Oleh: Dita Asareta S.Sos
(Pemerhati Sosial)
Hati gemas dan cemas sebab corona tak kujung usai. Pengambilan kebijakan jadi dilema menutup mobilisasi warga bangkrutkan ekonomi tapi tidak memberi batasan di tengah masyarakat yang tak patuh protokol kesehatan semakin membuat laju covid-19 di negeri ini. Di tengah gentingnya keadaan, penguasa kita lagi-lagi mengeluarkan berbagai narasi dangkal. Mereka terus mencari-cari kesalahan rakyatnya atas ketidakmampuannya dalam mengurusi rakyatnya di tengah pandemi.
Mendagri Singgung Otokrasi Tangani Pandemi
Mengingat pandemi virus corona baru (covid-19) semakin mewabah, tampaknya pemerintah diambang keputusasaan. Seperti dilansir dari cnnindonesia.com (3/9/2020). Menteridalam Negeri (Mendagri) Tito karnavian menyatakan,negara yang menerapkan pemerintahan otokrasi atau oligarki lebih efektif menangani pandemi virus corona (Covid-19). Menurutnya, negara dengan pemerintahan seperti itu mudah mengendalikan perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi karena kedaulatan negara dipegang oleh satu atau segelintir orang. Negara-negara yang menggunakan sistem politik otokrasi tangan satu orang atau oligarki yang dikuasai sekelompok orang seperti China dan Vietnam, menanganinya lebih efektif karena mereka menggunakan cara-cara yang keras.
Dalam sistem demokrasi dengan mayoritas kalangan low class semakin menambah kesulitan yag ada, pasalnya banyak yang kurang teredukasi dan kesulitan secara ekonomi. Kalangan tersebut sulit diminta untuk menerapkan protokol kesehatan dengan alasan pakai masker hoaks, Covid-19 itu hoax, tidak ada fakta covid-19 dan konspirasi saja.
Selain itu, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasminto merespons IGD rumah sakit rujukan pasien covid-19 yang penuh. Wiku mengatakan kapasitas rumah sakit tak akan pernah cukup kalau disoroti terus, saat ini sebaiknya seluruh pihak menyoroti perilaku masyarakat yang kurang disiplin menerapkan protokol kesehatan sehingga masih menyebabkan penularan virus corona.
”Logical Fallacy” (Sesat Berfikir)
Keputusasaan penguasa atas ketidakmampuannyamenjalani fungsinya mengatasi wabah membuat mereka kalang kabut menghadapi publik, sebab tingkat kepercayaan publik makin menurun drastis. Alih-alih mengoreksi diri, pemerintah justru sibuk menyalahkan rakyat yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Padahal mereka sedang menutupi bobroknya demokrasi sebagai sistem yang mereka bangga-banggakan. Bila dicermati, tak ada satupun solusi yang bisa mereka berikan untuk rakyatnya ditengah kesulitan akibat wabah.
Munculnya narasi menyesatkan dengan mengatakan otokrasi-oligarki lebih efektif mengatasi pandemi karena menghasilkan kepatuhan masyarakat sebagai prasyarat penanganan krisis. Patut diketahui, otokrasi merupakan pemerintahan atau kekuasaaan yang dipegang seseorang yang berkuasa penuh dan tidak terbatas masanya. Pemegang kekuasaan biasanya dijabat pemimpin berstatus raja atau yang menggunakan sistem kerajaan. Kebijakan otoriter karena ditetapkan pemimpin, sedangkan bawahan tinggal melaksanakan tugas. Semua perintah, pemberian dan pembagian tugas dilakukan tanpa ada konsultasi dan musyawarah dengan orang-orang yang dipimpin. Pers dibatasi pemerintah, dilarang mengkritik kinerja mereka dan hanya Presiden yang boleh mengatur sesuatu secara otoriter.
Pernyataan Tito Karnavian yang menyebut otokrasi-oligarki efektif mengatasi pandemi, sama saja menginginkan kembali pemerintahan otoriter seperti orde baru, seolah berupaya untuk mempertahankan demokrasi sebagai sistem dan berharap penerapan pemerintahan otokrasi-oligarki sebagai pilihan selanjutnya. Sebagaimana diketahui bahwa masa pemerintahan orde baru membuktikan jejak hitam saat kepemimpinan otoriter diterapkan.
Padahal, tidak ada satupun negara yang benar-benar lolos atasi pandemi, sekalipun mereka adalah negara otokrasi seperti China. Nyatanya, meski sempat menyatakan bebas dari infeksi corona, China menghadapi kembali gelombang kedua virus Covid-19 setelah otoritas China memberlakukan pelonggaran kebijakan lockdown, artinya pandemi masih belum hilang. Kepatuhan di negara otokrasi diciptakan pemerintah ialah rasa takut yang disebabkan adanya sanksi. Tentu, kepatuhan semacam ini adalah kepastian terpaksa yang sifatnya tidak akan permanen.
