(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Sebuah video yang memperlihatkan puluhan anggota Banser menggeruduk salah satu tempat pendidikan, viral di media sosial. Anggota Banser tersebut mendatangi Lembaga pendidikan madrasah, Yayasan Al Hamidy – Al Islamiyah di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang Kamis (20/8/2020). Mereka menduga lembaga pendidikan TK, MI dan MTs itu menjadi sarang HTI dan penyebaran paham khilafah.
Dalam video yang beredar tersebut, Ketua GP Ansor Bangil, Kabupaten Pasuruan, Saad Muafi tampak bebicara keras dengan seorang pria yang ditengarai menyebarkan paham khilafah.
Video tersebut mendapatkan banyak respon, terutama saat warganet menyoroti sikap Saad Muafi yang dinilai mengabaikan adab kepada ulama yang lebih tua. Bahkan, Wakil Sekjend Majelis Ulama Indonesia, Najamudin Ramli dalam video call di program Kabar Petang TV One, menyebut tindakan Saad Muafi dan puluhan Banser sebagai 'tindakan polisional yang sangat disayangkan'. Terlebih, Saad Muadi, yang juga anggota DPRD Kabupaten Pasuruan, dinilai tidak mengedepankan adab kepada orang yang lebih tua. (www.tribunnews.com, 23/08/2020)
Tindakan main hakim sendiri memiliki arti dalam KBBI sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Hal yang paling penting dari definisi perbuatan ini adalah, perbuatan pemburuan tersebut dilakukan tanpa dilandasi kewenangan hukum yang ada, dan lebih mengutamakan emosi belaka.
Hal tersebut relevan dengan apa yang yang dilakukan oleh satu ormas pada ilustrasi pengantar, ormas yang tidak memiliki wewenang atau kapasitas sebagai penegak hukum bertindak secara arogan dan semena-mena terhadap hak azasi dan kebebasan berpendapat warga negara, dalam hal ini kebebasan berpendapat para aktivis dakwah yang mendapat tindakan persekusi oleh Ormas GP Ansor dan Banser.
Hal demikian menjelaskan kepada kita bahwa banyaknya tindakan persekusi kepada aktivis oleh suatu ormas, pertanda bahwa penegakan hukum kita belum merdeka karena proses penegakan hukum kita masih diinfiltrasi oleh pihak yang tidak berwenang. Seharusnya hanya pihak aparat penegak hukum yang boleh melakukan penahanan, pemaksaan, atau mengurangi kebebasan seseorang. Ormas dilarang untuk melakukan persekusi sesuai dengan Pasal 59 ayat 3 huruf d UU Ormas.
Kalau kita cermati, hukum sekarang berubah dari substansi keadilan dan hidup berkeadilan menjadi sekedar teks kebahasaan. Kita dipaksa untuk berhukum dengan menggunakan akal sehat, dalam memahami sebuah teks hukum yang ada. Yang terkadang, pemaknaan – pemaknaan teks hukum tersebut, tergantung dari kepiwaian ahli hokum dalam menafsirkannya.
Secara konstitusional seharusnya pemerintahlah yang bertanggungjawab terhadap bagaimana kondisi penerapan hukum untuk mencapai tujuan negara, karena penegakan hukum menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan darinya. Untuk itu, sudah seharusnya pula negara tanggap terhadap tindakan-tindakan yang terkategori penyimpangan penegakkan hukum, seperti halnya pengambil alih tindakan hukum kepada warga negara oleh ormas yang di luar wewenang dan kapasitasnya.
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzdalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya.” (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim)
Wallahi a'lam