Oleh : Siti Fatimah
(Mahasiswi Universitas Indraprasta PGRI Jakarta)
“Kapan nikah?”. Sudah berapa banyak kalian mendapat pertanyaan sejuta umat tersebut?. Lalu bagaimana kalian menanggapinya? Sama sekali tidak gusar maupun terusik? Atau justru terpikirkan hingga makan tak berselera dan dini hari tidur pun masih terjaga?
Sebenarnya apa yang bisa kita dapatkan dengan melaksanakan pernikahan?. Mengingat begitu banyak orang-orang yang melontarkan pertanyaan tersebut kepada kita. Mari kita lihat definisi dari menikah itu sendiri, ialah ikatan perkawinan diantara dua insan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Satu hal yang menjadi perhatian utama adalah dipertemukannya kita dengan sang pelengkap hidup. Bahkan kehadirannya akan menyempurnakan setengah dari agama.
Namun apakah menjadi sebuah kesalahan apabila kita belum menikah sehingga dimanapun kita hadir di suatu tempat akan mendapatkan pertanyaan “kapan nikah” ?. Tentu bukan. Karena sejatinya menikah adalah ibadah. Kita beribadah melaksanakan satu kali sholat kurang lebih 10 menit. Ibadah puasa kita laksanakan 13 jam sehari selama satu bulan. Tetapi, menikah adalah ibadah yang paling lama,yaitu sampai akhir hayat kita akan hidup bersamanya. Berbahaya dan kacau balau jika menikah hanya karena sedang banyak yang nikah, sekedar ikut-ikutan atau tekanan dari omongan sekitar semata, termasuk omongan teman juga keluarga.
Ibadah terlama tidaklah mungkin dilakukan tanpa persiapan. Jasmani sehat, mental sudah ok, finansial bagus, berpikir dewasa, emosi stabil, belajar mengalah, saling menghargai, saling menginspirasi, rasa syukur yang berlimpah, mampu berkompromi untuk mencari jalan tengah merupakan sederet faktor yang wajib diperhatikan.
Menikah bukan pula perlombaan, siapa yang cepat dia yang menang, yang terlambat dia yang kalah. Melainkan bentuk dari partnership atau teamwork, bekerjasama agar bahtera rumah tangga selalu utuh. Maka apabila gagal kalahlah keduanya, bila berhasil menanglah keduanya. Bukan pula pelarian dari masalah, bukan menuntaskan tetapi justru akan menambah dan jauh lebih menguras tenaga.
Menjadi single bukan hal yang memalukan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan selama masa penantian, dimana akan sulit dilakukan apabila sudah menikah. Bahkan banyak yang ingin merasakan kembali masa singlenya karena kehidupan berrumahtangga ternyata tidak sesuai dengan harapan. Hal demikian bisa terjadi sebab mengesampingkan kesepakatan di awal yang menjadi penyesalan di akhir
Berekspektasi bahwa dengan menikah semuanya akan menjadi lebih indah boleh-boleh saja. Darimana ekspektasi itu hadir? Cerita-cerita teman dan media sosial? Tidakkah kita sadari bahwa sebagian besar yang di unggah hanya bagian terbaiknya saja, bagian paling sempurna, indah dan manis saja? Yakinlah bahwa setiap rumah tangga itu unik dan memiliki jenis permasalahannya masing-masing, dimana masalah-masalah yang hadir tidak mungkin mereka tumpahkan semua di media sosial. Dengan begitu, kurangilah ekspektasi yang berlebih.
Proses dalam mencari dan menemukan sosok pelengkap hati membutuhkan waktu. Adapun do’a agar didekatkan dan dipertemukan terdapat pada Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 74, yang berbunyi :
“rabbanā hab lanā min azwājinā wa żurriyyātinā qurrata a'yuniw waj'alnā lil-muttaqīna imāmā”
Artinya: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
Pilihlah pasangan dengan baik, mantapkan hati serta pantaskan diri. Carilah dia yang tulus dan akan setia menemani dalam masa-masa kesulitan, tidak hanya masa berjayanya saja. Serta menghasilkan generasi terbaik, tidak sekedar menghasilkan keturunan saja. Dengan demikian, tidak ada kata telat nikah maupun terlalu cepat nikah, sebab kita tidak akan menikah tepat waktu, melainkan akan menikah di waktu yang tepat.
Tags
Keluarga