Dinasti Politik Dieliminasi dari Sistem Demokrasi? Mustahil!




Oleh : Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang

Seakan telah mengakar, amat sukar dilepas. Begitulah yang pantas disematkan untuk tiap problematika yang ada, terkhusus dinasti politik. Dinasti politik menjadi hal yang lazim ditemui di negara penganut demokrasi. Tak terkecuali di pelosok timur Indonesia, NTT. 

Oleh karena itu, bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Malaka, Simon Nahak dan Kim Taolin (SN-KT) klaim hadir guna menghapus dinasti politik di kabupaten itu. Simon Nahak mengatakan, bakal menghapus ketidakadilan, diskriminasi serta pembangunan dinasti. Lanjutnya, SN-KT hadir untuk membangun keadilan yang merata bagi rakyat. (voxntt.com, 7 September 2020)
Yakinkah akan terealisasi? 

Politik dinasti dalam demokrasi tak akan pupus. Sebab, setia dipupuk apik. Tampak dari kebijakan yang lahir. Misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus pasal ‘dinasti politik’ dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. MK pun telah melegalkan syarat pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana. Alasannya, karena bertentangan dengan HAM. Hal ini tentu menegaskan halalnya dinasti politik dalam demokrasi. Ya, dinasti politik sepadan dengan kebebasan yang erat dijunjung sistem ini. 

Suburnya dinasti politik dalam demokrasi terlihat pula tatkala terjadinya Pemilu atau Pilkada. Dimana, seseorang yang bakal terjun ke dunia perpolitikan membutuhkan jaringan serta dukungan finansial dari pihak lain. Mujur tatkala sudah ada keluarga atau kenalan yang menduduki kekuasaan. Mereka lantas berikhtiar mendapatkan serta mempertahankan hegemoninya.

Dinasti politik hari ini telah menggurita. Contohnya terlihat jelas. Mulai dari putra sulung Presiden Joko Widodo yang bakal terjun sebagai calon wali kota Solo, menantu Presiden Joko Widodo yang bakal maju sebagai calon di kota Medan, hingga putri Wapres Ma’ruf Amin yang maju dalam Pilkada Tangsel. Tak ketinggalan, keponakan Prabowo Subianto yang maju sebagai calon wali kota Tangsel. Pencalonan yang berasal dari keluarga petahana tentu berpotensi memunculkan konflik kepentingan pun penyalahgunaan wewenang.

Oleh karenanya, dinasti politik tentu sangat berbahaya. Adalah tatkala bertindak memperkaya diri, bagi-bagi jabatan, meluluskan UU yang dapat menguntungkan kelompok serta terjadinya korupsi yang diikhtiarkan bersama. Hal ini tentu merugikan negara. 

Demokrasi yang unggul dengan slogannya ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ nyatanya tampak cacat. Sehingga wajar tatkala kita mengatakan bahwa demokrasi cacat permanen, cacat sejak lahir. Lihat saja, penguasa yang terpilih bukan murni pilihan rakyat, melainkan kehendak pemerintah. Pemimpin seperti ini jelas disangsikan kapabilitasnya dalam menjalani amanah kekuasaan. Lantas, apatah kesejahteraan rakyat dapat terwujud?

Dari sini terlihat jelas, dinasti politik akan senantiasa ada dalam demokrasi. Peraturan-peraturan yang lahir malah menyuburkannya. Kebijakan-kebijakan yang ada malah mempertahankan eksistensinya. Jelas, untuk mengeliminasi dinasti politik, harus keluar dari sistem kapitalisme demokrasi hari ini. 

Lantas, dalam sistem manakah dinasti politik tak ditemukan? Jelas, hanya dalam sistem pemerintahan Islam. Pemimpin dalam Islam bertujuan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan rakyat. Oleh karenanya, dalam memilih pemimpin wajib hukumnya menggunakan timbangan syariat.

Misalnya, dalam memilih pemimpin negara Islam, Khalifah. Rakyatlah yang memilih dan membaiatnya. Khalifah harus memiliki syarat yaitu laki-laki, muslim, merdeka, balig, berakal, adil serta memiliki kemampuan manjalankan tanggung jawab yang dipikulnya. Pemilihan Khalifah secara langsung oleh rakyat tentu mengeliminasi adanya putra mahkota. 

Sedangkan terkait penguasa tingkat daerah tidak dipilih oleh rakyat, melainkan langsung diangkat oleh Khalifah. Pemimpin yang diangkat tak hanya piawai mengatur urusan pemerintahan melainkan juga memiliki ilmu agama yang luas. Pemimpin dalam Islam sadar betul akan tanggung jawab yang diembannya. Bahwasanya, jabatan akan dimintai Allah, Sang Maha Adil. 

Dari sini gamblang terlihat bahwa sistem Islam menutup rapat peluang terjadinya dinasti politik. Berdasarkan riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari ra., ia berkata bersama dua orang saudara sepupu mendatangi Rasulullah Saw. lantas seorang di antara keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu.” Yang lain pun berkata demikian. Lalu Rasulullah bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya atau berambisi dengan jabatan itu.”

Oleh karena itu, mustahil tatkala hendak mengeliminasi dinasti politik dalam sistem demokrasi. Langkah yang paling tepat ialah, bertransformasi ke sistem Islam. Sistem yang menutup rapat peluang terjadinya dinasti politik.

Wallahua’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak