Oleh : Tri Cahya Arisnawati
Pemerintah masih disibukkan dengan Covid-19 yang laju penyebarannya masih tak terkendali, bahkan tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya. Usaha untuk menekan laju penyebarannya pun terus digalakkan, pemerintah sedang gencar melakukan uji coba vaksin. Dengan menggandeng perusahaan farmasi asal Tiongkok, diharapkan dengan kerja sama ini bisa Mendapatkan vaksin yang mampu menghentikan atau minimal bisa meminimalisir laju penyebaran Covid-19, sehingga bisa mengurangi paparannya.
Namun, uji vaksin ini tidak serta merta mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Kerja sama perusahaan farmasi Indonesia yakni Bio Farma dengan perusahaan farmasi asal Tiongkok yakni Sinovac, telah menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Status kehalalan vaksin ini menjadi pertanyaan besar masyarakat, sebab sebagai negara dengan mayoritas muslim, tentu saja kehalalan menjadi prioritas utama dalam mengkonsumsi sesuatu, termasuk vaksin. Masyarakat berharap pemerintah tidak gegabah dalam menerima vaksin yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Oleh karena itu, untuk memastikan kehalalal vaksin ini, MUI akan mengawal jalannya uji vaksin agar terjamin kehalalannya.
Viva.co.id - Direktur Lembaga Pengkajian pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim, kepada DW Indonesia, mengatakan pihaknya terus mendorong proses pengembangan vaksin corona di Indonesia.
Lukman menyampaikan bahwasannya MUI saat ini juga turut terlibat dalam uji klinis tahap tiga vaksin corona buatan Sinovac. Ia menekankan bahwa MUI akan mengawal proses uji klinis tersebut, sehingga jika vaksin sudah siap masuk ke tahap pendistribusian, MUI sudah bisa mengeluarkan fatwa atas vaksin tersebut.
Sebelumnya, anggota Satuan Tugas Lawan COVID-19 DPR RI Habiburokhman menekankan perlu adanya jaminan halal vaksin corona buatan Sinovac. Ia pun memninta agar pemerintah melibatkan MUI dalam pengembangan vaksin corona tersebut.
"Kita harus cek semuanya, termasuk kehalalannya, saya pikir MUI bisa dilibatkan. Karena merekalah yang paham soal halal atau haramnya, dan itu standar semua jenis obat. Jadi MUI memang bisa dilibatkan dalam pengujian vaksin ini,” ujar Habiburokhman yang merupakan politisi Partai Gerindra ini dikutip dari Republika.co.id, Kamis (22/07)
Tak hanya sampai disitu, persoalan kehalalan yang belum pasti, ditambah dengan masalah keamanan vaksin pun menjadi taruhan. Pasalnya negara tirai bambu tersebut, pernah terlibat skandal vaksin virus pada tahun 2018 silam. Investigasi yang dilansir dari South China Morning Post menemukan perusahaan vaksin terkemuka, Changchun Changsheng Biotechnology telah dengan sengaja membuat produk vaksin yang kedaluwarsa. Tidak hanya itu, mereka juga melaporkan hasil yang difabrikasi mengenai pembuatan vaksin rabies pada tahun 2018 silam. Pimpinan perusahaan dan 14 pegawainya ditangkap, Termasuk dari para aparatur negara adalah empat dari Balai Makanan dan Obat China.
Yang sulit dipercaya adalah, mantan pimpinan Balai Makanan dan Obat China tersebut adalah salah satu yang terlibat dalam skandal tersebut. Skandal ini telah menghilangkan kepercayaan rakyat China terhadap pemerintahnya, ilmuwan Broniatowski menyebut meski Covid-19 tidak ada saat skandal tersebut terjadi, tetapi kemungkinan vaksin Covid-19 tidak dipercaya oleh warga China masih sangat tinggi sampai saat ini.
Walaupun berbeda perusahaan, namun kedua perusahaan tersebut berasal dari negara yang sama yaitu Tiongkok, di negara asalnya sendiri pun, warganya masih enggan menerima vaksin buatan negaranya sendiri. Mereka tidak memandang lagi, dari perusahaan mana vaksin tersebut berasal. Jika warga Tiingkok saja enggan menerima vaksin yang dibuat oleh negaranya sendiri, karena alasan keamanan.
Lantas kenapa pemerintah Indonesia malah nekat coba-coba menggunakan vaksin dari negeri tirai bambu tersebut? Apakah ingin menjadikan rakyatnya sebagai kelinci percobaan? Lagi-lagi keselamatan dan nyawa rakyat dipertaruhkan. Sudah benarkah langkah pemerintah Indonesia menggandeng China sebagai partner dalam pembuatan vaksin? Bila ditinjau lebih mendalam, apakah berpengaruh pada stabilitas kedaulatan negara?
Kedaulatan Negara Tergadai
China atau Tiongkok menempati posisi yang istimewa di hati para penguasa, di rezim saat ini ketergantungan terhadap China sangat terlihat jelas, terutama dalam sektor perekonomian. Dan pandemi Covid-19 semakin mempertegas ketergantungan Indonesia terhadap China. Hal ini pernah diungkapkan oleh Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menyebutkan bahwa pandemi virus corona semakin mempertegas ketergantungan Indonesia terhadap China.
