Oleh : Melitasari*
Pemberlakuan kembali belajar secara tatap muka oleh Kemendikbud Nadiem Makarim, menjadi angin segar untuk sebagian orang tua siswa yang sudah penat memberikan pengajaran pada anaknya selama Belajar Dari Rumah (BDR). Selain karena ketidaksamaan persepsi antara orang tua dan anak dalam pembelajaran, kendala jaringan dan kuota internet yang mahal juga menjadi alasan tidak tercapainya target pembelajaran dengan sistem daring. Oleh karena itu sekolah tatap muka menjadi tuntutan dan harapan banyak pihak.
Kendati demikian kebijakan pemerintah membolehkan sekolah untuk melakukan pembelajaran secara tatap muka dinilai sporadis, tidak terarah, dan memenuhi desakan publik tanpa diiringi persiapan memadai agar risiko bahaya bisa diminimalisir. Jika pun pemerintah menghimbau pihak sekolah dan seluruh siswa agar menerapkan protokol kesehatan selama pembelajaran, pada realitanya penyebaran virus tetap tak dapat dihindarkan. Terlebih jika sarana dan prasarana tidak mendukung.
Selain kebijkan pembolehan sekolah secara tatap muka, Menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) juga mengijinkan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai bantuan terhadap kuota internet siswa dan guru. Namun sifatnya hanya mengizinkan penggunaan dana tersebut untuk bantuan kuota bagi siswa dan guru selama menjalankan pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi Covid-19.
Pengamat pendidikan dari Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim menyebut sejumlah sekolah masih belum memberikan bantuan kuota internet dari dana BOS kepada siswa dan guru, karena ketakutan banyak sekolah menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana BOS. Menurut Ramli, sekolah sudah menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS). Di mana penetapannya harus atas persetujuan Dinas Pendidikan setempat. Di samping itu, Ramli mempertanyakan besaran dana BOS dari pemerintah untuk bisa disisihkan sebagai kuota internet para siswa.(Liputan6.com, 13/08)
Kebutuhan kuota internet untuk pembelajaran daring bukanlah satu-satunya kendala yang dialami guru dan siswa, namun jaringan yang tak tersedia dalam jangkauan luas juga merupakan persoalan yang belum mampu diatasi oleh pemerintah sampai saat ini. Pembangunan infrastruktur yang tidak merata di berbagai daerah/kota menjadikan ketimpangan antara masyarakat yang hidup di perkotaan dan masyarakat yang hidup di pedesaan, terutama wilayah-wilayah yang masih terisolir.
Pemukiman warga yang terisolir dan jauh dari jangkauan jaringan kerap kali kesulitan dalam memperoleh sinyal yang baik, sehingga mereka harus berusaha extra saat ingin mengikuti pembelajaran secara online. Lelah dengan keadaan membuat mereka tak tahan menghadapi segala hambatan. Akhirnya sekolah tatap muka kembali menjadi harapan meski mereka harus mempertaruhkan kesehatan.
Kebijakan pemerintah yang sering berubah-ubah tak mampu entaskan setiap masalah. Sejak Pandemi terjadi, para pemimpin negeri ini tidak dengan sigap menangani. Kebijakan yang ditandatangani (diputuskan) selalu mempertimbangkan asas untung rugi, dan memihak kepentingan korporasi. Sehingga akibat penanganan yang lamban munculah beragam persoalan.
Masyarakat kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Padahal pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi setiap individu yang harus tetap didapatkan walau dalam keadaan pandemi seperti saat ini. Semua fakta ini menunjukan lemahnya pemerintah sekuler mengatasi masalah pendidikan akibat tersanderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi dan tidak adanya jaminan pendidikan sebagai kebutuhan publik yang wajib dijamin penyelenggaraannya oleh negara.
Negara seharusnya berupaya keras dalam mewujudkannya. Baik dalam penyediaan akses jaringan dan internet yang luas dengan membangun infrastruktur-infrastuktur yang memadai di semua daerah, ataupun penyiapan protokol yang di setiap sekolah yang memungkinkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka. Sehingga masyarakat tetap dapat memperoleh hak pendidikannya.
*(Member Revowriter & KAM)
Tags
Opini