Oleh Sari Indarwati
Setiap negara tentu memiliki dasar hukum untuk di jadikan landasan dalam menerapkan berbagai aturan terhadap masyarakatnya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama jika Indonesia memiliki dasar negara, yaitu Pancasila.
Pengertian hukum secara umum adalah seluruh aturan tingkah laku berupa kaidah/norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan menciptakan tata tertib dimasyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Dalam pengertian lain, hukum adalah sebuah aturan norma-norma yang berisikan petunjuk mengenai mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum berkaitan dengan keadilan, kewibawaan ketaatan dan aturan norma-norma dalam kehidupan. Hukum berfungsi untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan.Tentu hal ini berkesesuaian, dengan menerapkan hukum bagi setiap warna negara Indonesia yang melanggar peraturan agar dapat ditindak sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan.
Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan adanya pemberitaan mengenai seorang buronan yang bisa leluasa membuat E-KTP di Indonesia padahal status yang bersangkutan sedang menjadi buronan setelah ditetapkan oleh MA pada juni 2009. Walaupun kenyataannya, pelaku melarikan diri sehari sebelum ditetapkannya putusan MA.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Djoko Tjandra tidak melakukan aksi pelarian ini sendirian, banyak sekali oknum-oknum yang terlibat. Terlebih lagi, mereka adalah aparat penegak hukum di negeri ini. Salah satu diantaranya adalah Brigjend Pol Prasetijo Utomo yang memuluskan jalan pelarian Djoko Tjandra dengan membantu menerbitkan surat jalan dan turut berperan dalam penerbitan surat kesehatan.
Hal ini membuktikan, betapa lemahnya penegakan hukum di negara kita. Karna pelaku yang membantu meloloskan tersangka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh cukup kuat. Maka, patut diduga terdapat dugaan tindak pidana lain, seperti adanya dugaan tindakan suap. Mengingat kembali petinggi negara mau membantunya untuk melarikan diri tentu ada motif terselubung dibalik kasus ini.
Dilansir dari Kompas.com (31/7/2020), “dari hasil gelar perkara tersebut maka hari ini kami menetapkan status tersangka untuk BPJ PU,”. kata Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo di Gedung bareskrim, Jakarta Selatan, senin (27/7/2020). Selain dari itu, Brigjend Pol Prasetijo Utomo telah dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Barekrim Polri karna tindak pidana dan melanggar dispilin dan kode etik. Dalam kasus ini, ada dua Jendral Polri lainnya yang telah dimutasi karena diduga melanggar kode etik perihal polemik Red Notice untuk Djoko Tjandra. Yaitu Kepala Devisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesias Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo.
Kronologi kasus ini adalah dimulai ketika Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat, sebagaimana diberitakan Harian Kompas, 24 Februari 2000. Oktober 2008 Kejaksaan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Djoko Tjandra bersalah.
Kemudian, Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara. Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini
Kabar Djoko Tjandra kembali mengemuka setelah dia berupaya melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) sekitar Juni - Juli 2020 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan, Djoko diketahui sempat berada di Indonesia. Dia sempat membuat KTP elektronik dan paspor sehingga dapat mendaftarkan PK ke pengadilan. Setelah itu, Djoko kembali meninggalkan Indonesia. Terakhir, dia diketahui berada di Malaysia. Namun, akhirnya pada Kamis (30/7/2020) Djoko Tjandra berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia setelah menjadi buronan selama 11 tahun. (kompas.com, 01/08/2020)
Menangkap buronan selama 11 tahun tidak bisa dikatakan sebagai prestasi. Bahkan, membuktikan bobroknya penegakan hukum di negara ini. Bagaimana tidak, orang yang berstatus buronan dengan mudahnya bisa keluar masuk negeri ini tanpa diketahui oleh aparat hukum. Bukankah ketika masuk bandara saja akan di cek kelengkapan KTP, dll. Namun, lagi-lagi selama 11 tahun yang telah lewat Djoko Tjandara masih bisa melenggang bebas.
Hal ini seperti seakan mengulang sejarah koruptor, yang harusnya berstatus tahanan di dalam sel, tapi bisa jalan-jalan kemana hati senang. Jika menilik kembali ke beberapa tahun silam, maka kasus Gayus Tambunan pun hampir mirip dengan kasus Djoko Tjandra. Dimana mereka harusnya menjalani masa tahanan guna merenungi kesalahan yang sudah dilakukan tapi malah enak-enakan jalan-jalan seperti tidak tersandung kasus.
Lantas, akankah hal seperti ini akan berulang kembali?Mengingat masih saja ada oknum-oknum yang menyalahgunakan jabatannya untuk melindungi para koruptor ataupun narapidana lainnya. Kejadian ini membuktikan jika lemahnya hukum yang sedang diterapkan di negeri ini. Sehingga hukumpun bisa diperjualbelikan, tergantung harta, dan relasi.
Jika kita sandingkankan dengan kasus kasus pencurian satu tandan pisang yang terjadi di Sumutra Utara. Bahkan harga pisangnya pun hanya mencapai Rp.150.000,- tapi harus mendapatkan vonis 7 tahun oleh Pengadilan Negeri Pematangsiantar.Dilansir dari islam today 1D (13/03/2020).Maka, ketidakadilan sangat jelas terlihat jika kita sandingkan dengan kasus Djokko Tjandra yang merugikan Negara sebesar Rp. 940 Miliar.
Lantas, bagaimanakah Islam menyelesaikan permasalahan ini? Dalam Islam tindakan pencurian ataupun korupsi akan ditindak tegas. Sangsi yang diberikan pun adalah sangsi yang akan memberikan efek jera terhadap pelaku, seperti hudud ( potong tangan). Sebagaimana T.Q.S Al-Maidah ayat 38, yang berbunyi ” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai sikasaan dari Allah”.
Lantas apakah hukuman bagi pencuri pisang dan Djoko Tjandra akan sama? Jawabannya adalah tidak. Dalam Islam, sebelum melaksanakan hudud, tentu ada beberapa hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu. Seperti, berapa nominal nilai yang dicuri sehingga hukum hudud bisa dilaksanakan. Batas nominal nilai dari pelaksanaan hukum hudud adala ¼ dinar emas atau tiga dirham perak.
Dilansir dari wikipedia, satu dirham setara dengan 3,11Gr emas. Maka jika tiga dirham adalah 3,11 X 3 = 9,33 Gr emas. 1Gr emas setara dengan Rp. 1.065.000,-. Jika dikonversikan kedalam nilai rupiah 9.33Gr X Rp. 1.065.000 = Rp. 9.936.450,-.
Maka pencuri pisang tidak perlu menjalani sangsi hudud, karna tidak memenuhi standar dalam pelaksanaan hukum hudud. Bahkan, seharusnya para penguasa perlu mempertanyakan, kenapa dia bisa mencuri pisang satu tandan? Jika dia mencuri karna kelaparan. Maka, yang jadi pertanyaan adalah kenapa penguasa bisa membiarkan warganya sampai ada yang kelaparan?
Selain itu, hukum hudud bisa memberikan efek jera kepada si pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Tidak seperti hari ini, dimana kita bisa melihat sangat banyak para kriminal yang melakukan kesalahan berulang-ulang. Hal ini dikarenakan hukuman yang diberikan tidak memberikan efek jera bahkan ketika para pencuri saling berkumpul didalam sel, yang ada mereka akan saling bertukar pengalaman dan semakin kreatif dalam menjalankan aksinya. Sungguh miris keadaan hariini
Lantas, masih kah kita mempertahankan sistem yang seperti ini? Sudah saatnya kita kembali kepada hukum buatan Allah yang mana sudah jelas memberikan kesejahteraan. Tidak hanya untuk umat muslim tapi juga non muslim. Wallahu’alam.