Oleh : Finadefisa (Komunitas Annisaa Ganesha)
Niat untuk menaikkan konsumsi masyarakat selama penurunan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan menaikkan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 membuat pemerintah memberikan bantuan untuk pegawai swasta sebesar Rp600 ribu/bulan yang akan cair dua bulan sekali selama September hingga Desember 2020. Bantuan ini khusus untuk pegawai yang mengikuti iuran BPJS Ketenagakerjaan senilai Rp150 ribu/bulan atau setara dengan pegawai bergaji di bawah Rp5 juta/bulan (finance.detik.com, 7/8/20).
Tetapi sayangnya peraturan ini dinilai tidak adil. Titi Purwaningsih, Ketum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia, protes karena jika dituntut untuk mengangkat PPPK, pemerintah berdalih tidak ada uang, padahal mereka lebih membutuhkan dibandingkan pegawai. "Heran saya, kalau mau angkat PPPK bilang enggak ada duit. Kenapa sekarang malah mau gelontorkan Rp31 triliun untuk bansos bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta. Lah terus kami ini dianggap apa sih," ketusnya (jpnn.com, 7/8/20).
Selain itu, bantuan ini dinilai salah sasaran. Karena batas Rp5 juta dinilai terlalu tinggi karena menurut BPS upah buruh saja rata-rata Rp2,92 juta. Sehingga pegawai dengan gaji dalam rentang tersebut dinilai masih aman selama tidak di PHK. Justru mereka akan menggunakan uang bantuan tersebut untuk dana simpanan karena mereka sendiri masih mampu untuk mendanai kebutuhan-kebutuhannya.
Sebaliknya, masyarakat yang paling membutuhkan adalah mereka yang bergaji di bawah Rp2,92 juta dan juga pekerja-pekerja informal yang tidak tercatat dalam data BPJS Ketenagakerjaan (tirto.id, 9/8/20). Tentu ini menimbulkan kesenjangan sosial baru. Sehingga target meningkatkan konsumsi hanya menjadi khayalan. Bahkan, angka kemiskinan bisa semakin bertambah walaupun perekonomian tumbuh.
Selain itu standar GDP yang digunakan tidak tepat jika digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya nilai pada GDP hanyalah nilai rata-rata. Sedangkan dalam system kapitalis, terdapat segelintir orang yang kekayaannya senilai kekayaan mayoritas rakyat yang membuat nilai rata-rata itu sebagai anomaly. Karena bias jadi nilai rata-ratanya tinggi tapi fakta di lapangan adalah banyak sekali masyarakat yang miskin.
Inilah wujud pemerintahan kapitalistik yang hanya mengutamakan penyelamatan ekonomi segelintir orang dan mengorbankan hidup mayoritas masyarakat apalagi di masa susah pandemic sekarang ini. Pemerintah gencar-gencaran mengejar angka-angka agar pertumbuhan ekonomi kuartal III tidak turun agar tidak disebut resesi secara teknis. Karena pertumbuhan ekonomi kuartal II sudah turun dibawah lima persen dan terburuk sejak 1999. Padahal Allah telah memuliakan nyawa seorang muslim sehingga tidak pantas baginya mati tanpa hak sekedar untuk penyelamatan ekonomi elit kapitalis. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).