Oleh: Relliyanie, S.Pd
(Praktisi pendidikan dan pemerhati sosial)
Sudah kita ketahui bersama bahwa demokrasi yang diterapkan dihampir seluruh negara dunia ,termasuk di negri ini yang mengusung kebebasan individu dalam hal beragama; berpendapat; berprilaku dan kepemilikan. Tapi pada faktanya hari ini, kebebasan itu tidaklah sesuai dengan apa yang ditawarkan oleh sistem ini. Manis dimulut tapi pahit dirasakan oleh sebagian rakyat dan seakan-akan menampakkan ketidakadilan bagi mereka.
Begitu pun di belahan negri yang lain, baru saja Swedia dilanda kerusuhan usai politikus asal Denmark, Rasmus Paludan dilarang menghadiri aksi pembakaran Al-Qur'an. Paludan memang dikenal sebagai seorang anti-Islam.
Seperti dilansir AFP, Sabtu (29/8/2020), sekitar 300 orang turun ke jalanan wilayah Malmo, Swedia, dengan aksi kekerasan yang meningkat seiring berlalunya malam, menurut polisi dan media lokal (detik.com/29/8/2020).
Selain itu, ketegangan memuncak di Ibu kota Norwegia, Oslo ketika seorang pengunjuk rasa anti-Islam merobek-robek halaman-halaman Alquran. Kepolisian Norwegia sampai menembakkan gas air mata untuk memisahkan dua kelompok yang bentrok.Sedikitnya ada 30 orang yang ditangkap polisi Norwegia. Akibat bentrokan itu, unjuk rasa anti-Islam di Oslo pada Sabtu (29/8) membuat acara itu diakhiri lebih awal dari jadwalnya. Seperti dilansir Deutsche Welle (DW) pada Ahad (30/8), unjuk rasa anti-Islam itu diorganisir kelompok Stop Islamisasi Norwegia (SIAN). Unjuk rasa berlangsung di dekat gedung parlemen Norwegia (viva.co.id/30/8/2020).
Di negri kita sendiri, setelah hebohnya tayangan film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) diduga kuat membuat gerah sekelompok orang yang berujung dengan pelaporan ustadz Ismail Yusanto yang merupakan bagian yang terlibat dalam pembuatan film tersebut. Kepentingan rival politik, rasa sakit hati, serta yang terakhir meledaknya opini dakwah Khilafah juga diduga kuat melatarbelakangi pelaporan tersebut.
Artinya, publik patut memiliki praduga tindakan pelaporan adalah karena adanya kekalahan intelektual kubu yang kontra Khilafah, kemudian “meminjam tangan kekuasaan” untuk membungkam dakwah Khilafah melalui tindakan kriminalisasi.
Berdasarkan asas legalitas, suatu larangan baru bernilai jika larangan itu berdasarkan hukum, yakni diatur dalam sumber hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, jika ada narasi “Khilafah Ajaran atau Paham Terlarang”, maka narasi ini wajib diperiksa secara hukum.
Berdasarkan hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya, sumber hukum itu terdiri atas: 1.) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3.) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4.) Peraturan Pemerintah; 5.) Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; 6.) dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari 6 (enam) sumber hukum dan peraturan perundang-undangan tersebut, tidak ada satu pun pasal di dalamnya yang memuat larangan mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, atau setidaknya menyatakan Khilafah sebagai ajaran atau Paham Terlarang.
Tidak ada satu pun pasal Konstitusi UUD 45, TAP MPR, UU atau Perppu, PP, Perpres maupun Perda baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten atau Kota, yang melarang ajaran Islam Khilafah. Karena itu, berdasarkan asas legalitas, tindakan mempersoalkan ajaran Islam khilafah tak memiliki basis legalitas berdasarkan hukum.
Adapun Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang selanjutnya telah disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, di dalamnya juga tidak terdapat pasal yang memuat larangan mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, atau setidaknya menyatakan Khilafah sebagai ajaran atau Paham Terlarang. Perppu Ormas hanya memuat sejumlah pasal yang diubah untuk menyederhanakan Pencabutan BHP suatu Ormas berdasarkan asas Contrario Actus.
Pelaporan ini, juga memiliki target agar segenap pengemban dakwah Islam, pengemban dakwah syariah dan khilafah ciut nyali, menepi, dan berhenti dari aktivitas dakwah yang mulia. Rezim mengira, pengemban dakwah bisa ditekan dan ditakut-takuti. Rezim ingin menggunakan legitimasi hukum, legitimasi proses pidana karena menindaklanjuti laporan, untuk menindak Ust. Ismail Yusanto. Padahal laporan itu sebenarnya dikehendaki rezim.
Cara-cara lama, yakni kriminalisasi terhadap aktivis dan ulama sebagaimana yang dialami Habibana Muhammad Rizieq Shihab, Ust. Alfian Tanjung, Mayjen TNI (purn.) Kivlan Zen, dan sederet aktivis lainnya, diadopsi dan diterapkan pada kasus Ust. Ismail Yusanto.
Padahal, kriminalisasi terhadap aktivis dan ulama bukan menimbulkan rasa gentar. Bahkan, tindakan zalim ini akan mendapat perlawanan dari umat, perlawanan dari seluruh mujahid Islam yang rindu bertemu janji Tuhan-nya.
Jika dulu informasi bisa dicengkeram penguasa, menjadikan seluruh kanal sebagai pengukuh keberadaan mereka, namun tidak untuk hari ini. Individu bebas menjadi admin bagi media sosialnya sendiri dan mengatur informasi apa saja yang ingin disebarkan.
Namun ironisnya, dalam kasus JKdN, banyak pihak berusaha mencegah tersampaikannya film ini di tengah-tengah umat. Beberapa kali penayangan perdana JKdN diblokir pihak YouTube atas permintaan pemerintah. Jelas, pemblokiran ini adalah wujud nyata kekalahan intelektual.
Inilah wajah asli demokrasi. Si buruk rupa yang bersembunyi di balik hak asasi. Sebuah konsep absurd yang katanya memberikan kebebasan berpendapat. Nyatanya, jika hal tersebut bertentangan dan mengancam keberadaan penguasa, akan dilibas dan dihabisi.
Berbeda dengan khilafah yang menjamin lahirnya masyarakat yang sehat yakni masyarakat yang mampu menjaga kemurnian ajaran islam, namun tetap bisa menjaga harmoni antar individu umat beragama.
Perlakuan adil Negara Khilafah terhadap non-Muslim bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar diaplikasikan. Bukan juga berdasar pada tuntutan toleransi ala Barat, melainkan karena menjalankan hukum syariah Islam. T.W. Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menulis, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”
Arnold kemudian menjelaskan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…Kaum Protestan Silecia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Sungguh jika masih ada yang mengatakan bahwa di alam demokrasi ini mengusung kebebasan telah terbantahkan. Kebebasan yang mereka suarakan penuh dengan kepentingan politik sesuai yang mereka inginkan. Jika kita ingin benar-benar merasakan kebebasan dalam beragama dan berpendapat maka hanya dalam sistem khilafah yang telah terbukti dan teruji.
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah SWT dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Allahlah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS at-Taubah: 32-33). Wallahu'alam.
*(Dari berbagai sumber).