman, Yogyakarta. Pada mulanya, ia meraih resistensi sangat hebat dari masyarakat, tetapi pada akhirnya gagasannya bisa diterima.

Meski Dikaburkan dan Dikuburkan, Jejak Khilafah pasti Muncul Kembali ke Tengah Kehidupan

Berbagai upaya memang untuk menghilangkan jejak ini. Hingga banyak tokoh cendikiawan yang tadinya membenarkan adanya jejak khilafah namun malah mundur perlahan. Bahkan tak sedikit yang menjadi lawan. Namun jejak sejarah yang sudah kabur dan terkubur pasti akan muncul kembali ke tengah kehidupan. Karena khilafah adalah janji Allah tak ada satupun makhluk bisa menghadang.  

sebagaimana firman-Nya:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam); dan akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa (TQS an-Nur [24]: 55).

Khilafah juga merupakan bisyarah atau kabar gembira dari Rasulullah saw. Setelah era para penguasa diktator (mulk[an] jabbriy[an]) akan lahir Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah untuk kedua kalinya. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Hudzaifah bin al-Yaman, telah bersabda:

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ …

…Kemudian akan ada kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah (HR Ahmad).

Banyak yang tak tahu, bahwa islam bukan sekedar mengajarkan ibadah mahdoh, sholat puasa, zakat, haji. Ada ibadah lain yang sifatnya wajib. Berdasarkan banyak dalil dari al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah berijmak (bersepakat) bahwa menegakkan Khilafah di tengah-tengah umat adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariah. Imam an-Nawawi, seorang ulama Ahlus Sunnah, menyatakan:

أَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ

Mereka (para sahabat) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah (An-Nawawi,Syarh Shahîh Muslim, XII/ 205).

Ulama Ahlus Sunnah yang lain, Ibnu Hajar al-Asqalani, pun  menegaskan:

وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ يَجِبُ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَعَلىَ أَنَّ وُجُوْبَهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ.

Mereka (para ulama) telah berijmak (bersepakat) bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, XII/205).
Imam Abu Ya’la al-Farra’ juga menegaskan:

نَصْبَةُ اْلإِمَامِ وَاجِبَةٌ

Mengangkat Imam (Khalifah) adalah wajib (Abu Ya’la Al Farra’, Al-Ahkam as-Sulthoniyyah, hlm. 19).
Jadi kita tak boleh berhenti ditengah jalan apalagi menyerah karena banyak perlawanan. Karena tegaknya khilafah bukan hanya bisyaroh tapi juga janji Allah.  Dan meski banyak yang akan menghapusnya jejak khilafah tak akan hilang dia akan kembali. Bukan hanya di Nusantara namun juga penjuru dunia. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak