Mengubur dan Mengaburkan Jejak yang Ada, Sanggupkah Mereka?



Oleh Anjar Rositawati S.Pd

Khilafah, siapa yang akan mengira jika satu kata ini mampu menggetarkan hati musuh-musuh dan pembenci Islam. Bagaimana tidak? Kehadirannya yang hanya sebatas opini dan “mimpi” tapi sudah begitu ditakuti. Berbagai macam cara dilakukan untuk membuat kata ini jadi begitu mengerikan, bahkan oleh orang muslim sendiri. Monsterisasi, persekusi, dan kriminalisasi telah mereka lakukan hanya untuk satu tujuan, menghentikan dan menjauhkan laju Khilafah dari umat. Berharap para pejuangnya berhenti mendakwahkan Khilafah, tapi sayang beribu kali sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Khilafah semakin dikenal masyarakat luas, perlakuan tidak adil yang diterima para pengembannya justru semakin mengibarkan kata Khilafah. Perbincangannya dimana-mana, selalu menarik untuk dibahas dan menjadi bahan diskusi.   

Bak gayung bersambut, antusiasme masyarakat menyambut premier film Jejak Khilafah di Nusantara yang begitu semangat menjadi buktinya. Begitu besarnya rasa ingin tahu masyarakat terhadap sejarah Khilafah di Nusantara ini. Betulkah ada jejak-jejak kekhilafahan di Nusantara? Apakah benar ada hubungan antara Nusantara dengan Khilafah di zaman dulu? Semua pertanyaan yang mampu dijawab dengan narasi dan gambaran yang apik tersaji dalam film dokumenter tersebut.

Di awali dengan cuplikan wafatnya rasulullah saw, yang membuat semua umat Islam berduka. Kehilangan yang teramat sangat tidak membuat para sahabat lupa untuk segera mengangkat penggantinya. Tertulis dalam sejarah, perjuangan Kekasih Allah tersebut diteruskan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib yang kemudian masyhur dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Hingga terus ada Khalifah-Khalifah lainnya sampai pada kekhalifahan yang terakhir yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki, sebagai pemimpin umat Islam yang satu. Tidak pernah kosongnya kepemimpinan Islam tersebut sebuah indikasi urgensitas keberadaannya.

Dalil adanya kewajiban untuk menegakkan Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah dalam masalah ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan “Para Imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad) rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang-orang-orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia tidak boleh mempunyai dua imam. Baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al Fashlu fi Al Milal wal Ahwa wan Nihal, Juz 4 hlm. 78). Para ulama pun menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada empat, yaitu: Alquran, Assunnah, ‘Ijma Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.      

Kembali pada jejak-jejak kekhilafahan yang ada di Nusantara jauh sebelum adanya Negara yang berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jejak yang begitu nyata dan tidak terbantahkan akan hadirnya para utusan dai’-dai’ di Nusantara. Kebijakan luar negeri Daulah Khilafah salah satunya adalah menyebarkan dan mendakwahkan Islam ke penjuru dunia. Tidak terkecuali dengan Nusantara yang pada waktu itu menjadi wilayah yang selalu dilewati oleh para utusan Khalifah. Bahkan hubungan tersebut diinisiasi Kerajaan Sriwijaya kepada Kekhalifahan Abasiyyah, yang pada saat itu adalah sebuah Negara adi daya. 

Terlepas dari semua kebenaran yang menyeruak ke permukaan tersebut, bahwa Khilafah mempunyai pijakan historis yang kuat, sebuah sunnatullah jika ada orang-orang yang tidak suka atau kontra dengan penelusuran dan pengungkapannya. Seperti pernyataan dari Peter Carey mengenai film dokumenter JKDN ini. Menurutnya film tersebut hanyalah sebuah khayalan untuk kepentingan propaganda ketimbang dokumenter. Materi yang sama sekali tidak didukung data atau arsip kesejarahan yang valid antara lain terkait hubungan Diponegoro maupun kesultanan-kesultanan Islam di Jawa sebelumnya Turki Utsmani. 
Menurut Prof Peter Carey yang selama 40 tahun meneliti sejarah Jawa dan Diponegoro, setiap bantuan yang pernah diterima Diponegoro biasa dituliskan dalam Babad. Ia mencontohkan adanya bantuan dari kerajaan di Buleleng Bali atau pasukan Bugis di Makassar. "Tapi Babad Diponegoro sama sekali tidak menyebutkan adanya bantuan dari Turki Usmani, baik pasukan, persenjataan, atau sekedar dukungan moral," ungkapnya (detiknews.com, 24/8/2020). 

Tentu akan “sah-sah” saja dengan semua pernyataan Peter, sebagai seorang Sejarawan yang meneliti sekian puluhan tahun tentang sejarah Jawa bisa mengatakan hal demikian. Karena setiap sejarah yang ada dan tertulis akan dipengaruhi nilai dan sudut pandang yang bersifat subjektif dari si Penulis dan Peneliti itu sendiri. Pernyataan Peter tersebut terbantahkan dari pidato yang disampaikan oleh Sultan Hamengkubuwono x di acara Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta. Sultan menyatakan bahwa ada hubungan Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki. Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan Kekhalifahan Islam di Jawa. Keraton Yogyakarta adalah kelanjutan dari Kesultanan Demak. 

Berikut cuplikan isi pidato Sultan Hamengkubuwono x, “Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah (Sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil kekhalifahan di Turki.” (Republika, 2015).

Tidak hanya Keraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan dengan Kekhalifahan Turki Utsmani. Kerajaan atau kesultanan dibelahan Nusantara lainnya pun juga sama, memiliki hubungan historis dengan Khilafah, baik itu Kekhalifahan Umayyah, Abasiyyah, atau Utsmaniyah. Hubungan Khilafah dengan Nusantara diawali oleh Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan tersebut pernah dua kali mengirimkan surat kepada Khalifah. Yang pertama kepada masa Khalifah Muawiyah I (661-680 M), dan surat yang kedua dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Untuk surat yang kedua didokumentasikan oleh Abdul Rabbih (860-940 M) dalam karyanya Al-Iqdul Farid.   
 
Raja Sriwijaya meminta Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengirimkan para ulama untuk menjelaskan Islam dan hukum-hukumnya.  Seiring dengan diterimanya Islam secara luas di Nusantara, era kerajaan-kerajaan Hindu-Budha pun berganti menjadi era kesultanan-kesultanan Islam. Itulah sekelumit dari perjalanan Khilafah dengan Nusantara yang menjadi bukti tak terbantahkan bahwa memang betul adanya jejak-jejak Khilafah di Nusantara.
Klaim sepihak dari Peter Carey tersebut mendapat bantahan dari Rachmad Abdullah, Penulis buku Wali Songo, Sultan Fattah dan Kerajaan Islam Demak. Bahwa masih banyak bukti lain yang diakui sejarawan Barat sendiri tentang adanya hubungan Turki Utsmani dengan kesultanan Demak melalui Kesultanan Aceh abad 9-10 H (15-16 M). Sejarah dengan berbagai bukti dan saksinya adalah kenyataan masa lalu yang tidak bisa diingkari oleh hati yang suci dan akal yang sehat. Adanya upaya penghitaman sejarah dan penyelewengannya untuk kepentingan duniawi telah ada sejak zaman dulu.

Anggapan orang-orang Islam Indonesia masa lampau dapat bertahan dari kolonialisme tanpa bantuan dari Kekhalifahan Utsmani. Padahal jelas sejarah yang asli dari banyak Kesultanan yang saat itu belum menjadi Negara bernama Indonesia, bisa bertahan melewati penjajahan kolonialisme karena adanya kontribusi orang-orang Islam dan perjuangannya hingga akhirnya Negara bisa mendeklarasikan kemerdekaan yang penuh pada 17 Agustus 1945. 

Dan pada akhirnya bagaimanapun keras dan masifnya usaha mereka (musuh-musuh Islam) berusaha menutupi kebenaran sejarah yang ada, lambat laun pasti akan terungkap ke permukaan. Pengaburan dan penguburan sejarah yang terjadi selama ini membuat kita sadar bahwa ada pihak-pihak yang pastinya tidak menyukai jika umat Islam menyadarinya dan akhirnya bangkit untuk memperjuangkannya.  

 Wallahu a’lam bi-ashshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak