Resesi Ekonomi dan Wajah Buruk Demokrasi


Oleh: Ummu Ziya

Tatanan ekonomi dunia saat ini tengah mengalami kegoncangan luar biasa. Pasalnya kemunculan pandemi Covid-19 benar-benar telah mengubah arah kebijakan secara politik mau pun ekonomi di berbagai penjuru negeri.
Kondisi dunia pun tidak mampu diprediksi secara pasti akan kembali seperti semula. Terlebih masalah ekonomi, benar-benar mengalami keterpurukan yang amat sangat.

Gelombang resesi pun sepertinya akan menghantui setiap jengkal negara. Bahkan perekonomian di beberapa negara telah terpuruk dan jatuh pada kondisi yang sangat rendah.

OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan dunia di tahun 2020 ini akan berkisar pada angka 2,4%, turun dari angka 2,9% pada bulan November. Namun menurut mereka, apabila wabah ini menjadi lebih intensif lagi, pertumbuhan bisa hanya tinggal 1,5%, hampir separuh dari tahun lalu. Menurut perkiraan OECD, ekonomi global akan pulih lagi ke angka pertumbuhan 3,4% pada tahun 2021 (bbc.com, 03/03/2020).

Indonesia tentu mendapatkan imbas dari krisis tersebut. Seperti yang dilansir oleh detikFinance (Sabtu, 18/07/2020) perekonomian Indonesia yang diprediksi kuat pada kuartal II-2020 ini mengalami kontraksi. Belum lagi isu resesi yang terjadi di negara tetangga Singapura, benar-benar membuat negara tersebut sangat kewalahan menghadapi badai akibat pandemi ini.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi. Sebab tidak ada yang mengetahui akan berlangsung sampai kapan jika resesi benar terjadi.(detik.com, 17/7/2020). Lalu apakah seruan ini bisa sebagai solusi?

Banyak pakar menyatakan, resesi ekonomi sekarang ini lebih disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang tak kunjung membaik. Bahkan untuk Indonesia sendiri, kasus per hari terus mengalami kenaikan. Ini memicu gelombang PHK besar- besaran di sejumlah rumah produksi dan  perusahaan. Akibatnya pengangguran semakin meningkat dan daya beli masyarakat pun kian menurun. Tentu, ini akan menambah angka kemiskinan di negeri ini.

Padahal sebelum terjadi pandemi, perekonomian dunia pun mulai melemah. Pada 16 Oktober 2019, IMF menyatakan pertumbuhan ekonomi dunia berada pada laju terburuk sejak krisis keuangan global. Tentu adanya pandemi ini kondisi akan semakin memburuk.

Pada dasarnya, resesi ekonomi merupakan penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan dan berlangsung setidaknya dalam dua kuartal beruntun. Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau minus dalam dua kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika PDB minus dua kuartal beruntun secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) disebut sebagai resesi teknikal.

Melansir The Balance, ada lima indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi. Hal ini meliputi PDB riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.

Resesi sebenarnya hal yang biasa dan kerap terjadi dalam sebuah siklus perekonomian kapitalis. Negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah mengalami puluhan kali resesi.  Amerika sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami 4 kali resesi termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008. Kini, semenjak munculnya kasus covid-19   pada desember lalu memicu gelombang resesi ekonomi  baru yang diprediksi semakin memburuk.

Tidak terkecuali Indonesia. Penerapan konsep perekonomian kapitalisme justru membawa negeri kita kian terpuruk beberapa tahun terakhir. Masih segar ingatan kita di tahun 1998 dan 2008. Kini, keterpurukan itu akankah berulang lagi?

Krisis ekonomi global tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis yang cacat  sejak lahirnya. Artinya pondasi yang rapuh dalam membangun sistem ini telah menyebabkan berbagai negara termasuk negeri Islam jatuh dan mengalami mimpi buruk sepanjang sejarah. Roda perekonomian yang bertumpu pada sektor non-riil menyebabkan perdagangan tidak terjadi secara nyata. Akibatnya banyak transaksi perekonomian namun tidak menyerap tenaga kerja sehingga menyebabkan peluang pengangguran semakin lebar.

Konsep ekonomi kapitalis pun telah memberikan peluang kepada para pemilik modal untuk menguasai sektor-sektor strategis, yang harusnya dikendalikan oleh negara. Swastanisasi berbagai SDA telah menihilkan peran pemerintah sebagai operator utama  dalam mensejahterakan rakyat. Persaingan pasar bebas pun telah memunculkan persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Ketidaksiapan masyarakat menghadapi persaingan pasar global menyebabkan sejumlah usahawan harus gulung tikar.

Asas kebebasan kepemilikan terhadap barang dan jasa telah menggeser peran negara sebagai pemilik mutlak SDA. Akibatnya negara hanya bertindak sebagai regulator bukan operator dalam melayani kebutuhan rakyat.

Lantas solusi menabung dan hidup hemat yang digadang-gadang sebagai solusi, sepertinya bukanlah solusi yang solutif pula. Bagaimana tidak, ditengah pandemi ini, masyarakat masih mengalami banyak kesulitan untuk bertahan hidup. Naiknya harga-harga pangan hingga kebijakan yang tak bersahabat menyebabkan sejumlah rakyat harus menerjang bahaya (Covid-19) untuk bekerja di luar rumah.

Lantas bagaimana menyelesaikannya? Tentu, kita harus berkaca pada sejarah. Sebagai seorang muslim tentu kita harus berkiblat pada sejarah Islam. Islam sebagai agama pada hakikatnya tidak hanya mengatur urusan ibadah saja. Namun lebih dari itu, juga mengatur urusan politik maupun ekonomi dengan prinsip dasar syariah Islam.

Sistem ekonomi Islam telah mengatur roda perekonomian agar berjalan dengan baik dan benar. Pengaturan tentang hak kepemilikan barang, pengembangan barang dan jasa serta pendistribusian barang telah diatur sangat rinci sesuai prinsip Islam. Mekanisme perdagangan harus terjadi secara nyata/riil sehingga akan menyerap tenaga kerja yang besar sehingga tingkat pengangguran akan sangat minim.

Mekanisme perekonomian Islam dijalankan oleh negara sebagai instansi yang wajib mensejahterakan seluruh rakyatnya. Kekayaan alam yang besar, diharamkan untuk dimiliki individu atau swasta apalagi asing. Pengelolaan harus dilakukan oleh negara dan diberikan kepada rakyat secara merata dalam bentuk layanan gratis. Oleh karena itu konsep ini akan mengurangi berbagai bentuk swastanisasi di berbagai sektor publik. Sehingga rakyat benar-benar akan sejahtera karena mendapatkan layanan yang mencukupi semua kebutuhan hidup mereka.

Terkait pengembangan barang/harta, negara Islam melarang transaksi apapun yang berbasis ribawi. Syariah juga melarang penimbunan harta yang mengakibatkan melonjaknya harga barang akibat permainan para kertel.

Mekanisme distribusi barang akan diatur sesuai prinsip-prinsip syariah. Sehingga akan dipantau dari hulu hingga hilir harus sesuai dengan konsep Islam.

Konsep tersebut sudah terbukti sejak lama, berkisar 13 abad lamanya. Tentu konsep ekonomi Islam inilah satu-satunya solusi formula baru yang ditunggu-tunggu oleh dunia saat ini.

Wawlahu'alam bi shawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak