Oleh : Ummu Hawa el-Shiraz
(Santri PIRT Khodimus Sunnah)
Dalam rangka meningkatkan kualitas penduduk, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung saat ini tengah menyusun Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) sebagai pedoman pemerintah daerah baik dari aspek kesehatan, pendidikan, sosial maupun budaya (dara.co.id, 22/7/20). GDPK sendiri merupakan dokumen strategis berjangka panjang yang wajib disusun oleh pemerintah pusat dan daerah dalam perencanaan pembangunan dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Begitu urgennya penyusunan dokumen tersebut, maka sejak tanggal 17 Oktober 2014 lalu, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 153 Tahun 2014 tentang GDPK.
Kualitas Penduduk atau mutu Sumber Daya Manusia sangat berpengaruh terhadap tingkat kemajuan suatu negara. Hal ini terkait dengan kemampuan penduduk untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kualitas penduduk suatu negara dapat diketahui dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu tingkat pendapatan penduduk, tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Berdasarkan Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2019, kualitas penduduk Indonesia menempati urutan 111 dari 189 negara yang ada di dunia. Urutan yang cukup jauh untuk bisa disebut negara maju.
Pada dasarnya, Indonesia dengan kekayaan alamnya yang sangat melimpah memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju, mandiri dan terdepan. Sayangnya kekayaan alam yang sejatinya merupakan potensi negeri ini tak lantas menjamin Indonesia untuk menjadi negara maju sekaligus mandiri. Terlebih dengan kondisi Indonesia yang saat ini menjadi surga bagi para importir, sistem politik oligarki dan pro korporasi yang nyata melalui kebijakan neoliberal, telah berdampak pada tergadainya kedaulatan negeri pada asing dan telah menyeret negeri ini untuk senantiasa memenuhi seluruh kepentingan korporatokrasi global.
Ketika bulan Februari lalu Indonesia dinobatkan sebagai negara maju, bukannya gembira, sebagian besar masyarakat justru curiga sekaligus meradang akan status palsu yang disematkan AS kepada Indonesia. Jika parameter negara maju dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI), negara yang memiliki standard hidup tinggi, GDP yang besar - dimana pemerintah mengklaim bahwa pada 2019, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita mencapai Rp 59,1 juta atau USD 4.174,9-, tingkat perkembangan anak yang tinggi, kesehatan yang baik, pengobatan yang bagus, sarana transportasi yang baik, komunikasi dan fasilitas pendidikan yang baik, perumahan dan kondisi hidup yang bagus, perkembangan yang tinggi pada sektor industri, infrastruktur dan teknologi, pendapatan per kapita yang tinggi, angka harapan hidup yang tinggi, serta parameter lain sehingga satu negara disebut sebagai negara maju, maka Indonesia saat ini memiliki serangkaian krisis multidimensi dengan parameter-parameter diatas.
Bagaimana tidak, fakta di lapangan menunjukan kesejahteraan yang didamba sangat jauh panggang dari api, apalagi di masa pandemi seperti saat ini. Di luar masa pandemi saja, mayoritas rakyat memang sudah terbiasa hidup susah. Biaya hidup terasa sangat tinggi. Alih-alih mampu memenuhi kebutuhan papan, kesehatan dan pendidikan, untuk kebutuhan pangan minimal pun rasanya sangat sulit.
Kalaupun ada masyarakat yang bisa bertahan bahkan menikmati kelapangan hidup, maka bisa dipastikan jumlahnya sangat sedikit dibandingkan rakyat kebanyakan. Setidaknya inilah yang terekam dalam data gini rasio yang dirilis BPS 2019 yakni 0,384, yang berarti tingkat ketimpangan kaya miskin di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada akhir Januari lalu menyatakan bahwa 115 juta rakyat Indonesia rentan untuk kembali miskin karena tidak memiliki pendapatan yang aman (worldbank.org, 30/1/20).
Sekalipun pemerintah terus menggembar-gemborkan bahwa pertumbuhan ekonomi terus membaik hingga tahun ini mencapai 5%, tapi secara empirik angka itu tak memberi arti apa-apa. Kondisi ini terjadi karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, kesejahteraan dipandang secara agregat. Asalkan PDB naik, seolah semua telah sejahtera. Padahal faktanya, kesejahteraan dan kemiskinan itu dirasakan orang per orang, perut per perut. Sekian juta penduduk miskin itu artinya ada jutaan perut yang kelaparan, ada jutaan badan yang tidak mendapat akses kesehatan layak dan ada jutaan generasi yang tak mendapat edukasi memadai. Kemiskinan ini bukan hanya sekedar angka, tapi mewujud pada sekian orang yang mengalami perihnya busung lapar dan gizi buruk.
Kondisi seperti ini tentu sangatlah jauh dari gambaran kehidupan saat dikuasai peradaban Islam. Dalam sistem Islam, seluruh manusia memiliki peluang untuk mendapatkan level kehidupan yang tinggi dengan sebuah mekanisme yang sesuai fitrah penciptaan. Berbekal keyakinan bahwa Allah Al Khaliq telah menganugerahkan rezeki bagi setiap makhluk bernyawa, manusia juga diberi potensi hidup yang sama, baik berupa akal, naluri maupun kebutuhan fisiknya. Dan sebagai aturan main, Allah juga datangkan petunjuk hidup berupa Islam ideologi sebagai problem solver persoalan-persoalan kehidupan yang dipastikan akan membawa manusia kepada kebahagiaan.
Islam wajibkan para bapak atau para wali bekerja dengan reward pahala luar biasa. Di saat yang sama, Islam mewajibkan negara menciptakan lapangan kerja sekaligus menciptakan kondisi kondusif sehingga persaingan berjalan fair dengan menerapkan sistem kepemilikan sesuai tuntunan syara. Apa yang ditetapkan syara sebagai milik umat, seperti sumber daya alam yang melimpah ruah, terlarang dikuasai oleh individu apalagi negara asing. Bahkan negara, diwajibkan mengelola sumber-sumber alam itu untuk mengembalikan manfaat seluruhnya demi semata kepentingan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga terbayang, negara akan punya banyak modal untuk mensejahterakan rakyatnya. Jangankan memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan layanan publik akan diperoleh dengan mudah dan murah dari milik ummat yang dikelola negara. Setiap penyelewengan terhadap ketetapan Allah ini, ditutup celahnya dengan rambu-rambu syariat yang ketat dan tidak mentolerir setiap praktik kecurangan maupun kezaliman yang justru lazim di sistem sekarang melalui penerapan sistem sanksi yang luar biasa keras dan tegas. Hal ini diperkuat pula dengan budaya amar makruf nahi munkar yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam.
Walhasil, kesejahteraan dalam naungan Islam menjadi sebuah keniscayaan. Seluruh rakyat yang menjadi warga negara mendapat jaminan kesejahteraan yang sama. Negara memberi jaminan publik secara maksimal, dengan bukti-bukti yang tak bisa disangkal. Rumah sakit, tenaga medis, obat-obatan semua gratis. Begitupun untuk pendidikan. Negara menyediakan fasilitas terbaik dengan guru-guru dan dosen terbaik yang digaji superlayak oleh negara. Perpustakaan dan jaminan beasiswa dan riset tak ada duanya. Dan semua bisa diakses rakyat secara cuma-cuma. Begitupun dengan keamanan, transportasi dan fasilitas publik lainnya.
Ini terjadi karena negara dan para penguasa paham betul bahwa memenuhi hak dasar dan hak publik umat adalah sebuah kewajiban syara. Karena kedudukan negara dan penguasa dalam Islam adalah sebagai raa-in (pengurus) sekaligus junnah (pelindung) bagi umat.
Saat ini masyarakat hanya tahu bahwa solusi atas kesulitan hidup adalah dengan menguatkan kesabaran dan ketakwaan. Padahal, Islam memiliki sistem hidup yang unggul yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai aspek individual, keluarga, masyarakat, bahkan hingga kenegaraan. Oleh karena itu harus ada penyadaran di tengah-tengah masyarakat akan urgensitas dan kewajiban penerapan seluruh hukum syariat ini dibawah institusi Daulah Khilafah. Karena hanya dengan penerapan Islam yang menyeluruh inilah, kualitas hidup dan kualitas penduduk yang unggul akan benar-benar terwujud.
Wallahu a’lam bish showab