Oleh: Aisyah Farha
Ada hal yang menarik dengan penerimaan Mahasiswa Baru (MABA) UI tahun ini, yaitu ada keharusan menandatangani Pakta intergritas yang bermaterai. Artinya jika ada mahasiswa yang menyalahi Pakta intergritas tersebut maka akan ada sanksi.
Dilansir dari beritasatu.com, 12 September 2020, Pakta integritas mengatur soal kehidupan politik dan berorganisasi. Mahasiswa dijamin untuk tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Mereka juga dijamin untuk tidak diganggu lagi oleh kelompok/ organisasi kemahasiswaan yang tidak memiliki izin resmi.
Pakta integritas yang harus ditandatangani MABA ini sontak menuai banyak kritik. Salah satunya dari Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Ali Zamroni, Ia menilai poin-poin yang ada didalam Pakta integritas tersebut mengekang hak berpendapat. Hal ini akan berdampak tidak baik untuk demokrasi di Indonesia.
Ali Zamroni mengatakan ,"Saya menganggap ini sebuah kemunduran kalau tetap dipaksakan. Kita seperti balik lagi ke jaman dulu. Mahasiswa itu kan simbol anak-anak generasi kita yang kritis terhadap situasi dan kondisi, baik itu sosial, politik, ekonomi. Kalau mereka dikekang, tidak ada kontrol dong"(CNNIndonesia.com,19/09/2020).
Upaya Kapitalisme Sekuler Memandulkan Daya Kritis Mahasiswa
Tetapi jika diteliti lebih dalam, maka kita akan menemukan kenyataan bahwa, pakta integritas ini ada hubungannya dengan peran mahasiswa UI dalam demonstrasi terbesar ketika penolakan revisi UU KPK tahun lalu, dan peran aktif mereka dalam mengawal RUU Omnibus Law saat ini. Ini hanyalah sebuah upaya untuk membungkam daya kritis mahasiswa.
Pakta integritas ini juga erat kaitannya dengan arah pendidikan pada sistem kapitalis sekuler, yaitu hanya sebagai aset bisnis. Buktinya, kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung ‘mengawinkan’ pendidikan dengan industri, baik di tataran sekolah maupun kampus.
Dari perkawinan ini, banyak kurikulum kampus yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Hal ini berakibat penyimpangan dari tujuan pendidikan yang sangat luhur, berbelok pada kepentingan bisnis. Mahasiswa hanya ingin cepat lulus dan bekerja, tidak akan perduli pada permasalahan bangsa.
Dengan kondisi seperti ini, mahasiswa akan jauh dari sifat kritis, hanya akan menjadi manusia apatis, pragmatis dan tidak perduli masalah yang sedang dihadapi rakyat. Sedangkan rezim yang berkuasa akan berjalan tanpa ada kritik dan tidak akan ada suara yang membela rakyat yang tertindas.
Seperti inilah wajah sistem kapitalisme sekuler dalam menjalankan pemerintahan, membuat kebijakan yang akan melindungi dirinya sendiri agar terus eksis tanpa hambatan. Sekalipun hal ini akan mengorbankan dunia pendidikan khususnya mahasiswa, yang seharusnya menjadi corong suara rakyat, akhirnya kandas diatas pakta integritas.
Mahasiswa Unggul dan Mulia dalam Sistem Islam
Berbeda dengan cara sistem Islam memperlakukan mahasiswanya. Sistem Islam berdasar pada Al-qur’an dan Sunnah, yang wajib untuk dilaksanakan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun mahasiswa.
Allah memberikan aturan untuk menusia, dalam Al-qur’an surah Al-Imran 110, yang artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“.
Dalam surah At-Taubah ayat 71, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“.
Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah dalam kemungkaran. Hal ini akan mendorong para pemimpin yang berkuasa untuk menjamin hak-hak mahasiswa untuk mengoreksi mereka.
Karena para pemimpin Islam adalah pribadi yang bertakwa dan takut kepada azab Allah.
Para pemimpin yang bertakwa justru akan sangat membutuhkan koreksi dari semua kalangan agar aturan Allah dan RasulNya tetap berjalan dimuka bumi ini. Dalam Islam, politik tidak hanya tentang kekuasaan, melainkan tentang urusan umat.
Mahasiswa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari umat (masyarakat) akan senantiasa senang melakukan koreksi terhadap penguasa, karena itu merupakan sebuah bentuk keta’atan kepada Allah Ta’ala.
Tidak seperti saat ini, sistem kapitalisme tidak akan pernah menentramkan rakyatnya. Seluruh kebijakannya hanya menguntungkan para penguasa, tidak pernah berpihak pada rakyat.
Masihkah kita bisa bertahan dengan sistem ini? Inilah saatnya kita kembali kepada sistem Islam, sistem Khilafah yang merupakan kewajiban dari sang Pencipta manusia. Dengannya keberkahan Allah akan mengalir deras menentramkan hati kita. Wallahu A’lam Bish-shawwab.
Tags
Opini