Oleh : Muzaiyanah, S.Pd.
Hukum Bekerja bagi Perempuan
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal bekerja. Islam mewajibkan laki-laki untuk menafkahi keluarganya, maka hukum bekerja adalah wajib bagi laki-laki. Dan menjadi nilai ibadah bagi pelakunya. Allah SWT berfirman:
“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:23)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW berikut:
“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan perempuan, baik dia sebagai anak, istri ataupun ibu merupakan pihak yang dinafkahi. Lalu apakah seorang perempuan tidak dibolehkan bekerja untuk mendapatkan harta? Jawabannya adalah boleh.
Dalam Kitab al-Mawsu'at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dituliskan tugas utama seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Rasulullah SAW dalam HR Bukhari pernah bersabda,
"Perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya." Hal ini berarti perempuan tidak dituntut untuk secara penuh memenuhi kehidupannya karena hal tersebut kewajiban ayah dan suaminya.
Juga dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”].
Dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Sepanjang Sejarah Islam karya Syekh Muhammad Sa'id Mursi dijelaskan, tentang sosok Asma binti Abu Bakar. Istri dari Zubair bin Awwam ini kerap membantu pekerjaan suami. Ia ikut mencari nafkah dengan menumbuk biji-bijian untuk dimasak, mengurus kuda, hingga memanggul biji-bijian dari Madinah ke kebun yang berjauhan dari sana. Meski mencari nafkah bagi seorang istri diperbolehkan, Syekh al-Qardhawi menyebut bahwa terdapat catatan bagi istri apabila hendak mencari nafkah.
Dari dalil-dalil di atas telah jelas, bahwa tugas utama wanita adalah pengatur rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Namun dia juga boleh bekerja atau beraktifitas diluar rumah apakah sebagai pekerja sosial atau bekerja dalam rangka menghasilkan uang.
Penentuan Upah di dalam Islam
Upah di dalam Islam disebut dengan istilah ujrah. Upah atau ujrah merupakan salah satu bentuk pemberian yang terdapat dalam suatu akad kerjasama antara musta’jir (majikan/pengusaha/pemberi kerja) dengan ajir (pekerja). Akad ini dikenal dengan istilah ijaratul ajir (sewa tenaga kerja) atau sering disebut ijarah saja.
Definisi secara syar’i al-ijarah adalah akad atas suatu manfaat dengan imbalan atau upah (An Nabhani, 2003; As-Sabatin,2009).
Definisi lain yang memiliki pengertian yang sama adalah (al-Kasani, Bada’iush Shana’i, 4/174; Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/1):
“Ijarah adalah akad untuk memiliki suatu manfaat dengan penggantian (kompensasi)”.
Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa ijarah dalam pandangan syrai’at Islam adalah pertukaran antara manfaat dengan kompensasi atau upah. Dengan demikian yang menjadi fokus dari ijarah adalah manfaat.
Sebab dengan adanya manfaat yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain itulah yang mengharuskan adanya balasan yang berupa imbalan (Membangun Bisnis Syariah jilid II, Dwi Condro Triono, 2019).
Sedangkan manfaat menurut definisi syar’i adalah (An-Nabhani, 2004) :
“manfaat adalah kelayakan atau kemampuan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia”
Jadi, Islam memastikan upah ditentukan berdasar manfaat kerja yang dihasilkan oleh pekerja dan dinikmati oleh majikan/pengusaha/pemberi kerja tanpa membebani pengusaha dengan jaminan sosial, kesehatan, dan JHT/pensiun. Ini mekanisme yang fair tanpa merugikan kedua belah pihak.
Dalam pandangan Islam upah pekerja bukan didasarkan pada taraf Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), yang dirumuskan dalam UMR atau UMP, seperti dalam sistem kapitalis. Juga bukan didasarkan pada nilai dari barang yang diproduksi atau laku tidaknya penjualan dari barang tersebut, seperti yang diberlakukan oleh sistem sosialis.
Dalil yang menjadi dasar pengupahan dalam Islam berdasarkan manfaat adalah firman allah SWT:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya” (QS. Ath-Thalaq:6).
Ayat di atas mengatur terkait istri yang ditalaq dan masih menyusui anaknya maka dia berhak mendapat upah dari mantan suaminya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa istri yang ditalaq tersebut mendapat upah dari mantan suaminya dengan memberi manfaat berupa menyusui anaknya.
Dan dari ayat di atas juga bisa diqiyaskan/dianalogkan bahwa setiap aktivitas pekerja yang telah memberikan manfaat kepada majikan/pengusaha/pemberi kerja, maka pekerja tersebut berhak mendapatkan upah.
Dalil di atas juga dikuatkan dengan dalil hadits sebagai berikut:
“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah........; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dalil di atas menunjukkan bahwa jika seorang pekerja telah selesai menunaikan pekerjaannya atau memberi manfaat kepada majikannya maka dia berhak mendapat upah. Jika majikannya tidak mau mengupahnya maka dimusuhi Allah SWT.
Sistem pengupahan berdasarkan manfaat ini berlaku umum baik bagi laki-laki maupun perempuan. tidak ada perbedaan di antara keduanya. Jadi tidak perlu adanya tuntutan dari kaum perempuan meminta kesetaraan dalam upah, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini.
Islam Menjamin Kebutuhan Perempuan
Setelah kita memahami bahwa sistem pengupahan pekerja di dalam Islam berdasarkan manfaat yang diberikannya kepada majikannya, sehingga sangat mungkin bagi pekerja yang memberikan manfaat tenaga atau keahliannya yang berbeda-beda, mejadikan para pekerja juga akan mendapat upah yang berbeda pula. Ada yang upahnya rendah atau ada yang tinggi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang upahnya rendah sehingga bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya?
Sekali lagi Islam mempunyai mekanisme yang jitu dalam mengatasi masalah ini. Islam memandang bahwa kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan setiap individu harus dipenuhi tanpa kecuali termasuk perempuan. Yang hal ini akan dipenuhi oleh negara baik secara langsung atau tidak langsung.
Selain itu Islam juga menjadikan kebutuhan akan keamanan, pendidikan dan kesehatan menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara secara langsung. Yaitu negara akan menjamin semua warganya mendapatkan keamanan, pendidikan dan kesehatan secara gratis. Dengan pembiayaan dari kas baitul mal dari sumber kepemilikan umum,ghanimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, khumus, dan dana sukarela kaum muslim.
Dalam pemenuhan kebutuhan pokok, syariat Islam melalui tangan negara khilafah akan memberlakukan mekanisme sebagai berikut :
1. Mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya
Negara khilafah islamiyah mewajibkan laki-laki yang sehat untuk menafkahi diri dan keluarganya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“....Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.....” (QS. Al-Baqarah : 233)
2. Mewajibkan kerabat dekat membantu saudaranya
Jika para suami tidak bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya karena sakit atau cacat fisik atau mental, maka kewajiban menafkahi jatuh kepada ahli warisnya yang mampu.
“...Dan ahli warispun berkewajiban demikian...” (QS. Al-Baqarah : 233)
3. Mewajibkan negara untuk mengurus rakyat miskin
Saat semua ahli waris juga tidak ada yang mampu menafkahi keluarga yang miskin tadi, maka kewajiban menafkahi keluarga miskin tersebut berpindah ke negara khilafah. Karena hal ini merupakan tanggung jawab negara sebagai pemelihara dan pengurus urusan rakyatnya.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW berikut:
“Seorang imam seperti penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya” .
Hal inilah yang dimaksudkan sebagai pemenuhan kebutuhan secara langsung oleh negara kepada rakyat yang sangat membutuhkan.
4. Mewajibkan kaum muslim membantu rakyat miskin
Jika ternyata kas di baitul mal kosong, maka kewajiban menafkahi keluarga miskin ini beralih kepada seluruh kaum muslim yang mampu. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, dimana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka”. (HR. Imam Ahmad).
5. Agar setiap warga negara yang mampu bekerja atau berusaha mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha, maka negara khilafah mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyatnya. Dan juga membuka balai latihan kerja agar kaum laki-laki mempunyai ketrampilan untuk bekerja. Jika ada yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa juga dengan mekanisme qardh (utang), hibah (pemberian cuma-cuma), maupun yang lain.
6. Bisa juga dengan mekanisme iqtha’ (pemberian) atas tanah negara kepada rakyat yang membutuhkan lahan pertanian. Negara khilafah juga membolehkan rakyatnya untukmenghidupkan tanah mati yang telah ditinggalkan pemiliknya selama tiga tahun, untuk dimiliki dan dikelola. Dan masih banyak mekanisme yang lain.
Dari penjelasan di atas maka setiap warga negara khilafah baik laki-laki, anak-anak maupun perempuan akan terjamin seluruh kebutuhannya. Maka perempuan tidak harus bersusah-susah memenuhi kebutuhannya sendiri apalagi harus menuntut kesetaraan upah sama dengan laki-laki. Dan hal ini tidak akan terjadi dalam negara khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Adakah yang mau menolak aturan yang begitu menyejahterakan ini?[]