Oleh : Ummu Aqeela
Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar umat muslim di dunia. Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan ada sekitar 87,18% atau 207 juta jiwa dari total 238 juta jiwa penduduk beragama Islam. Kemudian pada 2020, penduduk muslim Indonesia diperkirakan akan mencapai 229,62 juta jiwa. Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi Indonesua bukanlah negara yang berasaskan Islam. Justru, Indonesia adalah sebuah negara sekuler demokratik, yang Islamnya hanya cukup meliputi lingkup peribadahan dan rukum islamnya saja tidak menyeluruh segala aspek.
Membincangkan Islam di Indonesia mau tidak mau harus terlebih dahulu membincang kapan dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Setelah itu kita mesti memahami bagaimana Islam bisa begitu masif tersebar di kepulauan Nusantara sampai-sampai saat ini Indonesia tercatat sebagai negara berpenduduk Muslim paling banyak di seluruh dunia. Memang ini masalah kuantitas, bukan kualitas keislaman. Namun, dari sisi Islam sebagai agama, kenyataan ini memperlihatkan betapa Islam telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah Indonesia. Bahkan, boleh dikatakan bahwa sejarah Indonesia (modern) adalah sejarah Islam.
Setiap peristiwa tentu akan menjadi sebuah momen dan sejarah bagi setiap orang. Namun, apakah hanya beberapa peristiwa yang bisa dianggap sebagai sejarah?. Dilansir dari situs University of Cambridge, sejarah adalah peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu dan dapat diketahui melalui peninggalan pada masa peristiwa terjadi. Sejarah juga sebagai bidang ilmu yang melakukan kajian secara teliti dan sistematis mengenai seluruh perkembangan proses perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat di masa lalu.
Seorang filsuf Romawi, Cicero, mengungkapkan bahwa barang siapa tidak mengenal sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil. Begitupun pendapat Sejarawan Sartono Kartodirdjo, barang siapa yang lupa sama sekali akan masa lampaunya dapat diibaratkan seperti mereka yang sakit jiwa. Mereka kehilangan identitasnya dan itu merupakan tanda bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Kelakuannya sudah tidak menentu dan terlepas dari norma-norma atau nilai-nilai hidup yang harusnya diterapkan. Segala peristiwa sejarah yang terjadi adalah sebuah perubahan atau kunci dalam kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi mempengaruhi kehidupan masa kini. Dan perubahan tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Indonesia juga memiliki sejarah masa lalu yang sangat panjang, mulai dari masa keemasan juga masa kelam dalam penjajahan. Namun akan ada upaya dilakukan untuk menghapus sejarah dan jejak peradaban itu, menjadi terkubur, kabur dan terselubung. Dengan berbagai macam alasan yang ada, dari alasan keagamaan, politis, komersial bahkan karena kepentingan yang lebih besar yaitu merubah sebuah peradaban demi sebuah tahta dan kekuasaan.
Berbicara tentang peradaban sangatlah menarik , karena ia menjadi bagian dari kehidupan umat manusia yang signifikan. Sejarah manusia penuh dengan berbagai peradaban yang silih berganti, tergantung para penguasa dan para pemimpin dunia saat itu. Mereka yang kuat akan menentukan model peradaban umat manusia. Apalagi di era global ini, model peradaban hampir menjadi seragam karena sekat-sekat teritorial, nasional, budaya, agama, dan ras.
Siapapun mungkin tidak ada yang mengira, bahwa Indonesia menjadi negara terbesar jumlah penduduk Muslimnya di dunia ini. Fenomena yang luar biasa ini, menarik berbagai kalangan dari sejarahwan modern untuk menguak lebih dalam, bagaimana Islam bisa masuk di Indonesia, dan apa saja peradaban yang telah dibangun olehnya, serta siapa saja orang-orang yang berperan membangunnya. Tentang masuknya Islam di Indonesia semula diduga bahwa yang membawa dan memperkenalkan Islam di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Dan sejak saat itu, perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Namun, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata. Bukti-bukti yang lebih otentik seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia, dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh.
Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang. Kontak paling awal antara kedua wilayah ini, khususnya berkaitan dengan perdagangan, bermula sejak masa Phunisia dan Saba’. Kehadiran Muslim Timur Tengah ke Nusantara pada masa-masa awal pertama kali disebutkan oleh agawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing yang pada 51 H/617 M. sampai ke Palembang yang merupakan ibu kota kerajaan Buddha Sriwijaya. Mereka yang berada di Nusantara merupakan para pedagang yang kaya dan memiliki kekuatan ekonomi.
Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha . Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz.
Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (sekretaris) Mua’awiyah dan memiliki gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara. Diriwayatkan pembukaan surat tersebut:
“(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…”
Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim sepucuk surat kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai berikut: “Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = maharaja); yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya (atau di dalam versi lain, yang akan menjelaskan Islam dan menjelaskannya kepada saya).”
Dari pemaparan di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah menunjukan eksistensinya di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha atau sejak Khilafah itu sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi berbagai bangsa di dunia.
Berbagai sumber telah menyebutkan tentang kegigihan sebagian penguasa Muslim Nusantara untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, yang diwakili oleh Syarif Mekkah. Hal ini bukan saja menunjukan hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan kekuasaan Khilafah Islam. Dengan kata lain, Muslim di kawasan Nusantara ingin diakui sebagai bagian dari Daulah Islam. Contoh paling konkret adalah Aceh yang secara resmi menyatakan kepada penguasa Turki Usmani sebagai sebuah vassal state Kesultanan Utsmani.
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan. Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu Aceh melakukan futûhât dan dakwah. Kalaulah boleh berandai-andai dalam sejarah, jika tidak diinterupsi oleh kolonialisme, semestinya sejarah Islam di Indonesia saat ini sudah sampai pada taraf perkembangan yang maju dan berkulitas tinggi ditopang oleh ilmu pengetahuan yang maju dan responsif terhadap perkembangan zaman. Namun, sejarah selalu tidak bisa diatur oleh keinginan kita.
Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam proses pendirian negara ini. Menguak sejarah sebuah peradaban di masa lampau akan membutuhnya waktu yang amat panjang. Apalagi jika sejarah itu memang sengaja dikaburkan untuk sebuah kepentingan. Sejarah Khilafah, sebuah peradaban emas yang pernah berdiri dengan tegak hingga meliputi Indonesia saat ini yang saat itu kita kenal dengan sebutan Nusantara. Sangat jelas dan nyata, bahwa Syari’at Islam dalam bingkai Khilafah pernah menaungi Indonesia. Untuk itu sebagai umat islam harusnya kita melek akan sejarah keislaman kita, sejarah peradaban kita, dan sekuat tenaga untuk membangkitkan kembali peradaban yang pernah berdiri dengan gemilangnya. Karena menelusuri jejak yang benar akan membawa kita ke peradaban yang benar pula.
Walaupun secara politik umat Islam sengaja dipinggirkan, justru ini adalah takdir Allah Swt yang Indah untuk mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan, yaitu dakwah. Sebab, dakwah ini memang syarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa. “Politik kita tergantung dakwah kita,”
Wallahu’alam bishowab