Oleh : Siti Saodah, S.Kom (Aktivis Generasi Peradaban Islam)
Pandemi telah berlangsung lama, para siswa sudah mulai kebosanan. Sekolah yang diadakan melalui pembelajaran jarak jauh dirasa tak cukup memuaskan para siswa. Pasalnya hal tersebut berlangsung cukup lama hingga menimbulkan kejenuhan. Bukan hanya siswa yang semakin jenuh namun para orang tua yang menemani belajar di rumah pun sudah mulai kewalahan.
Bukan hanya waktu yang menyita orang tua siswa untuk menemani belajar anaknya dirumah namun kuota internet pun dirasa cukup memberatkan. Belajar secara jarak jauh diterapkan sejak terjadinya pandemi di negeri ini. Namun sayangnya tidak semua siswa dapat merasakan kemudahan belajar di rumah dikarenakan sebagian siswa yang tak mampu tak memiliki handphone. Hal ini dirasa memberatkan orang tua siswa yang tak memiliki handphone, maka mau tak mau mereka pun ada yang meminjam atau pun menyewa handphone demi memenuhi belajar anak melalui pembelajaran jarak jauh.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyebutkan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk membiayai kuota internet bagi para guru dan siswa untuk memenuhi pembelajaran jarak jauh (www.tribunnews.com). Harapannya dengan penggunaan dana BOS tersebut dapat meringankan beban para orang tua siswa dan guru. Namun disamping pernyataan tersebut Nadiem juga akan meluncurkan kurikulum darurat di masa covid-19. Kurikulum tersebut akan digarap cepat demi memudahkan para guru memberikan penilaian pada siswa di masa pandemi saat ini.
Bahkan baru ini Mendikbud juga sudah mengumumkan untuk membuka pembelajaran tatap muka di semua zona. Jelas saja pernyataannya menuai kritikan dari KPAI. Seperti dilansir dari www.tribunnews.com Arist Sirait menilai bahwa keputusan Mendikbud tersebut belum tepat waktunya mengingat risiko tertular masih ada, apalagi yang berada di zona kuning. Bahkan siapa yang akan menjamin ini ? Pertimbangannya adalah dunia anak adalah dunia bermain, tegasnya di acara kabar siang.
Meskipun kebijakan Mendikbud terkait pembelajaran tatap muka sudah dilaksanakan namun hal tersebut masih menuai kontra. Orang tua siswa yang hidup di zona merah dan kuning merasa khawatir dengan dibukanya pembelajaran tatap muka. Tak ada yang dapat menjamin bahwa covid-19 tak menular ke para siswa. Dikhawatirkan sekolah akan menjadi kluster baru penyebaran covid-19.
Kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang mulai sekolah tatap muka disebabkan lambatnya pemerintah dalam penanganan wabah tersebut. Pemerintah seakan menjadikan masyarakat korban wabah. Bahkan vaksin yang digadangkan akan segera rilis hal itu hanya sebatas percobaan kepada masyarakat oleh negara pembuat vaksin. Wajar saja jika tingkat kepercayaan masyarakat kian turun kepada pemerintah.
Pembelajaran tatap muka menjadi dilema bagi orang tua siswa. Walaupun sekolah sudah menerapkan protokol kesehatan ketat namun hal itu tetap menjadi momok menakutkan bagi orang tua. Pemerintah hanya memberikan aturan saja bagi sekolah yang akan melakukan pembelajaran tatap muka tapi tidak memberikan aturan detail dan jelas bagi para guru dan sekolahnya. Hal itu justru semakin menambah kebingungan para guru dan pihak sekolah.
Wajar saja jika sekolah dibiarkan mengurus sendiri dalam penerapan protokol kesehatan. Pemerintah dalam hal ini hanya sebagai regulator saja. Hal ini terjadi pada negara yang abai pada hajat hidup orang banyak. Mereka hanya mementingkan urusan negaranya saja namun rakyat dibiarkan memilih sendiri di masa wabah saat ini.
Solusi yang ditawarkan pemerintah melalui Kemendikbud dianggap terburu – buru. Pasalnya wabah ini belum berakhir bahkan muncul kluster – kluster baru penularan covid-19. Bahkan dikhawatirkan ketika sekolah dibuka untuk pembelajaran tatap muka ini akan menjadi kluster baru penyebaran covid-19. Jika hal ini terjadi maka angka kasus covid-19 akan merangkak naik.
Dampak dari covid-19 bukan hanya dunia pendidikan saja tapi sektor lain pun ikut terdampak. Maka masalah ini sudah sistematis butuh penanganan cepat dari pemerintah. Pemerintah tak boleh lagi santai dan menganggap remeh kasus covid-19 sebelum generasi muda menjadi korban dari wabah tersebut.
Penanganan yang lambat dari pemerintah yang hanya mementingkan untung rugi dari dampak wabah tersebut jelas sangat menyakitkan masyarakat. Ini adalah wajah buruk dari sistem kapitalis. Wajar saja jika ia hanya mementingkan kepentingan sekelompok orang. Mereka yang memiliki modal besar tidak mau lama – lama mengalami dampak wabah sehingga mereka pun berupaya mendorong pemerintah untuk membuka sektor usaha mereka.
Berbeda sekali dengan sistem islam yang ia akan mendahulukan kepentingan hajat hidup orang banyak. Ia akan mengesampingkan kepentingan kelompok apalagi korporasi. Sistem islam akan melakukan penanganan cepat terhadap wabah yang terjadi. Mereka para guru dan siswa yang mengalami dampak akan diberikan prioritas utama untuk kebutuhan pembelajaran jarak jauh. Bahkan negara akan memberikan jaminan gratis terhadap kebutuhan kuota internet. Dananya dapat diambil dari kas baitul mal negara. Karena islam akan sangat memuliakan para penuntut ilmu. Hal ini dapat terwujud hanya jika sistem islam diterapkan secara menyeluruh.
Waallahualam bisshowab