Oleh: Ammy Amelia |
Pegiat Dakwah Literasi & Member Akademi Menulis Kreatif
Pandemi belum usai. Dan entah sampai kapan penyebarannya akan selesai. Alih-alih menghasilkan solusi, justru kurva korban terdampak tak kunjung melandai. Pandemi yang telah mengglobalisasi ini, sampai kapan harus terjadi?
Masih di tengah nuansa hari kemerdekaan. Nyatanya Indonesia masih belum mampu memerdekakan diri dari serangan pandemi. Rakyat masih terus menjadi korban. Tanpa adanya pihak yang mampu memperjuangkan.
Dalam sebuah pidato upacara peringatan Detik-detik Proklamasi di Lapangan Upakarti, Soreang, Kabupaten Bandung pada Senin, 17 Agustus 2020. Bupati Bandung, Dadang M. Naser, mengajak seluruh elemen masyarakat di Kabupaten Bandung untuk bersatu dan membiasakan hidup produktif di tengah pandemi Covid-19 ini.
"Saya mengajak seluruh elemen warga Kabupaten Bandung untuk sama-sama bergerak bersatu bagaimana kita membiasakan hidup produktif di dalam kondisi pandemi. Disaat persaingannya memperkuat perekonomian. Dimana beberapa negara juga ambruk ekonominya, maka Kabupaten Bandung harus terus bangkit", tegas sang bupati. (prfmnews.id, 17/08/2020)
Sebuah pidato yang menggugah. Syarat akan makna perjuangan melawan sengitnya ancaman wabah. Namun dibalik itu semua, siapakah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perjuangan melawan pandemi ini?
Ketika masyarakat dihimbau untuk tetap produktif dan berkolaborasi perangi Covid-19. Sejatinya secara struktural, harus ada andil pemerintah sebagai pemeran utama. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, wajib untuk menghadirkan solusi yang solutif. Bukan kebijakan plin-plan dan musiman seperti yang terjadi saat ini. Berbagai aturan dirumuskan. Namun tak lama kemudian, terjadi pula perombakan kebijakan. Faktanya, rakyatlah yang kembali menjadi korban.
Setelah beberapa kebijakan yang ditawarkan, tak sedikit masyarakat yang mengeluh atas penderitaan yang dirasakan terkait dampak pandemi Covid-19. Selain angka kematian yang terus meningkat, jumlah kemiskinan, kelaparan, kehilangan pekerjaan, perceraian, kejahatan bahkan gangguan kesehatan mental pun menjadi rentetan problematika di tengah pandemi yang kian merajalela.
Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini pemerintah belum mampu memberikan jawaban atas penderitaan masyarakat secara general. Adapun bantuan yang digelontorkan, nyatanya hanya sebagai solusi tambal sulam yang tidak mampu dijadikan pemecah masalah di tengah wabah.
Inilah pemerintahan khas kapitalisme. Sistem kapitalisme yang menjunjung tinggi asas manfaat, pada akhirnya hanya mampu menelurkan solusi yang tentunya hanya mendatangkan manfaat bagi diri dan kelompoknya.
Disamping itu, kurangnya sensibilitas pemerintah terhadap kondisi rakyat seolah menegaskan bahwa fungsi peri'ayahan penguasa hanya sebatas jargon yang menyejukkan mata. Padahal dalam faktanya, penanganan pandemi hanya berpihak pada para pemegang investisasi. Bukan untuk rakyat. Hal ini terlihat dari masifnya pemerintah yang lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi dibanding keselamatan jiwa rakyatnya.
Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan Islam. Islam memandang pandemi bukan sekadar bencana global, tetapi juga sebagai bagian dari ujian yang harus dihadapi dengan sikap sabar. Sabar disini bukan hanya berdiam diri. Namun disertai ikhtiar berdasarkan aturan syariat.
Seorang muslim dengan keyakinannya akan memegang teguh tonggak keimanan dengan menyadari bahwa ujian pandemi adalah ketetapan dari Allah Swt. Terjadi dengan iradah dan kekuasaan-Nya, yang semakin membuktikan betapa lemah dan terbatasnya seorang manusia. Pandemi yang saat ini sedang terjadi, seharusnya menyadarkan manusia bahwa tidak ada lagi alasan untuk menolak Islam sebagai aturan dalam kehidupan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara berperan sebagai pelaksana hukum syara yang dipimpin oleh pemimpin atas dasar takwa pada Sang Pencipta. Hadirnya ketakwaan sebagai elemen utama, akan mendorong seorang pemimpin untuk menghadirkan solusi di tengah pandemi berdasarkan kepada aturan Ilahi. Solusi yang syarat akan kemaslahatan umat, bukan solusi yang mengatasnamakan nilai materi. Nasib umat jelas lebih diutamakan daripada pertimbangan ekonomi yang mengacu pada kepentingan para kapitalis.
Negara menjalankan perannya sebagai peri'ayah umat yang hadir sebagai garda terdepan dalam setiap keadaan. Negara bertugas sebagai penanggung jawab urusan umat, sebagaimana tercantum dalam sabda Rasulullah Saw. yang artinya: "Seorang Imam (Khalifah) adalah raa’in sebagai (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
(HR. al-Bukhari)
Fungsi negara sebagai raa'in (pengurus rakyat) dan junnah (perisai) adalah implementasi dari penerapan Islam di dalam kehidupan. Kehidupan yang sejatinya diimpikan umat, terlebih saat kondisi pandemi yang kian hari kian menjerat. Sejatinya, hanya Islam lah satu-satunya solusi paripurna yang mampu mengatasi berbagai problematika menuju kehidupan nan mulia.
Wallahu'alam bishawab.