Oleh : Azizah, S.PdI*
Dakwah adalah aktivitas yang diwariskan Nabi saw kepada umatnya. Sebagaimana disampaikan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah, “berdakwah kepada manusia agar mengikuti jalan Allah adalah tugas para Rasul dan pengikut-pengikutnya. Status para pengikut rasul adalah wakil para rasul untuk berdakwah di masyarakatnya masing-masing, sedangkan seluruh manusia harus mengikuti mereka. Allah swt telah memerintahkan kepada RasulNya agar menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah menjamin akan menjaga dan melindungi beliau dari gannguan manusia. Demikian pula dengan da’i (ulama) yang menyampaikan ajaran-ajaran beliau. Mereka akan dijaga dan dilindungi oleh Allah sesuai dengan kadar perjuangannya untuk mendakwahkan agama ini.”
Allah swt berfirman :
“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu. Jika Engkau tidak melakukannya, tentu risalahnya tidak akan pernah sampai. Allah akan memelihara dirimu dari manusia” (TQS Al Maidah : 67)
Di dalam nash lain Allah swt juga menggambarkan aktivitas dakwah dengan istilah saling berwasiat tentang kebenaran (tawaashi bi al haqq) yang dikaitkan dengan persoalan waktu, sebagaimana tercantum dalam QS Al Ashr 1-3.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia ada dalam kerugian kecuali orang-orang yang senantiasa beriman dan beramal shalih, serta selalu saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran”
Hal ini menandakan pentingnya menjaga eksistensi dakwah agar senantiasa ‘hidup’ dalam diri umat sepanjang masa. Sebab jika aktivitas ini tidak ada yang menjaga, tidak pula ada yang memelihara keberlangsungannya, maka dapat dibayangkan bahwa pengaruh Islam tidak akan sampai ke dalam jiwa-jiwa manusia. Kemurnian Islam tidak akan dapat membersihkan berbagai kotoran pemikiran dan penyimpangan. Bahkan jika tanpa aktivitas dakwah, mustahil kemuliaan Islam dan kejayaannya akan terwujud di muka bumi. Mustahil hujjah Islam dapat mengalahkan hujjah orang-orang kafir dan memenangkan agama Allah di atas segalanya.
Maka demikianlah yang dilakukan oleh generasi pendahulu Islam. Mengemban dakwah, setelah keimanan menghujam. Bukan hanya pada diri kaum muslim hal ini disadari sebagai sebuah kewajiban, namun para muslimah pun tampil sebagai da’iyah, pelopor dan penyampai risalah Islam di masanya.
Sebutlah nama Ghazyah binti Jabir bin Hakim yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Syuraik. Seorang Da’iyah sukses dan mulia ‘bersertifikat langit’. Meski tak banyak catatan sejarah yang mengukirkan kehidupannya, namun gambaran kebesaran dan keagungannya terus diingat sepanjang masa.
Berkat usaha gigihnya Allah swt membuka hati sekian banyak manusia, sehingga mau menerima Islam. Ia menjalankan aktivitas dakwah secara diam-diam kepada beberapa wanita Quraisy tanpa bosan dan lelah. Meski ia paham bahwa aktivitas ini menuntut berbagai pengorbanan dan kesiapan mengalami penderitaan. Seperti yang pernah dilakukan para pemuka Mekah saat mereka menangkapnya dan berkata, “seandainya tidak mempertimbangkan kaum kerabatmu, maka kami tidak akan segan-segan mempermalukanmu. Kami akan mengembalikanmu kepada mereka”
Maka Ummu Syuraik menuturkan pengalamannya, “mereka menaikkanku ke atas unta yang tidak dilengkapi dengan pelana atau lainnya. Lalu membawaku selama tiga hari tiga malam tanpa memberiku makan atau minum. Pada suatu ketika mereka beristirahat, biasanya jika beristirahat mereka membiarkanku kepanasan sedangkan mereka berteduh. Mereka juga tidak memberiku makan atau minum, sampai tiba waktu melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, dalam kesempatan istirahat kali ini tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang dingin menetes di tubuhku, lalu menetes kembali. Setelah kuraba ternyata itu adalah tetesan air dari sebuah ember. Maka aku segera minum sedikit, lalu ember terangkat dan kembali lagi. Aku mengambilnya lagi dan minum sedikit. Lalu ember itu terangkat dan kembali lagi. Kejadian itu terus terulang beberapa kali, dan aku meminumnya sedikit demi sedikit sampai puas. Kemudian aku membasuh seluruh tubuh dan pakaianku.
Ketika orang-orang yang membawaku terbangun, mereka terkejut karena melihat bekas tumpahan air ada di mana-mana dan mendapatiku tampak lebih segar dari sebelumnya. Mereka menudingku, “engkau telah membuka ikatan lalu mengambil wadah air kami dan meminumnya”. Aku menjawab, “demi Allah, aku tidak melakukannya. Melainkan yang terjadi adalah begini dan begini”. Mereka berkata, “jika pengakuanmu itu benar, maka agamamu lebih baik daripada agama kami”. Untuk membuktikan pengakuanku, mereka memeriksa wadah-wadah air yang mereka bawa, ternyata semuanya tetap seperti semula. Maka saat itu juga, orang-orang musyrik yang membawaku itu menyatakan diri masuk Islam.”
Begitulah cara Allah memuliakan para waliNya yang tulus. Ummu Syuraik ra telah menunjukkan keteladanan yang sangat baik dalam menjalankan dakwah untuk menyebarkan ajaran Allah, dan teguh memegang keimanan dan keyakinan.
Ummu Syuraik tetap sabar, ridha, dan ikhlas tanpa mengharap catatan pujian manusia, penilaian apalagi labelisasi sebagai seorang da’iyah. Ummu Syuraik benar-benar murni mengharap balasan dari Allah swt, demi meraih kesuksesan dalam menjalankan dakwahnya.
Ia tidak pernah berpikir untuk bersikap lembek atau lemah dengan mengalah dalam beberapa hal untuk menyelamatkan dirinya dari cengkeraman kematian dan kehancuran. Sehingga wajar jika hasilnya adalah ia mendapatkan ‘sertifikat dari langit’. Kemuliaan yang sangat besar dari Allah azza wa Jalla dan kebahagiaan tak terhingga ketika kaumnya mau memeluk Islam.
@@@@@@@
Keteladanan Ummu Syuraik sangat tepat diterapkan saat ini ketika roda dakwah berputar kencang, lalu bertemu dengan kerikil tajam dan batu besar. Membuktikan upaya musuh--musuh Islam yang senantiasa menghadirkan keraguan dan ketakutan pada jiwa para pengemban dakwah. Belum puas dengan kampanye radikalisme dan upaya persekusi kini diperluas lagi dengan skenario kriminalisasi, kejahatan penikaman hingga pembunuhan tanpa alasan sekedar untuk membuat para pejuang gentar.
Inilah kenyataan hidup di dalam kapitalisme demokrasi liberal. Narasi kebencian, monsterisasi, dan kriminalisasi terhadap dakwah, istilah, simbol, dan tokoh umat Islam bebas diumbar hingga ambyar dengan dalih kebebasan beragama, bersuara, dan bersikap. Demokrasi memang ambigu. Berani berteriak lantang tentang esensi keadilan, keamanan, dan kesejahteraan, tapi sayangnya tidak berlaku bagi Islam.
Namun keyakinan terlanjur tertanam pada diri para pejuang. Pujian Allah swt terhadap aktivitas dakwah dan kewajiban yang menjadi perintahNya jauh lebih menggiurkan ketimbang jaminan kepalsuan ala demokrasi liberal.
Sebagaimana firman Allah swt :
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru ke jalan Allah , mengerjakan amal shalih dan berkata, “sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (TQS Fushilat 33)
Imam Hasan Al Bashri memberikan penjelasan terkait ayat di atas, bahwa mereka yang menyeru manusia ke jalan Allah adalah kekasih Allah, wali Allah dan pilihan Allah. Mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang mereka serukan. Inilah kemuliaan yang akan diberikan kepada setiap muslim yang berdakwah.
Begitu pun yang dinyatakan dalam hadits Nabi saw,
“Sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang dengan perantaramu, maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah.” (Muttafaq ‘Alaih)
Maka para da’i-da’iyah di era kekinian ingin tetap memegang spirit perjuangan Ummu Syuraik. Istiqomah dalam dakwah, anti lembek, lemah, ataupun membebek pada aturan-aturan menyimpang, bersumber dari ajaran kapitalisme sekuler, yang menjauhkan agama dari kehidupan. Tetap tegar melakukan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar walau akhirnya disebut radikal, mengoreksi kedzaliman di level elit penguasa hingga rakyat jelata meski beresiko kehilangan label ‘ulama’, ‘dai-da’iyah’, ustadz-ustadzah, ataupun tak lulus program sertifikasi dari penguasa.
Apa yang dinyatakan oleh Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya juga semakin menguatkan jiwa para dai-daiyah, bahwa, “Allah swt telah menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai faktor pembeda antara orang-orang mukmin dan orang-orang munafik. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik dan sifat yang paling menonjol pada kaum mukmin adalah amar ma’ruf nahi mungkar dan puncaknya adalah dakwah Islam” (Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi jilid 4/47)
Atas dasar ini umat Islam wajib bersama-sama dan bekerjasama untuk menegakkan kewajiban dakwah ini. Melindungi para ulama pewaris Nabi, para dai-daiyah, ustadz-ustadzah serta memberikan ruang kebebasan untuk berdakwah, agar umat tercerahkan dengan syariah Islam kaffah.
Setiap muslim yang mementingkan urusan agamanya harus mengetahui bahwa satu ayat atau pun satu hadits yang dibacanya bukanlah dimaksudkan untuk dirinya semata, tetapi juga ditujukan kepada umat manusia seluruhnya. Bahkan kalaupun seruan Allah itu ditujukan kepada Rasulullah saw, maka hakikatnya ia ditujukan bagi seluruh umatnya, selama tidak ada dalil yang menyatakan bahwa seruan tersebut khusus untuk beliau.
Oleh karena itu ketika Allah swt memerintahkan seorang muslim untuk beriman maka perintah itu berlaku bagi dirinya dan yang lainnya. Ketika Allah swt memerintah seorang muslim untuk hanya menyembahNya, maka perintah itu berlaku untuk dirinya dan yang lainnya. Demikian pula ketika Allah swt memerintahkan seorang muslim untuk berhukum dengan hukum Allah, maka perintah itu pun berlaku bagi dirinya dan yang lainnya. Berhukum dengan hukum Allah merupakan puncak ketaatan, yang bisa menjaga keimanan, ketaatan, tegaknya dakwah, dan tersebarnya Islam. ()
*Penyuluh Agama Islam Banyuwangi
Referensi :
Dakwah Islam jilid 1, Ahmad Mahmud
35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al Mishri