Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh: antara Hak Pendidikan Siswa dan Risiko Kesehatan




Oleh: Amallia Fitriani 


Kebijakan PJJ (pembelajaran jarak jauh) yang dikeluarkan pemerintah di masa pandemi covid-19 masih menyisakan banyak masalah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan evaluasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi Corona ini menunjukkan hasil yang variatif di setiap daerah. Ada yang berjalan efektif dan sebaliknya. Nadiem menjelaskan di beberapa daerah, khususnya daerah terpencil dan tertinggal, kendala utama siswa dalam PJJ ini adalah akses internet. Tak hanya itu kendala keterbatasan smartphone dan juga kuota. (Tempo.com, 11/07/2020) 

Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut Kemendikbud mengizinkan dana bos dibelikan kuota internet bagi siswa agar bisa mengikuti PJJ, namun sayang masalah tetap juga belum  selesai. Masalah lain yang Kemendikbud temui adalah waktu adaptasi terhadap program ini yang sangat singkat. Hal ini membuat PJJ berjalan dengan pemberian tugas yang berlipat ganda kepada siswa. "Ini memang tantangan yang berat bagi guru dan menjadi beban bagi peserta didik," ucap Nadiem.

Nadiem mengakui jika pelaksanaan PJJ selama beberapa bulan ini tidak efektif.  Langkah lain yang Kemendikbud lakukan untuk memastikan PJJ berjalan baik adalah bekerja sama dengan TVRI untuk menyiarkan tayangan yang berkualitas. "Walaupun ini tidak ideal, dan tetap saja ini tidak efektif". (Tempo.com, 11/07/2020) 

Seolah menyerah, kebijakan new normal pun membuat Kemendikbud mengizinkan pembukaan sekolah di wilayah zona kuning. Yang semula hanya diperbolehkan di zona hijau, kendati tidak wajib. Namun aktivitas pembukaan belajar mengajar ternyata malah memicu klaster baru penularan virus Covid-19. Penularan Covid-19 ini muncul usai pemerintah beberapa waktu lalu memutuskan mengizinkan pembelajaran tatap muka di sekolah yang berada di zona hijau dan kuning.

Melansir Kompas.com, Kamis (13/8/2020), setidaknya ada 9 klaster sekolah yang dilaporkan, yakni di Tulungagung, Lumajang, Kalimantan Barat, Tegal, Cilegon, Sumedang, Pati, Balikpapan, dan Rembang. Sebelumnya, Senin (10/8/2020), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis data siswa dan guru positif Covid-19, baik di lingkungan sekolah maupun pesantren. Berdasarkan data tersebut, tercatat 54 guru dan 138 siswa di sejumlah sekolah dan pondok pesantren terkonfirmasi positif virus corona.

Nadiem menampik kebijakan pembukaan sekolah tersebut memicu klaster baru Corona. Ia bilang ada investigasi dari Kemendikbud soal pemicu penularan Corona di kalangan pendidik. Hasilnya guru tersebut sudah tertular sebelum mengajar lagi secara tatap muka. Sesuai protokol kesehatan, sekolah tempat guru tersebut mengajar langsung ditutup. “Semua klaster bukan karena kebijakan relaksasi, tapi memang kondisi infeksi yang sudah terjadi sebelumnya, yang baru ketahuan saat kita melakukan pembelajaran tatap muka,” kata Nadiem. (tirto.Id, 18/08/2020)

Kebijakan mengizinkan adanya tatap muka dalam roses pembelajaran di wilayah zona hijau dan kuning, bukannya menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru, ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mampu dan tidak memiliki solusi untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan di tengah pandemi covid-19.

Memang tidak bisa dipungkiri metode tatap muka merupakan metode yang utama dalam pembelajaran ini. Tidak hanya transfer ilmu melainkan juga mampu mendidik dan membentuk karakter siswa.

Namun dalam situasi saat ini pembelajaran tatap muka masih tergolong riskan apalagi bagi daerah yang memiliki tingkat penularan tinggi. Meskipun terdapat banyak daerah yang berzona hijau namun bisa saja penularan berasal dari daerah yang lainnya.

Diperlukan sebuah kebijakan yang  disandarkan kepada keselamatan dan  keamanan masyarakat. Sayangnya pemerintah saat ini tidak mampu mewujudkan jaminan pendidikan keselamatan maupun kesahatan dan keamanan tersebut untuk masyarakat di masa pandemi.

Ketidakmampuan ini merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme saat ini. Kapitalisme manjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama setiap kebijakan dan asas manfaat adalah tolok ukur perbuatannya. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan jor-joran, hakikatnya bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, melainkan hanya demi kepentingan sang pemodal. 

Maka tak heran, bila pembangunan hanya berpusat di perkotaan atau wilayah yang memiliki potensi kekayaan maupun akses bisnis saja, tidak merata sampai kepelosok wilayah. Wajar jika jaringan internet pun lebih bagus di perkotaan dibanding pedesaan. Pembangunan yang tidak merata ini pun akan berdampak pula pada kualitas infrastruktur sekolah, SDM guru dan lain sebagainya. 

Maka wajar jika kendala muncul pada proses PJJ di masa pandemi ini baik kendala teknis penunjang maupun proses transfer materi. Kondisi seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.

Dalam sistem Islam negara hadir sebagai penjamin kebutuhan rakyatnya baik kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Maupun kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Di masa pandemi saat ini, negara dalam sistem Islam akan mengoptimalkan segala potensi yang ada agar kebutuhan rakyat terpenuhi dengan baik, termasuk pendidikan.

Untuk kebutuhan pokok negara akan menjaminnya secara tidak langsung maksudnya akan senantiasa berupaya mengontrol serta memastikan ketersedian yang cukup dan mampu untuk dijangkau oleh rakyatnya. 

Sedangkan untuk kebutuhan dasar publik negara akan menjaminnya secara mutlak maksudnya seluruh pembiayaan maupun kestersediaannya menjadi tanggung jawab negara sehingga semua rakyat dapat menikmati fasilitas pelayanan publik dengan kualitas yang sama bahkan gratis. 

Adapun jaminan pendidikan yang diberikan negara meliputi jaminan gaji para guru atau dosen atau pegawai terkait instansi pendidikan beasiswa bulannya bagi setiap pelajar, penyediaan  infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan semua akan dibiayai oleh negara dengan dana yang bersumber dari baitul mal.

Tak hanya itu jaminan untuk membentuk generasi yang berkualitas juga dipastikan dapat tercapai hal ini direalisasikan melalui penerapan kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islamiyah (memiliki polafikir dan pola sikap Islami).

Mereka dididik dengan akidah Islan sehingga output generasi yang dihasilkan menjadi generasi yang faqih fidin yang mampu menjadi pejuang agamanya dan mampu menguasai saintek sehingga bisa berkarya untuk kemudahan kehidupan manusia. 

Jaminan semua ini akan diperoleh sama bagi setiap rakyat baik yang berada di pusat kota maupun di pelosok daerah  maka negara dalam sistem Islam akan mendukung semua sarana pembelajaran pendidikan.

Bagi para pembuat kurikulum dan pengajar ketika mengusulkan sarana dan teknik mengajar memperhatikan konsep kreativitas. Oleh karenanya akan senantiasa berkembang dan berkesinambungan. 

Jadi dalam kondisi apapun baik normal maupun pandemi tujuan pendidikan dalam Islam tidak berubah ketikapun terjadi pandemi. 

Negara dalam sistem Islam akan berusaha menjamin keamanan, kesehatan rakyatnya maka ketika terdengar datangnya suatu wabah maka negara akan berupaya memisahkan antara orang yang sakit dan orang yang sehat. 

Berupaya keras agar penyakit yang ada di wilayah sumber awal tidak menyebar ke wilayah yang lain, memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi warga terinfeksi sampai mereka sembuh, dan hal-hal lain yang terkait agar pandemi segera berakhir sehingga aktivitas sosial, pendidikan, ekonomi dan aktivitas publik lainnya dapat berjalan dengan normal tanpa ditemukan berbagai klaster yang baru.

Maka dari itu semua permasalahan yang tengah dihadapi kaum muslim saat ini umumnya seluruh manusia hanya mampu dituntaskan dengan menggunakan sistem Islam yang bersumber dari Allah SWT Sang Kholiq dan Sang Mudabbir.
Wallahua’alam bi showwab 

Ilustrasi gambar: Medium

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak