Oleh: Nikmatul Arofah
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Gedung Kejaksaan Agung di jalan Sultan Hasanuddin Dalam no.1, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan mengalami kebakaran pada Sabtu (22/8)malam. Kebakaran berawal di gedung bagian depan yang dekat dengan jalan raya. Api pertama kali mulai menyala sekitar pukul 19.10 WIB. Dan baru berhasil dipadamkan pada Minggu (23/8) pagi, dikutip dari CNN Indonesia.
Dikutip dari laman Republika.Co.ID, anggota komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan, terkait spekulasi penyebab kebakaran gedung Kejagung harus dilakukan investigasi mendalam untuk mencari tahu penyebab kebakaran gedung Kejagung. Oleh karena itu, Kejagung juga diharapkan menjelaskan kepada publik terkait peristiwa tersebut. Mengingat, Kejagung saat ini tengah menangani perkara yang mendapatkan atensi publik, seperti kasus Djoko Tjandra dan Jiwasraya.
Banyaknya kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Kejagung, terkait dengan kebakaran yang terjadi pada Sabtu lalu menimbulkan kecurigaan besar dikalangan masyarakat dan menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan negeri ini. Tidak sedikit ada kejanggalan dibalik peristiwa kebakaran ini. Ada oknum yang dengan sengaja ingin menghilangkan barang bukti.
Seperti dituturkan Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut tangan mencari tahu penyebab kebakaran gedung utama Kejagung. ICW curiga ada oknum yang sengaja menghilangkan barang bukti terkait kasus yang sedang ditangani Kejagung saat ini, salah satunya kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari (23/8/2020) Minggu.
Keseriusan Diragukan
Sejak awal ICW sudah meragukan komitmen Kejagung dalam menangani perkara yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari ini. Terlebih lagi banyak kejadian yang menciptakan situasi skeptisisme publik, mulai dari dikeluarkannya pedoman pemeriksaan Jaksa, pemberian bantuan hukum kepada Jaksa Pinangki, dan terakhir terbakarnya gedung Kejagung. ICW meminta KPK mengambil alih kasus dugaan penerimaan suap Jaksa Pinangki. Menurut Kurnia, lembaga antirasuah itu masih memiliki wewenang atas kasus Jaksa Pinangki.
Karena itu, keresahan publik atas peristiwa kebakaran ini adalah mampukah negara mewujudkan keadilan dengan memberantas kasus korupsi dari akarnya? Publik tidak bisa membantah bahwa kasus korupsi menjadi-jadi dalam sistem demokrasi. Sebab selain sanksi pidana yang terbilang ringan, korupsi Demokrasi diakibatkan oleh demokrasi yang berbiaya tinggi karena membutuhkan dukungan politik dan modal. Dana ini didapatkan dari sumbangan partai (cukong politik) atau para kapitalis (cukong modal).
Namun tentu tidak ada yang gratis, jadilah kebijakan penguasa terpilih sangat dipengaruhi oleh cukong politik dan cukong modal itu. Demikianlah korupsi tumbuh subur dalam sistem demokrasi.
Kacamata Islam
Dalam pandangan Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada di tangan Allah SWT (AlQuran dan Hadits). Artinya, Kepala Negara yang diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan AlQuran dan Hadits.
Di dalam Islam, pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah/Majelis Wilayah berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan baik korupsi, suap maupun yang lain. Namun demikian tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai Negara. Sebab dalam pemerintahan Islam, terdapat larangan keras menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), Amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan pegawai Negara dengan cara yang tidak syar'i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat.
Adapun aturan yang diterapkan dalam Islam untuk mencegah korupsi/kecurangan/suap, yang pertama adalah ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat/pegawai Negara, Islam menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Seorang muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar karena akan diminta pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Yang kedua adalah adanya badan pengawasan/pemeriksaan keuangan. Syekh Abdul Qadim Zalum dalam kitab Al Amwal Fi Daulah Khilafah menyebutkan untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari badan pengawasan/pemeriksaan keuangan.
Calon pejabat/pegawai Negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Kemudian saat menjabatpun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahan hartanya syar'i atau tidak, jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.
Yang ketiga, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Didalam Islam negara memberikan gaji yang cukup untuk pejabat/pegawainya. Cukup untuk memenuhi kebutuhan asasiyah dan kamaliyahnya. Disamping itu didalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif digratiskan oleh pemerintah, seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga murah. Yang keempat, seperangkat hukum pidana yang keras. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku (Zawajir). Sistem sanksi yang berlaku bagi koruptor adalah ta'zir. Sanksi juga bertindak sebagai penebus dosa (Jawabir) sehingga mendorong para pelakunya untuk bertaubat dan menyerahkan diri.
Inilah cara yang dilakukan Pemerintahan Islam untuk membuat jera pelaku korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat.
Wallahu'alam bishawab