Ketergantungan ini ternyata berbuntut panjang, ketika perekonomian China melemah akibat terpaan pandemi Covid-19 hal ini sangat berdampak pada ikut melemahnya perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk setelah pandemi. Sebab Indonesia begitu menggantungkan perekonomiannya melalui impor bahan baku dari China. Dan kini, saat Indonesia semakin terpuruk, salah satu jalan yang dilalui oleh pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dengan cepat adalah pengadaan vaksin yang berasal dari China. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada China. Dari urusan perekonomian hingga kesehatan seperti pengadaan vaksin, Indonesia tak bisa lepas dari ketergantungan China.
Dominasi China yang begitu kuat tentu membawa efek pada kedaulatan negara, dalam sistem kapitalisme, hubungan bilateral antar negara tidaklah mulus begitu saja tanpa syarat. Apalagi, diketahui selama ini, China lah yang paling sering memberikan bantuan kepada Indonesia dalam hal pembangunan selama era Jokowi. Mulai dari pinjaman hutang, pengadaan transportasi, pembangunan bandara, jalan tol dan infrastruktur lainnya, China begitu mendominasi. Dalam sistem kapitalisme, tidak ada makan siang gratis (free lunch), segala bantuan dan hubungan kerja sama yang dilakukan tidaklah murni semata-mata untuk membantu, harus ada timbal balik yang dapat menguntungkan si pemberi hutang.
Fenomena menjamurnya TKA asal Tiongkok, banyaknya perusahaan domestik yang gulung tikar dan digantikan oleh perusahaan asing asal Tiongkok, menjamurnya produk asal Tiongkok hingga melemahkan produksi dalam negeri, yang tentu saja semua hal itu sangat berimbas pada perekonomian Indonesia. Ketergantungan Indonesia akan peran China dalam sektor perekonomian bagaikan candu yang terus membuat ketagihan, setiap permasalahan ekonomi yang mendera akan selalu menjadikan bantuan China sebagai solusi.
Dan hal ini terbukti, saat Covid-19 semakin melemahkan perekonomian Indonesia. Lagi-lagi, Indonesia menjadikan China sebagai solusi untuk memulihkan perekonomian. Ketergantungan Indonesia terhadap China, sudah sampai pada level yang mengkhawatirkan yaitu menggantungkan kesehatan dan keselamatan rakyatnya melalui vaksin dari China demi memulihkan perekonomian yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Hal ini akan menjadikan Indonesia tidak bisa menjadi negara yang mandiri dan berdaulat bila terus melakukan kerja sama, dan menggantungkan harapannya kepada negara lain. Apalagi negara tersebut, dikenal secara nyata permusuhannya terhadap islam dan kaum muslim (kafir harbi). Sebab pada hakikatnya, tidak akan pernah menguntungkan bila kaum muslim bekerja sama dengan negara kafir harbi, malah hal itu justru akan sangat berbahaya dan merugikan. Hal itu, juga akan melemahkan karena sarat dengan perjanjian yang cenderung menguntungkan pihak negara kafir harbi, syarat perjanjian kerja sama itulah yang dijadikan alat oleh mereka untuk mengendalikan kaum muslim, sehingga lama-kelamaan kaum muslim akan kehilangan kewibawaannya, karena kerap mau mengikuti arahan negara lain dalam hal pengaturan kehidupan rakyatnya, hingga bernegara. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
Islam Menjadikan Negara Berdaulat, Termasuk Urusan Vaksin
Dalam sistem kapitalisme, yang selalu menjadikan negara-negara kuat dan maju sebagai tempat bergantung negara yang lemah. Mereka hidup, berbudaya, berekonomi, hingga berpolitik menyandarkan pandangannya kepada negara-negara maju. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Dalam pengaturan negara dan rakyat selalu mengikuti arahan sang negara maju yakni China. Walaupun China masuk dalam daftar negara berkembang, namun kenyataannya secara kemajuan teknologi dan sains, China bisa dikatakan negara maju.
Dalam sistem islam yaitu khilafah, khilafah menjadikan aqidah islam sebagai asas dalam menjalani kehidupan. Khilafah menjadikan halal-haram sebagai tolak ukur perbuatan manusia, bukan manfaat ataupun untung rugi. Mencari keridhoan Allah sebagai tujuan utama dalam mengarungi kehidupan, baik itu kehidupan pribadi, sosial maupun bernegara. Sehingga, hal ini menjadikan segala peraturan maupun kebijakan yang dibuat oleh negara khilafah sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Termasuk dalam pengaturan urusan umat yang paling urgent yaitu kesehatan, dalam islam kesehatan merupakan kebutuhan primer rakyat, artinya kebutuhan rakyat akan kesehatan harus diutamakan dan dimudahkan bahkan digratiskan bagi rakyat. Namun, hal ini bukan berarti menjadikan negara islam tidak bisa mandiri dalam memberikan pelayanan dan fasilitas kesehatan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Justru negara islam sangat mandiri, tidak bergantung kepada negara lain.
Negara islam punya cara tersendiri untuk memberikan pelayanan dan fasilitas kesehatan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Pembiayaan kesehatan dalam khilafah diambil dari Baitul Maal, dana pemasukan Baitul Maal diperoleh dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah yang dimiliki oleh negara khilafah islamiyyah. Dalam pengelolaannya pun tidak diperbolehkan diserahkan kepada individu, swasta maupun negara asing. Hanya negara yang berkewajiban mengelolanya untuk kemudian disalurkan kepada rakyat secara gratis untuk memenuhi hak-hak mereka seperti kesehatan salah satunya. Hal inilah yang menjadikan negara islam mandiri dan berdaulat dalam segala aspek kehidupan, karena segala pembiayaan menggunakan potensi dalam negeri, bukan mengandalkan hutang.
Dana yang diperoleh ini juga digunakan oleh negara untuk melakukan penelitian terhadap suatu penyakit, apakah penyakit tersebut disebabkan oleh virus atau bakteri, sekaligus vaksin untuk menghentikan laju penyebaran penyakitnya. Jadi negara benar-benar mandiri tanpa ada dominasi asing ataupun aseng. Dan penelitian ini sangat didukung penuh oleh khalifah selaku penguasa.
Pada masa kekhilafahan Turki Ustmani, tepatnya pada abad 19. Ketika wabah Smallpox (cacar) melanda, telah menimbulkan pemahaman pada penguasa saat itu yakni khalifah, bahwa pentingnya untuk dilakukan vaksinasi pada seluruh anak-anak muslim dan non muslim. Maka, pada tahun 1846 khalifah segera memerintahkan untuk penyediaan pelayanan dan fasilitas kesehatan secara gratis kepada rakyatnya guna melakukan vaksinasi secara massal dengan menyitir fatwa ulama pencegahan penyakit dan bukti empiris yang menunjukkan proteksi dari kematian.
Namun, wabah smallpox kembali terjadi di tahun 1850 akibat banyaknya orang tua yang tidak menginokulasi anak-anak mereka. Sultan menyatakan bahwa tindakan para orang tua yang lalai mengantar anak-anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi telah melanggar syariat dan hak anak, padahal Sultan telah menyiapkan banyak sekali faskes dan juga dokter dan professional kesehatan lainnya (Demirci T, 2008). Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa Negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya. (http://helpsharia.com/2020/03/19/kebijakan-islam-dalam-menangani-wabah-penyakit/)
Sebelumnya, Lady Mary Wortley Montagu (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa ilmu vaksinasi ke Inggris untuk memerangi cacar ganas (smallpox). Namun Inggris perlu menunggu hampir setengah abad, sampai tahun 1796 Edward Jenner mencoba teknik itu dan menyatakan berhasil. Cacar ganas yang pernah membunuh puluhan juta manusia hingga awal abad-20, akhirnya benar-benar berhasil dimusnahkan di seluruh dunia dengan vaksinasi yang massif. Kasus cacar ganas terakhir tercatat tahun 1978. Akhirnya Jennerlah yang disebut dalam sejarah sebagai penemu vaksinasi, terutama vaksin cacar.
Gerakan anti-vaksinasi muncul di Inggris sejak hari pertama ilmu dari Daulah Khilafah ini diperkenalkan. Saat itu argumentasi agama (Kristen) juga digunakan. Hampir sama dengan argumentasi anti-vaksinasi yang sekarang kita dengar, seperti keraguan keamanannya, kehalalannya, sampai tuduhan adanya konspirasi untuk melemahkan suatu bangsa. Saat itu, di Inggris ada dugaan bahwa vaksinasi itu jangan-jangan tipu daya melemahkan Inggris yang lagi berhadapan dengan Khilafah Utsmani.
Sungguh luar biasa, justru umat muslim-lah yang menjadi cikal bakal ditemukannya vaksin, bukan hanya itu bahkan dalam menemukan vaksin tersebut sama sekali tidak ada peran negara asing yang ikut campur. Ini menandakan bahwa, betapa luar biasanya peradaban islam saat islam dijadikan sebagai sistem bernegara, hingga menjadikan negara tersebut berdaulat secara penuh.
Penguasanya-pun tidak terbersit dalam pikirannya tentang untung-rugi dalam memberikan vaksin kepada rakyatnya, apakah negara akan rugi atau untung?, sebab dalam negara khilafah kesehatan rakyat adalah prioritas utama yang harus didahulukan, masalah merosotnya ekonomi secara perlahan-lahan akan pulih bila rakyatnya sehat. Sebaliknya ekonomi yang merosot akan sulit pulih kembali bila rakyatnya banyak yang sakit.
Inilah islam, agama sekaligus mabda (ideologi), yang apabila diterapkan akan menjadikan negara mandiri dan berdaulat karena menjadikan hukum-hukum Sang Pencipta (Allah) sebagai rujukan. Islam telah menjadikan Allah sebagai tempat sandaran, sehingga hanya kepadaNya lah manusia bergantung dan memohon.
Wallahu 'alam