Oleh : Ratna Mustika Pertiwi, SP.t
Hari itu kondisi kaum muslimin mencekam, bisa diibaratkan siangnya sangat panas dan malampun sangat dingin, ketakutan dan teriakan mendengung kencang. Darah mengucur di pelataran Baitul Maqdis hingga tanahnya memerah, ketika ditelisik bukan hanya darah kaum muslimin yang mengucur tetapi darah orang-orang Yahudi pula. Tahun itu 1099 M kelamnya tidak disangka, Baitul Maqdis jatuh ke pelukan tentara Salibis yang bertahun-tahun berjuang tiada henti untuk merebutnya dari tangan kaum muslimin.
Kebencian terhadap islam mendorong semangat mereka untuk merebut kiblat pertama kaum muslim itu. Baitul Maqdis diubah menjadi kandang kuda, sebagian menjadi gereja dan ada bagian yang dijadikan istana. Sungguh ironis kondisi tersebut, bangunan yang semula disucikan oleh kaum muslimin, masyarakatnya dilindungi oleh Daulah islam tanpa membedakan akidah, namun ketika masa itu sampai, kondisinya berubah drastis 360 derajat.
Tetapi memang Allah mungkin mempunyai cara lain untuk menasehati ummat islam, konfilk internal antara Fathimiyah dan Abbasiyah menjadi pengingat bahwa persatuan ummat itu sangatlah penting. Pelajaran demi pelajaran menjadi pendewasaan bagi ummat, upaya-upaya pemersatuan sedikit-demi sedikit dilakukan. Meskipun pada masa mulkan adzon ini terdapat konflik horizontal antara kaum muslimin serta konflik vertikal yang ditimbulkan karena serangan orang-orang kafir, tetapi syariat islam tetap diterapkan dan tetap menjadi mercusuar negara.
Walhasil, butuh waktu 91 tahun lamanya untuk membebaskan Baitul Maqdis. Tidak disangka tidak diduga seorang pemuda dari kalangan ayyubiyah menjadi ksatria. Ya siapa lagi jika bukan Salahuddin Al-Ayyubi, pemuda yang mewarisi perjuangan Nuruddin Zanky untuk merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan-tangan penjajah. Diawali dengan perjuangan mempersatukan kaum muslimin dari berbagai kalangan madzab dan menakhlukkan negeri-negeri kecil yang mengelilingi Palestina, perjuangan panjang lintas generasi tersebut akhirnya terbayar.
Tidak seperti perlakuan tentara salibis yang membunuh orang-orang yang tidak mau tunduk dihadapan mereka saat berhasil merebut Baitul Maqdis dari kaum muslimin, Salahuddin Al-Ayyubi malah bertindak sebaliknya, beliau membebaskan orang-orang yang ingin pergi keluar Palestina dengan syarat membayar sejumlah uang yang jumlahnya sangat kecil. Orang-orang Eropa yang terpaksa ikut didalam ekspedisi perang salib juga dikembalikan lewat jalur laut dengan jaminan keamanan.
Dan itulah kenyataannya makna Fath didalam islam, ia bukan menjajah suatu negeri, merebut sumber daya alamnya atau memporak-porandakan masyarakatnya. Tetapi Fath adalah membebaskan kehidupan masyarakat yang semula jahil menjadi masyarakat yang mencintai Allah, serta membebaskan dari masa-masa kebodohan menjadi masa yang memiliki kehidupan gemilang yang diridhoi Allah tanpa memaksakan akidahnya.
Namun sekali lagi, lentera Baitul Maqdis yang sempat bersinar terang, kini kembali meredup. Pasca runtuhnya khilafah pada awal abad ke 19 tepatnya tahun 1924, Palestina jatuh kembali ke tangan orang-orang kafir yakni zionis Israel laknatullah. Perjuangan yang penuh onak dan duri Sultan Hamid II untuk mempertahankan tanah Palestina, akhinya selesai saat ia diasingkan oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Perjanjian penuh konspirasi Sykes-Picot telah mengobrak-abrik wilayah kekhilafahan menjadi nations state. Umat yang awalnya bersatu menjadi terpecah, mereka dibuat sibuk dengan fanatisme bangsa dan golongan. Ditambah dikulitinya islam dari ranah negara menjadikan masyarakat berubah keadaannya menjadi sekuler, sehingga soal agama tak lagi menjadi perhatian utama dalam bingkai kehidupan.
Begitulah sejarah mencatat, hingga kini kita bisa melihat masyarakat begitu jauh dari Penciptanya. Riba tak lagi masalah, menutup aurat bukan menjadi perhatian para wanita, pernikahan masalah belakangan yang terpenting memiliki tambatan hati meskipun tanpa ikatan suci diikrarkan. Bayi-bayi lahir dengan nasab yang tidak jelas akibat pergaulan bebas, dan hanya sedikit yang memperdulikan kondisi keumatan semisal memperjuangkan hak keamanan dan jaminan kehidupan saudara di Palestina, Siria, Xinjiang, Rohingya dan negeri-negeri muslim lainnya.
Bagi kita segelintir orang muslim yang berpikir, pasti kondisi ini sangat memprihatinkan. Kondisi yang sangat jauh dari keadaan para pendahulu yang menjadi prototype kemajuan manusia. Umat islam yang dulu memimpin dunia, kini jatuh terperosok. Tangisan demi tangisan pecah, darah tak berhenti mengucur, nyawa-nyawa kaum muslimin seperti debu yang tidak berharga.
Wajar bila segelintir intelektual itu ingin mengembalikan nyala lentera islam yang sudah lama meredup atau bahkan hilang cahayanya. Cahaya yang dulu tak hanya menerangi Baitul Maqdis tetapi alam semesta karena ia diturunkan hakikatnya menjadi rahmat. Ya, sudah semestinya kita menyadari betul bahwa satu-satunya solusi seluruh masalah kehidupan adalah kembali kepada Allah, berjuang mengembalikan kehidupan dibawah lentera syariatnya.
Meski tidak ditampik banyak orang yang mengatakan bahwa ini adalah perjuangan yang utopis, hanya seperti mimpi disiang bolong. Tetapi sekali lagi bagi kita yang berfikir dan memiliki iman islam, memperjuangkan kembalinya kehidupan islam dalam bingkai khilafah adalah perjuangan yang nyata. Jika tidak nyata, tidak mungkin banyak portal-portal yang dipasang untuk menghalangi dakwah. Entah itu fitnah, siksaan atau pemboikotan.
Tetapi ingat, pendahulu kita tidak pernah mengatakan bahwa mengambil kembali Baitul Maqdis dari tentara salibis adalah hal yang mustahil. Atau sedikit mengulik perjuangan Muhammad Al-Fatih dalam merealisasikan penakhlukan konstantinopel, tak pernah sedikitpun ia mengatakan “Itu hal yang utopis dan amat sulit”. Namun yang ia lakukan hanya satu, berikhtiar mendapatkan istana di surga dengan berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan bisyarah Rasulullah.
Wallahualam bhisawab