Oleh: Melitasari
Tidak hanya memporak-porandakan seluruh tatanan kehidupan, pandemi Covid-19 rupanya juga telah mengguncang benteng pertahanan keluarga di Indonesia, tidak terkecuali di Kota Majalengka Jawa Barat. Setelah maraknya pernikahan dini di tengah Pandemi, kini perceraian pun marak terjadi karena adanya faktor ekonomi.
Panitera PA Majalengka Harun Al Rasyid mengatakan, Pengadilan Agama kelas 1A Majalengka mencatat, hingga Agustus 2020 ini tercatat sebanyak 3.168 perkara perceraian yang diajukan oleh pasangan suami istri. Rata-rata sekira 400 pasutri di Kabupaten Majalengka bercerai setiap bulan. Khusus untuk Agustus 2020, perkara perceraian yang diterima PA sebangak 269.
"Tahun ini sebanyak 3.168 perkara (perceraian diajukan oleh pasutri). Yang telah diputus hingga Juli 2020 kemarin, 3.052 perkara. Faktor ekonomi juga menjadi faktor pemicu paling banyak pasutri di Kabupaten Majalengka memutuskan bercerai. Sedangkan dari segi usia, didominasi oleh pasutri di bawah 30 tahun." Sindonews.com, Rabu (26/8/2020).
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai dan kurang sigapnya penanganan pemerintah sedari awal hingga saat ini telah membuat banyak kepala keluarga kehilangan pekerjaannya. Para pekerja yang berstatus sebagai karyawan harus mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga mempertinggi tingkat pengangguran di negeri ini.
Kebutuhan keluarga yang semakin meningkat, harga bahan pokok yang kian melambung dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan untuk laki-laki membuat para istri harus berperan ganda selain menjadi seorang ibu rumah tangga mereka juga harus rela menjadi pencari nafkah untuk keluarga.
Mau tidak mau kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu perlahan terabaikan. Tuntutan dan kerasnya dunia kerja tak jarang membuat pribadinya yang lembut menjadi kasar dan tegas. Memiliki pendapatan sendiri juga kerap kali membuat mereka tinggi hati, akhirnya tak bisa menghormati suami sendiri. Bahkan kebanyakan dari mereka mengakhirinya dengan perceraian sebab tak tahan dengan keadaan.
Meski perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam hukum syara, namun kedudukannya sangat dibenci oleh Allah Ta'ala. Diperbolehkan bukan berarti bisa seenaknya mempermainkan rumah tangga yang jika tidak cocok bercerai saja. Namun pembolehannya untuk sesuatu hal yang juga sudah diatur berdasarkan yang seharusnya.
Namun sayangnya di zaman sekarang perceraian dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, bahkan sebagian besar kasus gugatan cerai diajukan oleh para istri. Padahal Allah mengecam perempuan yang meminta talak pada suami tanpa alasan syar'i dengan tidak mengizinkannya mencium baunya syurga.
Kendati demikian banyaknya kasus perceraian yang terjadi bukanlah semata-mata karena kesalahan pasangan suami istri saja. Namun negara juga ikut andil dalam upaya menjaga keutuhan keluarga. Seharusnya pemerintah tidak menjadikan pengadilan agama sebagai sarana untuk mempermudah proses perceraian, melainkan dijadikan sebagai pihak mediasi dan bimbingam suami istri agar memahami tugas dan kewajiban masing-masing.
Salah satu kewajiban suami adalah memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini negara berperan penting untuk menyediakan peluang pekerjaan yang akan dengan mudah didapatkan bagi mayoritas laki-laki. Sehingga pekerjaan yang saat ini didominasi oleh kaum perempuan kembali ke tangan yang seharusnya mengais rezeki. Sedangkan seorang istri akan bertanggung jawab dalam mengurus pekerjaan di rumah serta anak dan suaminya.
Negara juga akan menjamin kebutuhan dasar masyarakat seperti seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang baik serta bahan pangan yang cukup dan harga-harga pokok yang terjangkau sehingga kebutuhan keluarga terpenuhi, ketahanan keluarga pun tak kan mudah digoyahkan oleh Pandemi.
Namun semua itu tidak akan terwujud tanpa institusi yang menerapkan hukum syara di atas segalanya. Mengerti akan fungsinya sebagai pelayan rakyat dan penyejahtera umat. Semua hanya bisa diterapkan oleh negara yang menganut sistem Islam sebagai landasannya WaLlahu 'Alam Bishowab.
Tags
Opini