Oleh: Dewi Tisnawati, S. Sos. I (Pemerhati Sosial)
ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sekitar 18 ton serabut kelapa, diekspor ke Weifang, China. Adalah perusahaan PT Weida Indocoir Prima, yang akhirnya untuk pertama kali melakukan ekspor serabut kelapa ke Negeri Tirai Bambu itu.
Serabut yang diekspor dari Sulawesi Tenggara (Sultra) ke China itu, nantinya akan digunakan sebagai bahan pembuatan jok mobil dan matras atau springbad.
Direktur PT Weida Indocoir Prima, Irwan Ponto, mengungkapkan, pengelolaan serabut kelapa itu berawal dari keresahannya, yang melihat banyaknya serabut kelapa dibiarkan menjadi limbah atau dibakar percuma.
Berangkat dari situ, ia pun memutuskan untuk mengumpulkan seluruh serabut kepala dari sejumlah daerah di Sultra, seperti di daerah Kecamatan Kolono, Moramo, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) dan dari kabupaten Konawe Utara (Konut).
“Artinya begini, saya melihat ada potensi ekonominya. Daripada dibakar oleh masyarakat, daripada jadi limbah lebih baik kita kelola. Ini dikumpulkan dari pos-pos kita sendiri, yang kita beli dari masyarakat, dengan harga Rp5 ribu perkubik,” terang Irwan Ponto saat ditemui awak media, di Pelabuhan New Port Kendari, Selasa (7/7/2020).
Limbah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang karena sifat, konsentrasi atau volumenya membutuhkan pengelolaan khusus yang meliputi pengurangan, pemanfaatan serta penanganan sampah. Sikap dari direktur PT Weida Indocoir Prima, Irwan Ponto, cukup diapresiasi dalam upaya penanganan sampah.
Dalam Islam sendiri Allah SWT menugaskan manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh) untuk memakmurkan bumi dan melestarikan lingkungan serta melarang berbuat kerusakan, sebagaimana firman-Nya,
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya” (QS. Al-A’raf [7]: 56)
Juga firman Allah yang artinya :
”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. At-Tirmidzi)
Hanya saja, perlu dilihat bagaimana pengelolaan sampah yang baik terutama untuk kesehatan masyarakat, kemanfaatannya dan keamanannya bagi mereka oleh negara.
Dari fakta di atas, berkaitan dengan penanganan limbah, dalam hal ini serabut kelapa, dilakukan dengan cara ekspor ke luar negeri yakni China sebagai negara kafir. Sementara dalam Islam mengatur sikap umatnya terhadap orang-orang kafir di dasarkan pada kategorisasinya.
Diantaranya adalah kafir harbi yakni setiap orang kafir yang tidak masuk dalam perjanjian (dzimmah) dengan kaum Muslim. Kafir harbi ini, ada dua kategori yakni:
Pertama, kafir harbi hukman (kafir harbi secara hukum/ de jure). Kategorisasi ini didasarkan pada kewarganegaraan orang kafir dengan tempat berdomisili yang tetap. Jika negara Islam mengadakan perjanjian dengan suatu negara kafir, warga negaranya disebut kaum mu’ahidin (An-Nabbani, 1994: 232).
Hubungan umat Islam dengan kafir harbi jenis ini didasarkan pada apa yang terkandung dalam teks-teks perjanjian yang ada. Hanya saja, dalam interaksi ekonomi, umat Islam tidak boleh menjual senjata atau sarana-sarana militer kepada mereka jika hal ini dapat memperkuat kemampuan militer mereka sedemikian sehingga akan mampu mengalahkan umat Islam. Sebabnya, pasal itu bertentangan dengan hukum syariat. (An-Nabhani, 1990: 291-292; 1994: 232).
Jika tidak sampai pada tingkat tersebut, umat Islam boleh menjual senjata atau alat-alat tempur kepada mereka, khususnya ketika negara Islam mampu memproduksi berbagai persenjataan militer dan menjualnya ke luar negeri. Berarti untuk menjualkan barang atau ekspor barang seperti limbah serabut kelapa boleh-boleh saja.
Kedua, kafir harbi haqiqatan adalah warga negara dan negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara Islam. Negaranya disebut negara kafir harbi yang memerangi umat Islam. Negara ini dibagi lagi menjadi dua. Pertama, jika negara tersebut sedang berperang secara nyata dengan umat Islam. Kedua, jika sebuah negara kafir tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam. (AnNabbani, 1994: 233).
Perbedaan hukum di antara kedua negara ini adalah jika sebuah negara kafir masuk kategori pertama, yakni sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, maka asas interaksinya adalah interaksi perang; tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir seperti ini, misalnya penjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi (seperti ekspor-impor), dan sebagainya.
Perjanjian hanya boleh ada setelah ada perdamaian (ash-shulh). Warga negaranya tidak diberi izin masuk ke dalam negara Isalm, kecuali jika dia datang untuk mendengar kalamullah (mempelajari Islam).
Jika warga negara dari negara kafir ini tetap masuk ke negara Islam, bukan untuk mendengar kalamullah, maka jiwa dan hartanya halal, yaitu dia boleh dibunuh, atau dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil (AnNabhani, 1990: 293).
Sebaliknya, jika termasuk kategori kedua, yaitu tidak sedang berperang dengan umat Islam, maka negara Islam boleh mengadakan perjanjian dengan negara kafir seperti ini; misalnya perjanjian dagang, perjanjian bertetangga baik, dan lain-lain.
Warga negaranya diberi izin masuk ke negara Islam untuk berdagang, rekreasi, berobat, belajar, dan sebagainya. Jiwa dan hartanya tidak halal bagi umat Islam.
Namun, jika warga negara tersebut masuk secara liar, yaitu tanpa izin negara Islam, maka hukumnya sama dengan warga negara yang sedang berperang dengan umat Islam, yakni jiwa dan hartanya halal (An-Nabhani, 1990: 293).
Jika warga negara tersebut masuk dengan izin negara, dia tidak boleh tinggal di negara Islam kecuali dalam jangka waktu tertentu, yaitu di bawah satu tahun (An-Nabhani, 1994: 233). Wallahu alam bush shawab.