Oleh: Ummu Athifa*
Korupsi masih merajalela di negeri Indonesia. Banyak penanganan pencegahan dari pemerintah, namun belum menuai hasil yang memuaskan. Masih banyak pelanggaran yang kerap terjadi di tengah masyarakat.
Atas dasar ini, Bupati Kuningan H. Acep Purnama, SH., MH., didampingi Kepala Inspektorat Kabupaten Kuningan, Drs. Deniawan, M.Si. menyimak kegiatan Praktik Baik Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK) melalui video conference di Ruang Kerja Bupati.
Acara ini digelar di Gedung Juang KPK yang dibuka secara virtual oleh Presiden RI Joko Widodo bersama Ketua KPK, Firli Bahuri. Agenda pembahasannya berkaitan dengan peneguhan kembali komitmen semua pemangku kepentingan dan penyampaian apresiasi kepada instansi pusat dan pemerintah daerah yang telah berhasil menjalankan beberapa dimensi dari Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi).
Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga pesan, pertama regulasi nasional harus terus dibenahi karena masih banyaknya regulasi yang tumpang tindih, tidak jelas, tidak berikan kepastian hukum, sehingga prosedur berbelit-belit dan membuat pejabat tak berani melakukan eksekusi dan inovasi.
Kedua, reformasi birokrasi disederhanakan, organisasi birokrasi terlalu banyak jenjang dan definisinya, serta selonisasi perlu juga disederhanakan tanpa mengurangi pendapatan penghasilan dari para birokrat. Ketiga, Pak Jokowi meminta agar budaya anti korupsi tetap digalakkan, agar masyarakat tahu apa itu korupsi dan gratifikasi (kuningan.go.id/26Agt2020).
Hingga saat ini memang pemerintah Indonesia terus berupaya maksimal untuk menghilangkan penyakit laten negeri ini, yaitu korupsi. Namun sayangnya, korupsi malahan nyaris dianggap budaya, sehingga pelakunya boleh mendapatkan pemakluman.
Ini ternyata ada pergeseran pemahaman standar masyarakat. Awalnya diperketat, sekarang malahan dilonggarkan. Maka, wajar saja kasus tindak korupsi makin lama makin marak. Ditambah pelakunya bisa dari kalangan dan level manapun. Tak heran kini pemerintah mempertegas aturannya.
Ketua Mahkamah Agung, M Syarifuddin, mengeluarkan peraturan baru terkait pesakitan koruosi di Indonesia. MA menerbitkan ketentuan baru terkait pedoman pemidanaan koruptor yakni Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020. Di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat dipidana seumur hidup.
Akan terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu kategori berat untuk korupsi lebih dari Rp25-100 miliar, kategori sedang untuk korupsi lebih dari Rp1-25 miliar, kategori ringan untuk yang Rp200 juta-Rp1 miliar. Dan, terakhir kategori paling ringan yakni yang sampai Rp200 juta (cnnindonesia.com/04Agustus2020).
Aturan yang diberlakukan nantinya diharapkan dapat menjerat pelaku korupsi dan tidak mengulanginya lagi. Selain itu, negara harus memastikan peraturan berjalan dengan baik. Jika ada pelanggaran, maka harus ditindak tegas.
Faktanya Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi. Artinya meniadakan Tuhan dalam mengatur kehidupan, diduga kuat akan masih ada tindak korupsi. Hal ini dikarenakan standar perbuatan jauh dari nilai halal haram dan hanya diukur dengan dasar manfaat dan kepentingan.
Ditambah lagi, yang menjadi terpidana korupsi masih bisa tertawa-tawa di depan kamera, bisa keluar masuk penjara, dan vakansi ke mana-mana.
Hasilnya, usaha pemberantasannya seperti menegakkan benang basah, korupsi nampak sulit dieliminasi.
Hingga negara dan rakyat harus terus menderita kerugian akibat maraknya praktik korupsi. Baik berupa kerugian materil maupun dalam bentuk ketidakberkahan hidup akibat kemaksiatan yang merajalela.
Sungguh Indonesia membutuhkan penegakkan sistem Islam. Karena sistem ini memiliki berlapis cara yang menutup celah maraknya penyimpangan perilaku, salah satunya tindak pidana korupsi.
Pertama di level Individu. Islam menjadikan keimanan sebagai dasar semua perilaku. Tak hanya dalam urusan pribadi, tapi juga dalam urusan bermasyarakat. Karena dalam iman Islam tak ada satu perbuatan pun yang luput dari pencatatan malaikat dan penghisaban di hari akhirat. Semuanya diyakini akan mendapat balasan setimpal.
Terlebih, dipahami bahwa korupsi adalah kejahatan yang pertaubatannya sulit dilakukan, karena menyangkut pelanggaran terhadap hak harta seluruh umat. Sementara salah satu syarat pertobatan dari pelanggaran terhadap manusia adalah mengembalikan haknya dan meminta permaafan darinya.
Kedua di level masyarakat. Berbeda dengan sistem sekuler demokrasi yang begitu menuhankan kebebasan dan individualisme. Islam memandang masyarakat akan terbiasa melaksanakan amar makruf nahi mungkar, karena aktivitas ini merupakan salah satu kewajiban syar’i.
Tradisi inilah yang akan menjadi lapis kedua sistem pencegahan terjadinya tindak korupsi. Di mana masyarakat terkondisi untuk saling mengingatkan agar masing-masing menjaga ketaatan, bukan malah saling mendukung perbuatan maksiat hingga menjadi budaya yang akhirnya sulit ditinggalkan.
Level ketiga adalah level negara. Di mana keimanan, tak hanya menjadi landasan amal individu, tetapi juga menjadi landasan bernegara. Dan sebagai implikasinya, negara dalam sistem Islam akan menerapkan seluruh aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan.
Mulai dari sistem politiknya yang menjadikan kekuasaan dan kepemimpinan berfungsi sebagai pengurus (raain) dan penjaga (junnah) umat. Bukan seperti dalam demokrasi, di mana hubungan negara dan rakyat seperti hubungan penjual dan pembeli. Negara terus berhitung untung rugi.
Islam menerapkan sistem sanksi yang tegas dan memberi efek jera. Di mana para pelaku tindak penyelewengan terhadap syariat, termasuk tindak korupsi akan dihukum sesuai bentuk hukuman yang ditetapkan oleh Islam.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, maka negara akan menerapkan ta’zir. Sehingga nanti, negara diwakili hakimlah yang akan memutus hukuman sesuai kadar pelanggaran yang dilakukan. Mulai dari sekadar penyitaan harta, penyiaran/tasyhir, pendendaan, pemenjaraan, hukuman fisik, hingga hukuman mati dan lain-lain.
Yang pasti, penerapan hukuman Islam ini selain memiliki dimensi dunia, juga memiliki dimensi akhirat. Yakni akan memberi efek jera yang menjadi pencegah atas maraknya tindak pidana korupsi, sekaligus juga akan menjadi penebus dosa kelak di akhirat. Inilah mekanisme yang diberikan Islam dalam mencegah dan menghapus tindak korupsi hingga ke akar. Wallahu'alam bi shawab.
*(Anggota Revowriter dan Writing Class With Has)
Ilustrasi gambar Depositphotos
Tags
Opini