Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Sejak dimulainya tahun pembelajaran baru, 13 Juli 2020, dimana pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh ( PJJ) diambil sebagai kebijakan selama pandemi Covid-19, ternyata banyak memunculkan persoalan.
Sebagaimana dilansir SIDOARJOterkini, pada tanggal 4 Agustus 2020 lalu, banyak keluhan yang berasal dari wali murid. Salah satunya adalah tidak memiliki handphone yang memadai dan mahalnya kuota internet.
Menjawab keluhan tersebut, Komisi D DPRD Sidoarjo mengadakan hearing bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) dan Dinas Kominfo Kabupaten Sidoarjo.
Dhamroni Chudlori Ketua Komisi D menyampaikan bahwa sejauh ini Dikbud masih belum memiliki data yang riil untuk mengatasi permasalah pembelajaran daring maupun luar jaringan. Dalam kondisi seperti ini memang dibutuhkan diskresi kebijakan yang inovatif, jangan hanya berjalan seperti biasa-biasa saja.
Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo, Asrofi menyebut masukan dari legislatif menjadi catatan dan segera ditindak lanjuti. Khususnya terkait pendataan siswa. Selama ini sudah dilakukan. Tapi memang belum semuanya.
“Sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan daring, sekolah dapat menggunakan dana BOS bagi siswa yang tidak mampu, sejauh ini dana BOS masih cukup,” jelasnya.
Mengenai siswa-siswi yang ada di daerah yang minim akses internet, guru diperbolehkan untuk mendatangi rumah siswa untuk memberikan modul atau tugas sesuai dengan mata pelajarannya.
Seringkali yang terjadi adalah pembahasan kebijakan ketika sudah muncul persoalan. Bukti bahwa penyelenggaraan pendidikan di negeri ini ditata asal-asalan. Sehingga ketika mengalami gangguan entah itu wabah, bencana maupun yang lain rentan tergoncang.
Kegaduhan pendidikan daring memang luar biasa, di berbagai wilayah tak hanya muncul berita sulitnya mengakses internet dan langkanya siswa atau ortu yang memiliki perangkat handphone atau laptop, sehingga selain harus berbagi juga muncul pula berita perjuangan mereka yang benar-benar terbatas aksesnya baik dengan jualan cilok, koran hingga jual diri. Miris!
Padahal pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang ada dalam jaminan negara. Di legalkan pula dengan UUD 1945. Namun, dari tahun ke tahun tak ada perubahan menuju arah pendidikan yang mampu melahirkan generasi cemerlang.
Wacana tahunan selalu berganti kurikulum, ganti menteri pendidikan sekaligus ganti kebijakan. Lantas bagaimana bisa mencapai target pendidikan yang baik jika tak ada jaminan ketenangan dalam penyelenggaraannya?
Islam, yang mensyaratkan wajibnya setiap individu menuntut pendidikan sangatlah konsen dengan tujuan tersebut. Sebab, sebuah peradaban maju tak hanya didukung oleh kemajuan teknologi namun juga generasi yang tangguh. Maka, penetapan kurikulum yang pasti sudah menjadi keharusan. Maka kurikulum di susun berdasarkan akidah.
Sebab akidah sifatnya baku dan tak boleh berubah. Dari sanalah kemudian dikeluarkan berbagai aturan terkait teknis pembelajaran, SDM, sarana dan prasaran pendukung pembelajaran serta pembiayaan proses belajar mengajarnya. Yaitu bersandar pada Baitul maal. Sehingga bisa ditemukan kemudian dalam catatan sejarah bagaimana ilmuwan Islam mendedikasikan keilmuannya bagi majunya peradaban.
Para ilmuwan dan terutama kemajuan peradaban Islam tentu tak akan terlepas dari kokohnya sistem pendidikan yang mendukungnya, yang hari ini Indonesia atau negara di dunia saat ini belum ada yang mampu menandingi.
Maka, semestinya, pembicaraan soal pendidikan hari ini tak hanya berhenti pada masalah pendataan dan lain-lain, tapi benar-benar harus berganti aturan main. Dan itu hanya Islam, sebab Islam adalah agama sempurna, tak hanya berkaitan dengan akidah namun juga syariah, sebagai solusi bagi seluruh persoalan manusia. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini