Indonesia di Jurang Resesi, Islam Harus Jadi Solusi



Oleh: Dhiya Fadhilah


Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis terkait data pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19. BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus hingga 5,32 persen pada kuartal II-2020. Padahal, pada kuartal I-2020 perekonomian Indonesia masih dinyatakan tumbuh dan berada pada angka 2,97 persen. 

Penurunan yang sangat drastis. Bahkan bisa dikatakan kondisi ekonomi Indonesia saat ini telah anjlok. Menurut kepala BPS Suhariyanto, pandemi corona membawa dampak luar biasa buruk terhadap kesehatan hingga perekonomian, terutama konsumsi masyarakat. Dalam catatannya, komponen ekspor dan impor mengalami penurunan yang cukup dalam pada kuartal II tahun ini.

Pengamat Ekonomi Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi berpendapat, saat ini RI telah masuk resesi teknikal. Yang artinya, sudah ada sinyal bahwa Indonesia akan memasuki gerbang resesi yang sebenarnya. Resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan dan berlangsung setidaknya dalam dua kuartal berturut-turut secara tahunan atau year-on-year (YoY).

Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni; (1) Penurunan Produk Domestik Bruto riil (PDB riil), (2) merosotnya pendapatan riil, (3) peningkatan jumlah pengangguran, (4) terpuruknya produksi industri dan (5) penurunan penjualan ritel. Jauh sebelumnya, Indonesia pernah mengalami resesi pada tahun 1998, bahkan kondisinya lebih parah. Dan ternyata ada resiko akan terjadi lagi di tahun ini. 

Lalu, apa dampaknya jika Indonesia benar-benar mengalami resesi? Sebegitu mengerikan kah? Mengutip dari kompas.com, dampak ekonomi saat terjadi resesi akan sangat terasa dan efeknya bersifat domino pada kegiatan ekonomi. Semisal ketika investasi anjok saat resesi, maka secara otomatis akan menghilangkan sejumlah lapangan pekerjaan yang membuat angka pemutusan hubungan kerja (PHK) naik signifikan. 

Produksi atas barang dan jasa juga merosot sehingga menurunkan PDB nasional. Jika tak segera diatasi, efek domino resesi akan menyebar ke berbagai sektor. Dalam skala riil, akan banyak orang kehilangan rumah karena tak sanggup membayar cicilan, daya beli melemah, lalu banyak bisnis yang terpaksa harus gulung tikar. 

Dampak bagi para pekerja, seperti pekerja di sektor formal, pendapatan bulanan akan merosot karena adanya pengurangan pemasukan dari bonus, lembur dan komisi omzet produksi. Perusahaan akan mengurangi dana tambahan bagi karyawan untuk melakukan efisiensi sekaligus menjaga stabilitas keuangan. 

Sedangkan pekerja di sektor informal seperti UMKM, penurunan pendapatan disebabkan oleh melemahnya transaksi penjualan. Karenanya, para pelaku usaha tidak lagi memperoleh pemasukan rutin atau pendapatannya menjadi tidak pasti. Adapun bagi pekerja tidak tetap lainnya seperti buruh lepas, mereka akan kehilangan pekerjaan harian.

Di sektor bisnis perusahaan, manajemen akan melakukan pemutusan hubungan  kerja (PHK) atau merumahkan sebagian karyawan untuk menekan pengeluaran operasional. Situasi tersebut menyebabkan terjadinya gelombang pengangguran. Dan faktanya hal itu sudah dialami oleh para pekerja di Indonesia saat ini ditambah dengan efek terdampak pandemi covid-19. 

Ketua Kadin Indonesia Rosan Roeslani menyatakan survey terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebut sekitar 29 juta warga Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada masa Covid-19 tidak berbeda dengan data yang diterimanya dari berbagai sumber.

Resesi Akibat Pandemi?

Dalam berita yang berseliweran di banyak media mengatakan, Indonesia mengalami resesi akibat adanya pandemi virus corona. Virus yang tidak hanya membahayakan dan menjangkiti manusia tetapi juga menginfeksi perekonomian Indonesia bahkan dunia. Namun pada kenyataannya, tercatat pada era kepemimpinan Jokowi telah terjadi resesi teknikal sebanyak 6 kali (cnbcindonesia.com). 

Begitu pula negara-negara yang juga mengalami resesi seperti Korea Selatan, Singapura, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Perancis dan Italia. Sebelum adanya pandemi covid-19, sebagian negara tersebut pernah mengalami resesi. Itu artinya, virus corona bukanlah menjadi penyebab utama terjadinya resesi baik di Indonesia maupun di negara lainnya.

Meskipun demikian, tidak bisa disalahkan juga apabila menganggap pandemi corona tidak memberikan efek buruk pada perekonomian negeri. Dikarenakan masa PSBB yang diberlakukan oleh pemerintah beberapa waktu lalu dan mungkin masih berlaku hingga saat ini di beberapa daerah, membuat tidak normalnya aktifitas perekonomian masyarakat. 

Sebenarnya jika kita amati, tentu yang merasakan dampak penurunan aktifitas perekonomian bukan hanya negara. Tetapi masyarakat biasa justru sangat terkena dampaknya secara langsung. Di satu sisi menjalankan peraturan PSBB demi menyelamatkan nyawa diri dan keluarga, namun di sisi lain ada perut yang harus diisi. 

Belum lagi para Bapak yang harus tinggal di rumah akibat PHK. Sehingga semakin membuat kegalauan dan kekhawatiran akan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Sungguh ironi. Pemerintah yang tak mampu bahkan cenderung berlepas tangan dari pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat selama diterapkannya PSBB dan selama pandemi ini masih berlangsung. 

Akhirnya memaksakan untuk diterapkannya New Normal. Sehingga masyarakat dipersilahkan untuk melakukan aktifitas seperti sedia kala khususnya pada sektor ekonomi dengan menerapkan kebiasaan baru era corona. Efeknya, perekonomian Indonesia tetap pada jurang resesi ditambah meningkatnya laju pertambahan korban terjangkit covid-19. 

Beginilah jika sistem yang digunakan untuk mengatur negeri adalah sistem Kapitalis. Yang hanya berpihak pada masalah perekonomian ketimbang keselamatan nyawa manusia. Ibarat kata, lebih baik kehilangan seribu nyawa daripada harus kehilangan selembar rupiah. 

Islam Satu-satunya Solusi

Islam adalah sebuah sistem hidup yang sangat komprehensif. Tidak ada satu permasalahan pun yang tidak memiliki solusi, pasti ada solusinya. Jika Indonesia menerapkan syariat Islam secara kaffah, sesungguhnya banyak jalan yang mudah untuk mendapatkan pemasukan negara. 

Bukan dengan mengandalkan aktifitas perekonomian seperti yang dilakukan oleh sistem Kapitalis saat ini, tetapi melalui pengelolaan secara mandiri oleh negara, sumber daya alam (SDA) yang dimiliki. Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dari sisi SDA nya. 

Sayangnya, akibat diterapkannya sistem Kapitalis, SDA dapat dikeruk dan dirampas secara legal oleh negara-negara asing sehingga pemilik aslinya (negara Indonesia beserta masyarakatnya) tidak merasakan hasil keuntungannya.

Di dalam negara Khilafah Islam, sumber pemasukan tetap negara sangat banyak dan jelas, diantaranya; fa’i, anfal dan ghanimah, kharaj, jizyah, harta milik umum seperti sarana-sarana umum, harta-harta yang keadaan asalnya terlarang dimiliki oleh individu dan barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya, ‘usyur, khumuz rikaz, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang-orang murtad, pajak (hanya dipungut pada kondisi ketika di baitul mal kaum Muslim tidak ada uang/harta), dan zakat (diperuntukkan pada delapan ashnaf).

Dengan demikian, sangat kecil kemungkinan terjadinya krisis ekonomi dikarenakan pos-pos pendapatan negara yang banyak dan tentunya sesuai syari’at Allah. Sehingga tidak hanya mencukupi kebutuhan negara dan masyarakat tetapi juga mendapat keberkahannya. Wallahu a’lam bi showab.


Ilustrasi freepik

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak