Oleh : Pita U. Faqih
(Pemerhati Sosial)
Kota Kendari Bertakwa. Begitulah jargon khas jantung Provinsi Sulawesi Tenggara. Miris, ditengah jargon yang begitu religius. Menyimpan fakta yang kontradiksi dari nilai agama. Pasalnya, di sudut kota kendari atau dikenal dengan nama Kebi (Kendari Beach). Tak hanya dikenal dengan wisata kuliner pisang epeknya. Tapi juga sebagai tempat mangkal para penjaja diri.
Bisnis Prostitusi bukan hal baru. Bukan Rahasia. Pasca new normal bisnis esek-esek ini kembali merajalela. Sebagaimana dilaporkan oleh telisik.id bahwa melalui penulusurannya. Berdasarkan informasi dari narasumber yang berhasil diwawancarai.
Terkuak fakta mengejutkan bahwa bisnis haram ini kian menjamur meski dalam masa pandemi.
Mencengangkannya, pelaku penjaja diri ini ada dari kalangan mahasiswa. Biaya kuliah menjadi alasannya. Aktivitas terlarang ini tersebar di berbagai titik area kebi. Pelanggannya pun ada dari kalangan mahasiswa dengan tarif Rp.500 ribu hingga Rp. 1 juta (telisik.id, 23/08/202).
Bisnis Prostitusi, Produk Sekulerisasi
Fakta bisnis prostitusi ini tak hanya di level kota saja. Meski dianggap amoral. Bisnis ini tak pernah mati. Havocscope menghitung pendapatan prostitusi dunia. Ada sejumlah negara yang masuk dalam daftar tertinggi dalam bisnis ini. Indonesia masuk dalam daftar. Tepatnya berada di urutan ke-12 Setelah Turki dan Swis dengan nilai bisnis mencapai 2,25 miliar dolar AS (liputan6.com, 29/07/2019).
Jika mencermati penyebab dari merebaknya bisnis haram. Karena pemikiran dan perasaan yang telah melekat dengan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Meskipun agama jelas melarang. Bisnis ini tetap melenggang. Sekularisme lalu melahirkan paham liberalisme.
Liberalisme atau paham tentang kebebasan telah menjadi bagian dari kehidupan. Maka tak jarang bisnis prostitusi dilakukan bukan sekedar memenuhi kebutuhan. Melainkan menjadi gaya hidup. Bukan karena tak mengenal dosa. Melainkan tak takut dosa. Dalam prinsip liberalisme, kebebasan adalah hak mutlak yang tak boleh dikekang. Agama dipandang sebagai hal spiritual semata. Tak boleh turut campur dalam perkara duniawi.
Demokrasi yang menjunjung kebebasan dan tidak menjadikan halal-haram sebagai standar kebijakan. Turut mengaminkan eksistensi bisnis prostitusi. Sehingga langkah yang ditempuh pun jauh panggang dari api. Misalnya memberikan edukasi mengenai penyuluhan kesehatan reproduksi yang aman. Bukannya hal ini bisa mengindikasikan adanya dukungann terhadap perilaku seks bebas. Bukannya memberantas. Justru memfasilitasinya. Seolah mengaminkan kebolehan seks bebas asalkan aman. Agar terhindar dari resiko kehamilan maupun penyakit menular seksual. Sungguh demokrasi takkan bisa menyelesaikan persoalan ini.
Islam Berantas Tuntas Prostitusi
Islam hadir sebagai solusi atas berbagai problematika. Termasuk memberantas tuntas praktik perzinaan. Islam memandang perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Wajib dilindungi dengan menutup aurat, tidak berkhalwat apalagi melakukan perbuatan yang merendahkan martabatnya. Maka tindak asusila yang dikomersialisasi jelas terlarang.
Dalam ranah keluarga. Orang tua wajib mendidik anak hingga kokoh akidahnya. Memiliki kepribadian Islam yang kuat. Yakni tak hanya pola pikir melainkan pola sikap yang sesuai dengan syariat-Nya. Maka terwujudlah generasi rabbani.
Demikian pula masyarakat harusnya memiliki peran aktif dalam beramar ma'ruf nahi mungkar (Menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Ketakwaan masyarakat adalah hal yang penting untuk mencegah praktik prostitusi.
Negara wajib menutup segala akses yang dapat berpeluang akan terjadinya kemaksiatan. Perempuan diwajibkan menutup aurat dan menjaga dirinya. Sehingga terhindar dari pintu menuju perzinahan. Negara pun semestinya memberikan jaminan kesejahteraan bagi warga negaranya. Sehingga tak ada alasan menjajakan diri sebagai mata pencaharian. Islam tidak membenarkannya. Jelas praktik ini akan diberantas sampai ke akarnya.
Wallahu a'lamu bisshowab