Oleh : Elis Sulistiyani
Muslimah Perindu Syurga
Berbagai spekulasi bermunculan paska terjadinya kebakaran di kantor Kejaksaan Agung (Kejakgung) pada 22 Agustus 2020 lalu. Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi mengomentari terkait spekulasi penyebab kebakaran gedung Jaksa Agung pada Sabtu (22/8) malam.
"Kejaksaan perlu juga melakukan investigasi mendalam, untuk mengetahui penyebab kebakaran. Apa memang saat itu tidak ada petugas piket yang bisa memadamkan api dan mencegah membesarnya api. Atau memang gedung Kejaksaan Agung tidak memiliki alat pemadam kebakaran, sehingga api tidak tertangani," kata Aboe (republika.co.id, 24/08/2020)
Selain itu Indonesia Coruption Watch (ICW) juga turut menyampaikan pendapatnya terkait ini. ICW curiga ada oknum yang sengaja menghilangkan barang bukti terkait kasus yang sedang ditangani Kejakgung saat ini, salah satunya kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Sejak awal ICW sudah meragukan komitmen Kejaksaan Agung dalam menangani perkara yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari ini. Terlebih lagi banyak kejadian yang menciptakan situasi skeptisisme publik, mulai dari dikeluarkannya pedoman pemeriksaan Jaksa, pemberian bantuan hukum kepada Jaksa Pinangki, dan terakhir terbakarnya gedung Kejaksaan Agung, ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. (detik.com, 23/08/2020)
Dengan munculnya berbagai spekulasi yang terus bergulir di masyarakat nampaknya menunjukkan kepercayaan publik terhadap pemerintah khususnya penegak hukum sudah berkurang. Mengingat banyak mega skandal yang ditangani penegak hukum, bahkan yang sudah terjadi beberapa tahun kebelakang belum juga dituntaskan.
Ketidakpercayan ini juga nampaknya hasil akumulasi dari kekecewan publik dari lambannya berbagai penanganan kasus hukum bagi “bos besar”. Lain halnya jika yang ditangani adalah kasus hukum masyarakat biasa apalagi yang bersebrangan dengan rezim, akan dengan sigap ditangani dan dituntaskan itupun dengan tuduhan yang seolah dipaksakan. Maka tidak aneh nika muncul istilah hukum tajam kebawah, dan tumpu ke atas di era kapitalis.
Lain halnya ketika kita melihat masa kekhilafahan yang menerapkan keadilan hukum tanpa pandang bulu. Ketika Sayyidina ‘Ali menjadi khalifah, ada seorang Yahudi yang “memiliki” baju besi sang Khalifah. Karena merasa baju besi itu adalah bajunya, maka Khalifah pun mengajukan kasus ini ke pengadilan. Meski kasus ini melibatkan Khalifah, tetapi Qadhi Suraikh yang bertugas memutuskan kasus ini tidak berpihak kepada Khalifah. Justru, sang Qadhi memenangkan orang Yahudi “pemilik” baju besi sang Khalifah. Karena, Sayyidina ‘Ali tidak bisa menghadirkan bukti dalam persidangan ini. Ini adalah salah satu contoh, bagaimana sistem peradilan Islam memutuskan sengketa, meski melibatkan orang kuat.
Daam riwayat lain juga disebutkan bahwa Pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab ada Qâdhî Muhtasib tidak gentar untuk melakukan pengawasan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Dalam kitab, Siyar al-Muluk, diceritakan, ketika penguasa Bani Saljuk menenggak minuman keras bersama punggawa kerajaan, maka mereka pun didera oleh Qadhi Hisbah sebanyak 40 kali cambukan, hingga menanggalkan giginya. Menariknya, punggawa itu adalah salah seorang komandan militer. Ketika dicambuk, tak satupun anak buahnya membantunya, selain melihatnya.
Seperti itulah mestinya penegakkan hukum di negeri ini. Dengan berlandaskan syariat Islam maka semua problematika dapat terentaskan karena semua peradilan memiliki standar yang jelas dan tak akan bisa di amandemen, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Penegak hukum akan memutuskan perkara sesuai dengan standar syariat, dan tak kan tergiur suap karena dorongan takwa yang membuatnya menyadari akan adanya hisab atas keputusannya. Hingga akhirnya inilah keadilan yang didambakan saat ini yang dampaknya akan membuat umat percaya akan segala kebijakan pemimpinnya.