Membantah Ahistoris Khilafah di Nusantara


Oleh : Nisa Agustina, M.Pd

(Pendidik)



Peringatan Tahun baru Hijriyah di tanggal 1 Muharram 1422 H kali ini agak sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kegiatan seperti pawai Muharram, tabligh akbar dll yang melibatkan pergerakan massa tidak bisa diadakan karena terhambat Pandemi Covid-19. Akan tetapi, semangat menguak makna hijrah tidak akan pernah padam dalam hati para pejuang Islam. Peringatan tahun baru ummat Islam sekarang justru lebih semarak dan membekas dengan diputarnya Gala Premier  film “Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN)”. Sebuah film yang membuka cakrawala berfikir rakyat Indonesia bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara Khilafah Islam dan Bumi Nusantara.

Meski pada pemutarannya banyak sekali hambatan karena sejak awal hingga akhir penayangan, tak kurang dari tiga kali pemblokiran serta serangan cyber dari pihak-pihak yang tidak suka sejarah asli bangsa ini terungkap, namun pihak penyelenggara nampaknya telah menyiapkan skenario ganda, sehingga film ini sukses tayang sampai akhir. 

Peristiwa pemblokiran oleh pemerintah dan platform penayang video online terhadap film ini semakin membuktikan adanya upaya yang sangat kuat untuk mengaburkan bahkan menguburkan fakta sejarah bangsa ini yang memiliki ikatan sangat erat dengan Khilafah. Kata Khilafah masih saja dinilai negatif, bahkan ada pihak tertentu yang berupaya keras menghilangkan kata tersebut dari benak kaum muslimin, dengan mengatakan Khilafah sesat atau radikal. 

Mereka mengklaim bahwa Khilafah itu ahistoris, tidak sesuai dengan sejarah bangsa Indonesia. Namun film JKDN ini berhasil membantah klaim tersebut dan menyodorkan banyak fakta terkait jejak khilafah di Nusantara. “Jejak-jejak ini tidak terlihat, dikaburkan seperti tertutup pasir. Nah, dalam film ini kita akan menyapu pasir itu sehingga jejak-jejak itu bisa terlihat,” ujar Direktor film JKDN, Muhammad Nicko T. Pandawa dalam talk show pre-launching Film JKdN di kanal Youtube Khilafah Channel, pada Ahad (2/8/2020) lalu.

Film JKDN dimulai dengan menceritakan wafatnya kecintaan Kaum Muslimin yakni Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkannya era Kekhilafahan Islam (Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah, Abbasiyah hingga ke Utsmaniyyah). Dakwah Islam terus tersebar ke seluruh pelosok dunia, termasuk Nusantara. Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), sejumlah wilayah di Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khilafah. Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz. 

Jejak sejarah selanjutnya menunjukan bahwa Nusantara memiliki hubungan yang panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap pembabakan sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki pengaruh politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha ternyata Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada zaman Kesultanan, banyak penguasa muslim yang mengidentikan kekuasaan mereka dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer Khilafah telah sampai di Nusantara dan membantu muslim Nusantara melawan serangan Eropa. Dalam perang dunia I, Khalifah di Turki menyatakan jihad kepada musuh-musuhnya dan berseru kepada semua orang Islam, termasuk orang Islam di Nusantara untuk memerangi musuh-musuhnya itu. 

Pada akhir abad ke-19, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan Alquran atas nama Sultan Turki. Di Istanbul, dicetak tafsir Alquran berbahasa Melayu karangan Abdur Rauf Sinkili dengan tertera: “Dicetak oleh Sultan Turki, Raja seluruh orang Islam.” Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki. Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah barat Sumatra dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia.

Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji.

Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh kesatuan Islam yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid II telah menggerakan Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Dalam dinamika sejarah umat Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, terlihat bahwa perjuangan Khilafah merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Utsmani diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri dari para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk Khilafah kembali. Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal dengan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir menyepakati sebuah rumusan Khilafah yang baru.

Sayangnya, jejak khilafah yang justru berkontribusi memerdekakan negeri ini kini berusaha dikuburkan dan dikaburkan. Perjuangan umat Islam untuk kembali mewujudkan kemerdekaan justru dituduh sebagai kaum radikal dan fundamentalis. Persis yang dilakukan oleh para penjajah zaman dulu yang menuduh para ulama pejuang kemerdekaan sebagai kaum ekstrimis.

Padahal mendakwahkan khilafah adalah mahkota kewajiban. Dengan kembalinya khilafah, niscaya umat Islam dapat hidup dalam sistem kehidupan Islam yang membawa kesejahteraan dan keadilan Islam. Umat Islam juga mampu menjadi bangsa yang berjaya kembali seperti zaman dahulu. Inilah yang tidak diinginkan oleh negara kafir penjajah.

Fakta sejarah telah berbicara, tidak ada yang bisa ditutup-tutupi lagi bahwa kedigdayaan Khilafah bukanlah omong kosong belaka. Begitu pula dengan peran Khilafah dalam menjalin hubungan dengan Nusantara kita tercinta. Sehingga, kita tak perlu lagi merasa ragu melawan penguburan dan pengaburan jejak khilafah di Nusantara dengan terus mengedukasi dan memahamkan ummat bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Memperjuangkan khilafah hingga menerapkannya adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa diingkari.

Wallahu a’lam bish showab



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak