Cara Islam Mengatur Pembatasan Sosial di Kala Wabah



Oleh: Shafiya
(Pemerhati Sosial)

Berbagai upaya dilakukan untuk menghambat dan menghentikan penyebaran virus Corona (Covid-19) yang kian hari semakin meningkat. Upaya tersebut antara lain, yaitu social distancing, physical distancing, darurat sipil dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melaksanakan PSBB yang ketat (baca: PSBB tahap 2). Upaya ini menuai polemik, karena masih dianggap dapat berimplikasi luas. Serta kemungkinan bertambahnya kelompok atau cluster kecil keluarga, di lingkungan masyarakat yang terdampak Covid-19, semestinya menjadi perhatian serius. Walhasil, kemungkinan tersebut membutuhkan biaya ataupun dana bantuan sosial (bansos) yang lebih besar bagi masyarakat terdampak.

Dilansir oleh detiknews.com, (13/09/2020), Menteri Sosial Juliari P. Batubara, menyatakan bahwa akan muncul kebutuhan penanganan terhadap masyarakat yang terdampak wabah dalam bentuk bantuan sosial. Hal ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

Apabila keputusannya adalah menambah bantuan sosial sejalan dengan pengetatan PSBB, maka hal itu bukan keputusan yang mudah. Dibutuhkan kajian mendalam dan koordinasi yang tinggi.

Ada dua aspek penting yang perlu dikalkulasi, terkait bila diperlukan bantuan sosial tambahan. Yakni penentuan target bantuan dan kesiapan anggaran. Dua aspek tersebut membutuhkan telaah mendalam dan koordinasi.

Kementerian Sosial tidak langsung merespon program PSBB ketat ini, akan tetapi menunggu arahan dari presiden. Jika Presiden Joko Widodo mengarahkan untuk menambah bantuan sosial, maka Kementerian Sosial siap melaksanakan arahan.

Kebijakan penerapan PSBB ketat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, juga mendapat sorotan dari pengusaha maupun Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian. Pasalnya, hal ini dianggap akan menurunkan kembali pergerakan sektor ekonomi. Kebijakan ini juga dianggap akan berdampak negatif pada pasar modal dan pasar uang yang dapat mengakibatkan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menurun. Sebab, berkaca dari penerapan PSBB ala Barat yang menetapkan "blanket lockdown" yang dapat melumpuhkan roda perekonomian. Serta dapat menimbulkan masalah sosial pada area yang luas, tanpa adanya jaminan penuh dari pemerintah.

Di lain pihak, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, memberlakukan skenario khusus untuk menghadapi lonjakan kasus baru. Hal ini ditempuh untuk melokalisir wabah, sehingga tidak semakin menyebar dan menular. Formatnya adalah Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM). Dia mencontohkan kasus lonjakan Covid-19 di Magetan, Sidoarjo, dan  Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Porong, yang kemudian diikuti dengan kebijakan pembatasan sosial berskala mikro atau karantina lokal atau lockdown lokal. Hasilnya, sangat efektif menekan laju persebaran Covid-19 di tengah masyarakat.

Berbagai cara untuk menghambat dan menghentikan laju penyebaran virus menjadi hal utama yang sedang diuji keampuhannya.

Keputusan untuk menerapkan PSBB ketat dan PSBM adalah jalan tengah yang di ambil pemerintah, karena negara terus dituntut untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah. Namun dikhawatirkan penutupan wilayah akan berdampak hebat terhadap roda perekonomian. Maka pilihan PSBB ketat dan PSBM diambil sebagai langkah yang tepat. Dalam sistem kapitalisme, demi alasan ekonomi apapun akan ditempuh. Sebab hal ini merupakan nafas pergerakannya.

PSBB ketat dan PSBM dinilai lebih ampuh dari social distancing, physical distancing, dan darurat sipil yang sifatnya hanya imbauan. Sebab wilayah yang menerapkan PSBB yang ketat dan PSBM bisa menggunakan aparat kepolisian dan militer untuk membatasi kegiatan sosial kemasyarakatan. Pelanggarannya pun dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berupa kurungan penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.

