Oleh: Amallia Fitriani
Kasus pelarian diri Djoko Tjandra di tahun 2009 yang telah merugikan uang negara sebesar Rp 940 miliar begitu menghebohkan publik. Meski berstatus buron kakap, ia diketahui bebas keluar-masuk Indonesia dengan santai.
Surat jalan yang ditandatangani seorang jenderal polisi memuluskan geraknya. Ia juga sempat menggegerkan publik lantaran membuat KTP elektronik dengan bantuan Lurah Grogol. (Tempo.com, 04/08/2020)
Namun, akhirnya pada Kamis (30/7/2020) Djoko Tjandra berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia, setelah menjadi buronan selama 11 tahun. (Kompas.com, 01/08/2020)
Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menceritakan jika rencana penangkapan Djoko Tjandra telah disusun selama satu sampai dua minggu.
Sebelumnya ia membentuk tim khusus yang secara intensif mencari Djoko Tjandra, sampai akhirnya mendapat informasi targetnya berada di Malaysia. (Tempo.co, 2/8/2020)
Kasus korupsi Djoko Tjandra hanyalah satu kasus dari kasus-kasus korupsi para korporasi lainnya yang merugikan negara dan menjadi buron sampai saat ini. Boleh saja operasi senyap penangkapan Djoko Tjandra dibilang sukses.
Namun, bagaimana dengan kasus lain seperti korupsi Honggo Wendratno yang telah mengambil uang negara sebesar Rp 37 triliun sejak tahun 2015 sampai saat ini jejak nya belum diketahui. Seperti yang dilansir detiknews.com (27/02/2020), pelarian Honggo Wendratno terus diburu polisi. Tersangka kasus korupsi kondensat PT TPPI tidak ditemukan di Singapura dan dia kini diduga kabur ke negara lain.
Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang sampai saat ini masih belum bisa teratasi. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar ditengah-tengah publik, ada apa dengan hukum dan para aparatnya, sehingga begitu amat sulit menangani korupsi para korporasi yang telah merugikan negara.
Licinnya pergerakan para buronan ini tidaklah bejalan sendiri, mereka pasti dibantu. Tidak mungkin buron bekerja sendiri dalam pelariannya.
Berkaca pada kasus Djoko Tjandra dari mulai tingkat kelurahan, kepolisian hingga kejaksaan terlibat membantu pelariannya. Berbekal sogokan, si buron berhasil memperdaya aparat.
Ulah Djoko Tjandra ini justru menunjukan kepada publik adanya campur tangan pejabat negeri dalam memuluskan pelarian nya. Hal ini jelas menggambarkan betapa bobrok birokrasi dan mental pejabat negeri hari ini.
Para pengusaha yang korup dengan kekuatan materinya telah mengendalikan pejabat di semua lini dan menunjukan bahwa lembaga peradilan mandul dalam memberi sanksi. Tak heran, para pelaku kejahatan tersebut tak merasa bersalah atau jera. Mereka merasa masih kaya dan mampu menyuap siapa saja yang diinginkannya.
Sistem kapitalisme mendukung para korporasi.
Dalam sistem kapitalisme, yang bermodal lah (pengusaha) yang mempunyai kekuasaan, bahkan memiliki kekuatan untuk menyetir siapapun sesuai dengan kehendaknya. Dengan materi apapun bisa dibeli, termasuk hukum dan para pejabat negara didalamnya.
Selain itu sistem saat ini pun melahirkan para pejabat yang tidak amanah, culas dan bersikap curang memanfaatkan jabatannya demi memenuhi kepentingan dirinya sendiri sampai rela malakukan apapun demi mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.
Penerapan sistem kapitalis saat ini tidak mampu memberikan solusi atas semua permasalahan negeri ini, hal ini diakibatkan pula dari ringannya saknsi yang diberikan kepada para pelaku kejahatan sehingga tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelakunya.
Bagaimana mau jera kalau hukumannya begitu ringan? Contohnya hukuman yang dijatuhi kepada para koruptor yang telah merugikan negara triliunan rupiah, hanya masuk penjara, dan sel nya saja begitu mewah, jelas membuat para koruptor tak kapok berulah. Sperti hukuman yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra hanya dihukumi dua tahun penjara dengan membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara. (Wartakotalive.com, 21/07/2020).
Kerugian yang mereka timbulkan pada negara tampak tak sebanding dengan ganti rugi atau denda yang harus mereka bayar. Kebanyakan ganti rugi nominalnya lebih sedikit dibanding uang yang mereka korupsi.
Sistem Islam Solusi untuk menghilangkan kuasa korporasi
Ulah Djoko Tjandra dan para koruptor lainnya tidak akan pernah terjadi seandainya hukum dan aparat hukum di negara ini adil, dan tegas dalam menindak segala bentuk kejahatan, termasuk kasus korupsi, tanpa dapat dipermainkan dan ditukar dengan materi begitu saja.
Namun sayang semua hal itu tidak akan dijumpai pada sistem kapitalis yang berlandaskan pada paham sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, serta tujuan dari setiap perbuatannya hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan berbagai cara.
Hanya dalam sistem Islam perilaku korup ini akan mampu diberantas. Keadilan pun akan dirasakan, dan akan dijumpai pula para penguasa yang amanah dan bertanggung jawab, karena landasannya ialah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta tujuannya pun hanya untuk meraih keridhoan Allah SWT semata.
Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan. Syariah Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesamanya.
Dalam syariah Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan.
Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya: “Barang siapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya”. (Tafsir Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75).
Dengan demikian, Islam melarang keras tindakan suap-menyuap, utamanya penguasa, pejabat dan para penegak hukum. Peradilan dalam sistem Islam memberlakukan seperangkat hukuman pidana yang keras. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.
Maka sudah saat nya kembali kepada penerapan sistem Negara berdasarkan syariat Islam. Islam sebagai solusi tunggal mampu menghilangkan kuasa korporasi di negeri ini.
Wallahu’alam bi-showab
Tags
Opini