Seharusnya kebijakan yang di buat pemerintah penganut demokrasi adalah dengan meningkatkan kepercayaan rakyat pada pemerintah dengan memaksimalkan berbagai upaya untuk menghentikan laju infeksi virus corona seperti menggencarkan sosialisasi protokol kesehatan, melakukan edukasi dan informasi ditengah masyarakat terkait virus corona.
Kemudian pemerintah melakukan edukasi dan solusi agar kepatuhan rakyat bukan semata-mata karena terpaksa dan rasa takut terhadap sanksi dan bukan pula karena ancaman hukuman sebagaimana di negara-negara otokrasi. Sehingga masyarakat tidak abai dengan kondisi akibat covid-19 yang semakin mewabah.
Karena ditopang oleh sistem kapitalis, maka kebijakan yang diterapkan pemerintah masih diikuti embel-embel keuntungan apa yang di dapat oleh penguasa. Bukan berorientasi memikirkan kemaslahatan rakyat. Malah vulgar mempertontonkan kecurangan, mengambil manfaat atas kepentingan kelompok dengan mengatasnamakan rakyat dan mencari alasan atas ketidakbecusan dalam mengatasi masalah. Menganggap kesehatan sebagai sesuatu yang bisa dikomersialkan. Mereka hanya bertumpu pada para kapital yang membantu untuk meraih kekuasaan.
Demokrasi-kapitalisme yang melandasi setiap kebebasan berpendapat inilah, yang terkhsusus pada para penguasa sehingga sukses menciptakan chaos di masyarakat. Wajar jika tingkat kepercayaan masyarakat menurun drastis. Rakyat butuh solusi, namun justru penguasa memberikan pelayanan “ala kadarnya” kepada rakyat, terus menambah amunisi untuk menumpuk keuntungan korporasi. Bukankah ini bukti bobroknya demokrasi? Pantasakah kondisi ini terus dipertahankan? Disinilah publik dituntut untuk bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan penguasa.
Butuh Sistem Islam, Bukan Sistem Otokrasi-Oligarki
Sejatinya, rakyat membutuhkan sistem alternatif, bukan sistem otokrasi-oligarki sebagaimana pernyataan dari menterinegara di negeri ini. Padahal jelas, pemerintahan yang menerapkan sistem otokrasi justru menimbulkan berbagai masalah baru dan sangat membahayakan.
Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, sepatutnya memilih sistem alternatif yang mewujudkan terselenggaranya fungsi negara secara konsisten dan adil oleh penguasanya. Sebagai junnah (perisai) yang menjadi garda terdepan untuk menangani kemaslahatanrakyatnya, bekerja optimal mengatasi krisis dan memberikan berbagai solusi yang solutif yang menenangkan rakyat ditengah badai. Sistem alternatif tidak lain adalah sistem Islam sebagai solusi satu-satunya mengatasi pandemi. Bukan karena dorongan materi melainkan karena ingin mendapatkan kemuliaan akhirat. Dengan begitu, rakyat menjadi tidak ragu dengan penguasa. Bahkan kepatuhan rakyat bukan karena terpaksa atau ancaman hukuman melainkan dengan kesadaran iman.
Sebagaimana pemimpin pada masa ketika Islam ditegakkan, mereka berlomba-lomba membangun rumah sakit sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyat dan ketaatan terhadap hukumAllah. Kesehatan tidak dianggap sebagai sesuatu yang bisa dikomersialkan, kesehatan adalah tanggungjawab negara dan bagian dari amal jariyah. Negara bertanggungjawab memberikan dana termasuk pada pemeliharaan kesehatan masyarakat kelas bawah karena nyawa manusia dimata Islam amat berharga.
Sungguh luar biasa perhatian Islam terhadap keselamatan umat. Sudah seharusnya kita mengarah pada sistem alternatif yakni sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Karena hanya dengan Khilafah yang mampu memberikan solusi yang solutif khususnya pada pandemi. Karena aturannya berasal dari Zat yang Mahatahu dimana aturannya sangat menenangkan jiwa dan memuaskan akal manusia.
Pernyataan Tito Karniavan hanyalah upaya menutupi bobroknya sistem hari ini, sistem yang hanya bertumpu pada capaian materialistis. Menutup mata negeri ini dari realitas bahwa negeri ini membutuhkan perubahan yang mendasar terhadapsistem kehidupan yang berjalan yakni khilafah islam. Sistem shahih membangun kepercayaan bukan keterpaksaan.
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang mengurusi suatu urusan kaum muslimin, lalu dia mengangkat seseorang berdasarkan pilih kasih (bukan karena kapabilitas), maka laknat Allah atasnya, Allah tidak akan menerima kinerjanya, tidak pula menerima keadilannya hingga Dia memasukkannya ke dalam neraka Jahannam,” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Artinya, pemerintahan dengan sistem otokrasi-oligarki yang dimana politik kekuasaan akan di turunkan pada anak, menantu, istri sehingga membentuk dinasti dengan cara yang curang maka Allah melaknat mereka dan memasukkannya ke dalama neraka Jahannam. Wallahu a’alam bi ash showwab.
Tags
Politik