Kendatipun demikian, apakah pilihan menerapkan PSBB yang ketat maupun PSBM lebih ampuh dalam menghambat penyebaran Covid-19?  Walhasil, aturan PSBB sendiri memiliki cela yaitu tidak mengatur pembatasan pergerakan keluar masuk manusia ke dalam suatu wilayah seperti halnya karantina wilayah. Pergerakan masa begitu ketat dijaga  bahkan polisi dapat membubarkan kerumunan orang dalam PP No 21/2020 tentang PSBB. Namun, tidak didapati aturan yang mengatur pergerakan orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia. Juga tidak adanya jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Sehingga memaksa rakyat untuk tetap keluar rumah untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup.

Sepintas, PSBB yang ketat, PSBM, dan karantina wilayah hampir sama dalam pelaksanaannya. Namun di dalam PSBB yang ketat dan PSBM kebutuhan dasar rakyat tidaklah ditanggung oleh negara. Padahal saat ini kehadiran negara sangatlah dibutuhkan masyarakat. Ada hampir 10% dari total penduduk yang merupakan penduduk miskin di Indonesia dan world bank mencatat ada 45% (115 juta) orang yang terancam kembali miskin di negeri ini. Terlebih saat pandemi sekarang ini. Maka sesuatu yang wajar, jika mereka harus keluar dari rumah untuk mencari rezeki. Tren ini semakin memperlambat penghentian penyebaran virus.

Selama sistem kapitalisme sekularisme masih diemban  sepanjang itu pula tidak akan ditemukan solusi yang tepat. Karena paham ini mengedepankan kemanfaatan, bukan kemaslahatan umat. Lalu, cara apa yang harus ditempuh?

Islam memiliki seperangkat solusi yang lengkap dalam mengatasi wabah. Islam selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap. Semua hal diaturnya termasuk cara mengatur pembatasan sosial di kala wabah.

Islam memandang nyawa manusia begitu berharga hingga dijaga kebutuhannya, bahkan kehidupannya dilindungi. Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Islam mengatur semua hal dan memberikan solusi atas segenap persoalan. Islam membangun ide karantina wilayah untuk mengatur pembatasan pergerakan masyarakat dalam mengatasi wabah penyakit menular. Ini dilakukan untuk memutus rantai sebaran wabah.

Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, Rasulullah saw. menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda:
“Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta”. (HR al-Bukhari)

Hal ini menunjukkan bahwa, metode karantina wilayah diterapkan Rasulullah saw. untuk mengatur pembatasan sosial masyarakat dalam mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasulullah saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terinfeksi wabah.

Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah saw. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa”. (HR al-Bukhari)

Rasulullah saw. juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda:
“Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu”. (HR al-Bukhari)

Bahkan di masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan:
Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu”. (HR al-Bukhari)

Dalam sistem Islam wilayah yang terinfeksi wabah diisolasi agar tidak menyebar ke berbagai wilayah. Wilayah yang tidak terinfeksi tetap menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya, menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Wilayah yang terinfeksi semua penduduknya dipenuhi segala kebutuhannya.

Dalam Islam, pemimpin juga mempunyai peran sentral untuk menjaga kesehatan warganya. Apatah lagi saat terjadi wabah penyakit menular seperti saat ini. Rakyat sangat membutuhkan perlindungan optimal dari penguasanya.

Rasulullah saw. bersabda:
اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya".(HR al-Bukhari)

Demikianlah, Islam mengatur pembatasan sosial di kala wabah dengan menerapkan ide karantina wilayah. Agar masyarakat tidak bebas keluar dan masuk ke wilayah yang terinfeksi wabah. Wilayah yang  dikarantina semua kebutuhan penduduknya dipenuhi oleh negara. Perangkat pemerintah yang bertugas menjalankan amanah atas dorongan iman kepada Allah Swt.

Islam sangat menjaga nyawa manusia,
Rasulullah saw. bersabda:
"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. Masak 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani)

Patutlah kita renungkan firman Allah SWT.:
"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (TQS.Al-Ma'idah : 32)

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak