Oleh: Rahmani Ratna, S.Pd
Semenjak omnibus law masuk dalam prolegnas prioritas 2020, kritik dan penolakan tidak berhenti. Setidaknya ada empat omnibus law yang akan masuk dalam prolegnas prioritas 2020, yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Salah satu omnibus law yang saat ini ramai dibicarakan adalah omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cipraker). Omnibus law RUU Ciptaker yang diusulkan pemerintah terus mendapatkan penolakan dari publik. Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya. Hujan kritik terus digulirkan. Mereka menilai RUU Ciptaker terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Banyak pasal di dalam RUU tersebut yang dianggap bermasalah.
Meski menuai kritik, kalangan pengusaha berharap agar omnibus law segera disahkan. Mereka berpendapat bahwa RUU Ciptaker berpotensi membawa angin segar bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja.
Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan, pandemi covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Dia melanjutkan, sebabnya dibutuh investasi yang cukup besar guna mendongkrak perekonmian Indonesia pascapandemi.
Dengan Omnibus Law Ciptaker diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor. Hal itu juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 hingga 6 persen.
Keberadaan omnibus law Ciptaker ini sangat diharapkan oleh pelaku usaha dan investor. Mereka optimis RUU yang tengah dibahas DPR dan pemerintah itu akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan perekonomian negara. Mereka melihat efektifitas dan efisiensi dengan adanya penyederhanaan perizinan usaha dan investasi.
Namun dipihak lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis yang membahas omnibus law RUU Ciptaker Klaster Ketenagakerjaan.
Mereka menganggap hali ini hanya sekedar formalitas dan jebakan saja dari pemerintah yang diwakili kemenaker dalam memimpin rapat tim. Agar mereka mempunyai alasan, bahwa pemerintah sudah mengundang serikat pekerja/serikat buruh untuk didengarkan pendapatnya
Dengan kata lain, pemerintah yang diwakili kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur Prosedur saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan substansi materi RUU Omnibus Law yang ditolak buruh tersebut.
Mereka tidak ingin masuk di dalam tim yang hanya sekedar menampung masukan saja tanpa keputusan, dan hanya sebagai alat legitimasi dan menjadi tukang stempel terhadap pengesahan RUU Ciptaker.
Jika kita tinjau lebih lanjut, sejarah hukum ketenagakerjaan Indonesia adalah sejarah tarik ulur dua kutub kepentingan, yaitu antara pengusaha dan buruh atau tenaga kerja.
Selamanya, kedua kutub ini tidak mungkin sejalan karena masing-masing tentunya mengusung kepentingan yang berbeda.
Selaku pemilik modal, kepentingan pengusaha tentunya bagaimana perusahaan meraih profit sebesar-besarnya. Sementara, kepentingan buruh adalah mencari nafkah demi menggapai kesejahteraan pribadi serta keluarga. Meskipun dua kepentingan tersebut kontras, namun keduanya saling terkait.
Dalam tataran ideal, perusahaan yang menangguk profit besar seharusnya menjadi garansi bagi kesejahteraan buruh. Sederhananya, perusahaan kaya tentu akan mampu membayar upah layak sehingga buruh menjadi sejahtera. Namun, sesuatu yang ideal biasanya tidak mudah untuk diwujudkan.
Idealisme Khayali Kapitalisme
Misi utama UU Ketenagakerjaan adalah sebisa mungkin menyeimbangkan antara perlindungan hak-hak buruh dan menjaga iklim bisnis yang kondusif.
Walaupun tetap memikirkan kepentingan dunia usaha, UU Ketenagakerjaan sejatinya adalah aturan untuk kepentingan tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan nomenklatur undang-undang itu sendiri yakni Ketenagakerjaan yang didefinisikan segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Secara histori, nomenklatur undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan selalu berubah dari masa ke masa. Meskipun berganti-ganti nomenklatur, materi UU Ketenagakerjaan umumnya berkaitan dengan hak-hak buruh.
Sementara itu dalam sistem Kapitalis –yang juga dianut oleh Indonesia– keberpihakan kebijakan negara yang termaktub dalam bentuk UU sudah dapat dipastikan. Normalnya sebuah sistem Kapitalis, maka pihak yang menjadi perhatian dan harus dijaga keberadaannya adalah pihak kapital. Jadi, bisa dipastikan siapa yang akan diuntungkan dengan kebijakan negara yang nantinya diatur dalam UU.
Saat ini kita telah melihat dengan jelas bahwa peran negara diminimalkan. Negara hanya sebatas pengatur. Selanjutnya kenyataan yang terjadi adalah, negara mengabaikan kesejahteraan rakyat. Prinsipnya siapa yang mau hidup sejahtera dia harus bekerja dan mencari pendapatan sesuai denngan kemampuannya.
Tidak bekerja atau bekerja dengan gaji kecil, sementara kebutuhan cukup besar, menjadi risiko hidup yang harus ditanggung setiap warga negara. Negara berlepas diri dari pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara, apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.
Negara biasanya baru mengucurkan dana (gratis) darurat untuk membantu rakyat ketika krisis kehidupan sosial ekonomi sudah sedemikian parah, seperti JPS (Jaring Pengaman Sosial), pengobatan gratis, dan sebagainya. Itu pun dalam jumlah terbatas, dengan syarat yang sering memberatkan, dan yang jelas sifatnya hanya sementara (sesaat).
Belum lagi, besarnya kebocoran dari dana-dana seperti itu. Walhasil, jumlah yang diterima rakyat sangatlah minim. Pada sisi yang lain, kekayaan alam yang melimpah ruah sangat banyak di hampir seluruh pelosok negeri, ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha dan penguasa) untuk memenuhi nafsu kaya raya dan nafsu berkuasa semata.
Jadi, sebanyak apapun RUU bahkan yang sudah ditetapkan sebagai UU tidak akan bisa menjamin bahwa kebijakan itu akan memihak masyarakat dari kalangan bawah. Kepentingan dari pihak kapital-lah yang akan selamanya jadi sorotan utama, karena memang sistem Kapitalis yang dianut di negeri ini.
Problem Sistem Solusi Sistem
Kondisi yang menimpa kaum buruh/tenaga kerja tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat lainnya. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh yang cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata.
Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai.
Islam sebagai prinsip ideologi telah berusaha mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan komprehensif.
Untuk persoalan yang muncul akibat kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi, menurut Islam negaralah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.
Sementara itu, masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan pekerja, maka ini seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Islam telah menjelaskan secara terperinci bagaimana kontrak kerja pengusaha-pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut ijaratul ajir. Dengan dipatuhi ketentuan-ketentuan Islam dalam hubungan pengusaha dan pekerja, diharapkan masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan dengan lebih baik.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam.
Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.
Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual dan bukan secara kolektif.
Dengan kata lain, bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (GNP).
Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda:
«اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok dapat diatasi.
Pengangguran diharapkan akan berkurang karena ketersediaan lapangan kerja dapat di atasi; masalah buruh wanita dan pekerja di bawah umur tidak akan muncul karena mereka tidak perlu harus terjun ke pasar tenaga kerja untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya.
Demikianlah pandangan dan cara Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang ada. Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi yang tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat, termasuk masalah ketenagakerjaan.
Sudah saatnya negara ini kembali ke Islamic law system (sistem hukum Islam) untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk masalah ketenagakerjaan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab